Perginya Sang Diplomat Ulung
Nugroho Wisnumurti seorang diplomat yang tangguh. Bersama dengan diplomat lain, ia telah berjuang selama 25 tahun di PBB. Ia ikut Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan ”menang”, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan.
Kita kehilangan seorang tokoh nasional, cendekiawan, dan diplomat ulung, Nugroho Wisnumurti.
Dilahirkan di Surakarta pada 23 Maret 1940, Nugroho Wisnumurti berpulang pada Kamis, 8 Juni 2023, di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga Mangunarsan, Madiun.
Ia terkemuka sebagai Wakil Tetap Indonesia untuk PBB dan organisasi internasional lain di Geneva, dari tahun 2000 sampai 2004. Nugroho alumnus Universitas Indonesia dan University of Colombia, Amerika Serikat.
Kiprahnya sudah tak terhitung. Ia menjabat sebagai Duta Besar RI untuk PBB periode 1992 sampai 1997. Ia pernah pula menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB.
Ia putra bungsu dari Dr Saleh Mangundiningrat, yang dikenal sebagai dokter Kasunanan Surakarta, tetapi juga mengabdi kepada masyarakat Solo sebagai dokter yang sangat sosial.
Dr Saleh tahu ibu penulis belum menerima pensiun janda waktu itu sehingga semua anggota keluarga kami yang menerima perawatan dari Dr Saleh tak pernah ditarik biaya. Bahkan, pulangnya dibekali obat gratis dan ongkos transpor becak. Kepada pasien-pasien lain yang kurang mampu, ia juga melakukan hal serupa.
Orangtua Nugroho dikaruniai dua putra dan dua putri, yaitu Siti Wahyunah Sjahrir (istri Perdana Menteri Sutan Sjahrir), Dr Soedjatmoko (Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Rektor Universitas PBB, Penasihat Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro), Prof Miriam Boediardjo (pakar ilmu politik, anggota Komnas HAM, Dekan Fakultas Hukum UI); dan Nugroho Wisnumurti.
Beda usia antara Miriam (putri ketiga Dr Saleh) dan adiknya Minoes (panggilan untuk Nugroho) cukup jauh, yaitu 17 tahun, sehingga Minoes sering disebut sebagai nakomertje.
Saya mengenal Nugroho sebagai seorang diplomat yang tangguh.
Deklarasi Djuanda
Saya mengenal Nugroho sebagai seorang diplomat yang tangguh. Bersama dengan para diplomat lain, ia telah berjuang selama 25 tahun di PBB. Bersama para diplomat lain, ia ikut memperoleh ”kemenangan” pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) di Montego Bay, Jamaika, Desember 1982.
Dengan ”kemenangan” itu, Indonesia memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dari PBB. Tokoh lainnya: Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (Ketua) yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI; Duta Besar Djajadiningrat (Wakil Ketua); Duta Besar Chaidir Anwar Sani (Wakil Ketua); Duta Besar Abdulah Kamil (Wakil Ketua); Marsekal Madya Soedarmono (Wakil Ketua); Marsekal Madya Subroto Yudono (Wakil Ketua); Duta Besar Dr Hasjim Djalal (Wakil Ketua).
Para anggota, antara lain, Sufri Yusuf, SH; Luhulima, SH; Nugroho Wisnumurti, SH, LLM; dan beberapa yang lain.
Dengan ”kemenangan” pada UNCLOS itu, cita-cita untuk merealisasikan Wawasan Nusantara terwujud. Nugroho mengemukakan suatu catatan sejarah yang penting: deklarasi Pemerintah RI, atau dikenal sebagai Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, menunjukkan peran menentukan dari Chairul Saleh sebagai pendorong utama lahirnya Prinsip Negara Kepulauan dan Mochtar Kusumaatmadja sebagai konseptornya.
Selanjutnya, Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957 itu dituangkan dalam UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (yang saat itu belum diakui oleh dunia internasional). Konsep itu kemudian dikenal sebagai Wawasan Nusantara, yang memandang Indonesia sebagai kesatuan wilayah bangsa Indonesia dan negara yang utuh, darat dan lautnya tidak terpisah.
Ilustrasi
Nugroho dikenal sebagai diplomat kader kesayangan Mochtar Kusumaatmadja. Nugroho pernah bercerita secara pribadi kepada saya tentang kebanggaannya atas ”kemenangan” Indonesia di UNCLOS 1982 itu.
Dia mengungkapkan ordonansi Hindia-Belanda tahun 1930 tidak berlaku lagi di Indonesia. Garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya menurut ordonansi itu hanya tiga mil, setelah Indonesia diakui sebagai negara kepulauan pada UNCLOS 1982, berubah menjadi 12 mil.
Wilayah kedaulatan Indonesia yang semula hanya sekitar dua juta kilometer persegi menjadi lebih luas 2,5 kali lipat, tepatnya dari 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer persegi, belum termasuk Irian Barat. Di samping itu, kita menjadi memiliki empat selat yang strategis untuk jalur pelayaran internasional, yakni Selat Lombok, Selat Sunda, Selat Malaka, dan Selat Makassar.
”Sekolah darurat”
Bagi penulis, ada kenangan yang sangat khusus antara penulis dan Minoes. Kami khitan bersama-sama dan sunat dilakukan oleh Dr Prabowo. Dia sahabat satu kelas penulis di ”sekolah darurat” yang didirikan Dr Saleh Mangundiningrat. Saat itu Belanda menduduki Yogyakarta (dan Surakarta); tepatnya sejak Belanda melancarkan Class II pada 19 Desember 1948.
Semua sekolah ditutup, maka kami beramai-ramai masuk ”sekolah darurat” itu. Murid-murid sekolah darurat antara lain putra-putri dari dokter-dokter yang ada di Surakarta dan anak-anak dari para pasien dokter-dokter itu. ”Sekolah darurat” diselenggarakan di rumah Dr Saleh Mangundiningrat meskipun pekarangannya tidak cukup luas.
Beberapa keponakan Dr Saleh menjadi Tentara Pelajar (Brigade XVII) dan sering pulang menginap di rumah Dr Saleh. Tentara Belanda pernah mencurigai dan memberondong tembakan ke arah pekarangan Dr Saleh.
Dengan ”kemenangan” pada UNCLOS itu, cita-cita untuk merealisasikan Wawasan Nusantara terwujud.
Setelah Belanda meninggalkan Solo (hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar), ”sekolah darurat” diserahkan kepada Pemerintah Daerah Solo, menjadi SR (Sekolah Rakyat) 56 Surakarta dengan kepala sekolah yang sama pilihan Dr Saleh.
Saat itu belum ada istilah SD (sekolah dasar). Kami pindah di SR 56 yang dindingnya masih dari gedèg (anyaman bambu) ini. Jauh hari kemudian terbukti ”sekolah darurat” ini melahirkan beberapa tokoh nasional.
Nugroho mempunyai hobi main gitar dan menaiki sepeda motor balap, sepeda motor besar, Ducati. Almarhumah ibu penulis pernah memberi tahu kami bahwa Dr Saleh adalah saudara dua pupu (second cousin) ayah saya.
Nugroho meninggalkan seorang istri yang kita kenal sebagai Ibu Nani, dengan putri tunggalnya, Irawati Wisnumurti, dan seorang cucu, Zaki Wibisono. Nugroho berbesanan dengan diplomat terkemuka Prof Dr Makarim Wibisono, Dubes RI untuk PBB (2004-2007).
Selamat jalan Nugroho Wisnumurti.
Sri-Edi Swasono, Guru Besar FEB UI