Elektrifikasi Transportasi dan Hilirisasi Tambang
Penjualan mobil listrik meningkat pesat setelah pemerintah melakukan upaya mempercepat elektrifikasi transportasi. Era kendaraan listrik dan transisi energi menjadi momentum bagi hilirisasi tambang mineral dan batubara.
Dari perspektif ekonomi kelembagaan, transisi menuju energi baru terbarukan (renewable energy) berimplikasi pada perubahan institusional mendasar dari ekonomi ”hitam” yang ekstraktif dan polutif menuju ekonomi hijau dan sirkuler yang inklusif.
Perubahan fundamental ini menyangkut aspek-aspek budaya, norma sosial, tradisi, dan moral pada sisi informal dan regulasi serta kebijakan-kebijakan pendukung pada sisi formal, termasuk melalui elektrifikasi transportasi.
Pemerintah telah melakukan serangkaian upaya/kebijakan untuk mempercepat elektrifikasi transportasi ini, di antaranya instruksi penggunaan kendaraan listrik di lingkungan instansi pemerintah (pusat/daerah) melalui Inpres No 7/2022, hingga dikeluarkannya kebijakan insentif berupa subsidi dan keringanan PPN (hanya 1 persen) untuk pembelian kendaraan listrik, mulai April lalu.
Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil listrik pada 2022 melesat 383,46 persen menjadi 15,537 unit dibandingkan 2022. Pada kuartal I-2023, penjualan tercatat 1.800 unit, melonjak 2.700 persen dibandingkan kuartal I-2022 yang 64 unit. Lonjakan dipastikan berlanjut setelah pemberlakuan subsidi dan keringanan PPN. Subsidi mobil listrik ini tak terkait dengan layak tidaknya ”orang kaya” disubsidi.
Baca juga: Tantangan Pengembangan Pasar Motor Listrik Indonesia
Alasan mendasarnya adalah karena masih lemahnya permintaan mobil listrik, termasuk untuk kelas SUV dengan jarak jelajah 500 kilometeran dan harganya yang relatif mahal.
Subsidi juga diberikan untuk pembelian sepeda motor listrik sebesar Rp 7 juta per unit, terutama yang harganya di bawah Rp 10 juta, menjadi di bawah Rp 3 juta saja, sehingga terjangkau bagi masyarakat luas.
Dengan sejumlah sumber daya pendukung yang relatif melimpah, kembali ditekankan bahwa Indonesia layak untuk menjadi salah satu negara produsen kendaraan listrik terkemuka dunia. Idealnya, untuk kendaraan listrik (khususnya mobil listrik), prinsip ko-eksistensi dikedepankan.
Di samping tetap menyediakan pasar domestik bagi produsen asing, baik melalui impor maupun penanaman modal langsung asing (foreign direct investment/FDI), Indonesia perlu terus berupaya keras untuk mewujudkan mobil listrik nasional, setidaknya untuk segmen tertentu, seperti bus listrik. BUMN-BUMN seperti IBC, MIND ID, INKA, Pindad, dan LEN, layak bersinergi dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional.
Grafit dan litium
Beberapa jenis material mineral dengan ketersediaan cukup melimpah, baik yang sudah diproduksi maupun masih berupa deposit bijih (ore) adalah aluminium, nikel, kobalt, dan tembaga. Berdasarkan data 2021, untuk aluminium, deposit berupa bijih bauksit 2,4 miliar ton, tembaga 12,5 miliar ton, dan kobalt 682 miliar ton basah. Sementara, cadangan bijih nikel kadar tinggi 930 juta ton dan kadar rendah 3,6 miliar ton.
Ketersediaan material mineral lainnya relatif terbatas, yakni mangan dan titanium. Deposit mangan 4,9 juta ton, terutama di NTT. Untuk titanium, hasil penelitian terbaru menunjukkan potensi ilmenit sebesar 761 ton, di Pulau Bangka saja. Itu belum termasuk daerah-daerah lain yang memiliki endapan limbah tambang (tailing) dalam jumlah besar, seperti Papua dan Kalimantan.
Berbagai material pendukung digunakan sesuai dengan kebutuhan, termasuk bauran antarmetal (alloy) untuk memperbaiki karakteristiknya (lebih kuat, lebih ringan, dan tahan korosi). Untuk pembuatan sasis bus/truk listrik, misalnya, dibutuhkan logam campuran antara baja, aluminium, dan titanium.
Namun, di antara kelimpahan sumber daya tersebut, masih menjadi pertanyaan besar bagaimana dengan logam tanah jarang/LTJ (rare earth element/ REE), litium dan grafit. LTJ yang terbentuk dari 17 unsur kimia metalik merupakan jenis logam istimewa karena banyak digunakan pada industri pertahanan, seperti rudal, jet tempur, dan antiradar.
Untuk kendaraan listrik, LTJ dipergunakan sebagai material utama motor listrik. Motor listrik berbasis LTJ memiliki sejumlah keunggulan, yakni berdensitas tenaga, efisiensi, dan berdensitas torsi tinggi.
Kendati produksi masih nol, tetapi berdasarkan berbagai kajian Kementerian ESDM, potensi LTJ cukup menjanjikan. Potensi di Bangka Belitung saja diperkirakan 385.000 ton. Belum lagi di Papua dan Kalimantan.
Baca juga: Temukan Potensi Cadangan 8,5 Juta Ton Litium, Iran Bisa Jadi Pemain Besar
Sementara, grafit yang merupakan mineral non-metalik, digunakan sebagai material anoda (negatif) baterai kendaraan listrik. Kebanyakan baterai litium ion komersial menggunakan grafit karena stabilitas siklus dan densitas energi yang baik. Waktu pengisian ulang baterai grafit lebih cepat.
Dengan demikian, dalam jangka menengah, ke(tidak)tersediaan litium dan grafit, yang berarti ketergantungan pada impor, menjadi kendala utama dalam membangun ekosistem industri kendaraan listrik.
Permintaan melejit
Menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA), kebutuhan rerata material mineral untuk membuat satu mobil listrik meliputi grafit (66,3 kg), tembaga (53,2 kg), nikel (33,9 kg), mangan (24,5 kg), dan kobalt (13,3 kg). Selain itu, litium (8,9 kg), LTJ (0,5 kg), dan logam lainnya (0,5 kg, termasuk titanium).
Kebutuhan bahan baku lainnya adalah aluminium antara 29-250 kg dan baja 40-100 kg per unit mobil listrik. Tampak bahwa kebutuhan material mineral terbesar di luar aluminium dan baja, yakni grafit, justru yang tidak ada potensi alamiahnya di dalam negeri.
Jelang 2030, Indonesia mencanangkan tingkat produksi/penggunaan mobil listrik 2,2 juta unit dan sepeda motor listrik 13 juta unit. Artinya, permintaan bahan baku (mineral pendukung) akan mulai melejit beberapa tahun ke depan.
Permintaan grafit sebagai material anoda baterai kendaraan listrik akan mencapai ratusan ribu ton per tahun sehingga perlu dikaji apakah dicukupi dengan impor atau memproduksi grafit sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang saat ini harganya jauh lebih mahal dari grafit alam. Alternatif lain, mengolah pitch dari batubara menjadi precursor karbon untuk pembuatan grafit sintetik.
Pemenuhan kebutuhan bahan baku nikel, kobalt, dan tembaga relatif tak ada masalah. Untuk LTJ, kita berharap sudah bisa berproduksi beberapa tahun ke depan ini. Untuk litium, tampaknya tidak ada alternatif lain, kecuali impor.
Demikian pula, karena ketersediaan bahan baku mangan masih terbatas dan kebutuhannya untuk industri baja juga besar, perlu terus ditingkatkan kapasitasnya dengan eksplorasi dan eksploitasi yang baru.
Permintaan aluminium dalam negeri juga akan meningkat dua kali lipat jelang 2030. Saat ini kebutuhan aluminium sekitar satu juta ton/tahun, sebagian dipenuhi dari impor, padahal depositnya relatif besar.
Dampak hilirisasi
Datangnya era kendaraan listrik dan transisi energi menjadi momentum bagi hilirisasi tambang mineral dan batubara. Kebijakan hilirisasi yang kemudian disertai larangan ekspor dalam bentuk bijih dimaksudkan untuk mendongkrak nilai tambah dan kesempatan kerja.
Larangan ekspor dalam bentuk bijih sudah diberlakukan untuk komoditas nikel sejak 2020 dan akan dilanjutkan pada bauksit mulai Juni. Mineral lainnya kemungkinan menyusul seperti tembaga, titanium, mangan, dan nantinya LTJ.
Nikel ini diolah dari bentuk bijih menjadi konsentrat, dan dari konsentrat melalui smelter diolah jadi produk antara seperti fero-nikel (kadar nikel 25-45 persen), nikel matte (kadar 78 persen) dan nikel pig iron (NPI). Nikel matte ini bisa diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan selanjutnya dari nikel sulfat menjadi salah satu pembentuk katoda baterai listrik.
Datangnya era kendaraan listrik dan transisi energi menjadi momentum bagi hilirisasi tambang mineral dan batubara.
Akhirnya, dari katoda bersama dengan anoda baterai, menjadi baterai kendaraan listrik. Teknologi hidrometalurgi HPAL (high pressure acid leaching) memungkinkan mengolah nikel kadar rendah menjadi MHP (mixed hydroxide precipitate), nikel sulfat, dan kobalt sulfat sebagai bahan baku prekursor.
Tak pelak nilai tambah pun melejit berkali-kali lipat dibandingkan sekadar ekspor bijih. Berdasarkan data BPS, ekspor bijih nikel tahun 2019 sebesar 30 juta ton senilai 1,1 miliar dollar AS. Artinya, dalam bentuk bijih, nilai ekspor nikel per ton hanya 36,67 dollar AS. Namun, sepanjang 2022, ekspor dalam bentuk fero-nikel 5.780 ribu ton dengan nilai 13,62 miliar dollar AS, yang berarti setiap tonnya bernilai 2.356,4 dollar AS.
Sebelumnya, tahun 2021 tercatat ekspor nikel matte 82.732 ton dengan nilai 953.174.000 dollar AS, yang berarti nilai ekspor nikel per ton 11.521,23 dollar AS. Dari ekspor nikel dalam bentuk bijih (36,67 dollar AS/ ton)menjadi fero-nikel (2.356,4 dollar AS/ton) naik 64 kali lipat nilainya, dan dari bentuk bijih ke nikel matte (11.521,23 dollar AS/ton), naik 314 kali lipat.
Dengan kebijakan yang sama, mineral lain seperti bauksit, bijih besi, dan tembaga juga akan memperoleh nilai tambah berpuluh atau beratus kali lipat.
Jika diekspor dalam bentuk bijih, bobotnya saja yang berat, tetapi nilainya relatif rendah. Masalahnya, larangan ekspor bijih nikel digugat Uni Eropa ke WTO. Karena kalah, kita tengah mengajukan banding. Jika kalah lagi, perlu dikaji kemungkinan pemberlakuan pajak ekspor untuk bijih nikel dan produk-produk bijih mineral lain sebagai instrumen ”disinsentif”.
Sejatinya yang kita inginkan adalah ekspor dalam bentuk produk akhir seperti baterai kendaraan listrik yang kelipatan nilainya lebih tinggi lagi. Namun, menurut informasi dari produsen yang sudah memproduksi prekursor, nikel sulfat, dan katoda; industri anoda dalam negeri belum siap, sehingga produk dalam bentuk katoda terpaksa diekspor. Ini kemungkinan karena kendala grafit sebagai bahan baku anoda ini.
Dampak ekonomi (nilai tambah) dari hilirisasi memang positif, terutama yang terkait dengan transisi energi dan elektrifikasi transportasi, terlebih jika dilakukan dalam irama ”orkestra” hilirisasi yang harmonis.
Namun, melejitnya permintaan mineral bahan baku kendaraan listrik beberapa tahun ke depan juga akan mendorong ekstraksi mineral yang kian masif. Dalam jangka panjang, ini mengancam keberlanjutan, baik dari sisi pasokan bahan baku maupun dampak lingkungan.
Maka, tata kelola sumber daya mineral harus memasukkan prinsip sirkularitas, keberlanjutan lingkungan, dan etika/moral, di samping transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan integritas. Tata kelola tersebut harus tecermin dalam proses-proses bisnis pertambangan hingga tingkat korporasi.
Pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik perlu disertai dengan industri daur ulangnya, khususnya untuk baterai kendaraan listrik. Ini untuk lebih menjamin pasokan bahan baku jangka panjang.
Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB-UGM, Staf Khusus Menteri Perhubungan