Menyoal ”Marketplace” Guru
Secara normatif, ide ”marketplace patut diapresiasi sebagai bagian dari ikhtiar pemerintah menyelesaikan persoalan perekrutan guru. Namun, mengapa guru yang mulia dan terhormat dipadankan dengan istilah ”marketplace”?
Ide pembuatan marketplace guru dicetuskan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada 24 Mei 2023. Mampukah gagasan ini menjadi solusi jitu persoalan terkait perekrutan guru?
Dari sudut pandang normatif, ide marketplace patut diapresiasi sebagai bagian dari niat dan ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan persoalan perekrutan guru.
Sementara, dari sudut pandang obyektif, ide marketplace sangat layak untuk dikaji, diuji, dan diperdebatkan sebelum benar-benar dicanangkan sebagai kebijakan oleh pemerintah.
”Marketplace” vs Dapodik
Marketplace guru diartikan sebagai basis data (database) yang berisikan profil guru, yaitu mereka yang sudah dinyatakan lolos passing grade (PG) dalam seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), tetapi belum mendapatkan formasi; atau lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang memiliki sertifikat pendidik.
Baca juga: Penuntasan Satu Juta Guru Tahun 2023 Masih Mandek
Marketplace memberikan akses kepada kepala sekolah agar dapat merekrut serta memenuhi kebutuhan guru langsung dari marketplace, tanpa harus menunggu perekrutan nasional. Pola pendanaan marketplace direncanakan menggunakan dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer langsung ke sekolah dan dikunci peruntukannya hanya untuk membayar gaji guru.
Pertanyaannya, benarkah marketplace yang akan dikembangkan dalam bentuk aplikasi ini mampu menghadirkan solusi jitu? Bicara soal aplikasi berupa basis data, sebenarnya Kemendikbudristek sudah memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang bisa diakses sejak 2006 dan masih digunakan sampai hari ini.
Dapodik merupakan sistem pendataan skala nasional terpadu dan sumber data utama bidang pendidikan, yang di dalamnya mencakup nomor pokok sekolah nasional (NPSN), nomor induk siswa nasional (NISN), nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Lalu, mengapa Dapodik tidak dijadikan opsi sebagai aplikasi yang seharusnya dikembangkan, bukan saja sebagai basis data sekolah, siswa, dan guru, melainkan juga sebagai portofolio yang bisa digunakan untuk menunjang perekrutan guru?
Hal lain yang sebenarnya lebih prinsipiil tanpa harus mengubah atau membuat aplikasi baru adalah bagaimana agar analisis kebutuhan guru (jumlah, kelebihan, kekurangan, dan beban kerja guru) yang di-input oleh sekolah secara berkala di Dapodik dapat dikawal dan dijadikan rujukan dalam usulan pembukaan formasi guru pada setiap gelombang perekrutan guru.
Selama ini selalu terjadi ketidaksinkronan data antara sekolah, Panselda (pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah/BKD), dan Panselnas (Kemendikbudristek, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Kepegawaian Negara/BKN), yang berimbas pada ketidaksesuaian antara usulan dan kebutuhan riil guru.
Dari sudut pandang normatif, ide marketplace patut diapresiasi sebagai bagian dari niat dan ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan persoalan perekrutan guru.
Jika sekolah mau diperkuat dalam perekrutan guru yang selama ini masalahnya terus berulang, sekolah—dalam hal ini kepala dan pengawas sekolah—harus dilibatkan sebagai bagian dari Panselda. Artinya, sekolah dapat mengajukan analisis kebutuhan guru pada proses awal sekaligus melakukan verifikasi kembali di akhir berupa pemeriksaan, persetujuan, ataupun penolakan mengenai apakah formasi yang diajukan sudah atau belum sesuai dengan analisis kebutuhan riil, sebelum usulan disahkan Panselda dan kemudian ditetapkan Panselnas.
Problematika pemda
Ide marketplace guru mencuat karena persoalan seleksi PPPK yang selalu karut-marut dalam penyelenggaraannya. Sebagaimana dilansir dari paparan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (24/5/2023), kebijakan perekrutan satu juta guru PPPK yang dimulai 2021-2022 baru menyerap 544.292 guru. Sementara, sampai 2023, jumlah kebutuhan guru yang masih perlu dibukakan formasi sebanyak 601.286 guru. Bisa dikatakan perekrutan selama dua tahun terakhir masih belum optimal.
Di antara problematika utama yang sering terjadi adalah minimnya pembukaan formasi oleh pemda, di mana tahun ini pemda baru mengajukan formasi sebanyak 278.102 guru. Pada sisi lain, jumlah guru yang mengikuti seleksi PPPK dan sudah dinyatakan lolos passing grade sebanyak 193.954 guru.
Dari 193.954 guru, 131.025 guru sudah mendapatkan penempatan, sedangkan 62.546 orang sisanya yang sudah lulus passing grade 2021 dan masuk kategori guru P1 masih belum mendapatkan penempatan.
Sampai sejauh ini baru terdapat 36.061 guru lulus passing grade 2021 yang diusulkan formasinya oleh pemda. Persoalan anggaran juga menyertai pemda yang khawatir tidak memiliki kecukupan anggaran untuk membayar gaji PPPK walaupun sudah diterangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212 Tahun 2022 bahwa gaji PPPK bisa diambil melalui alokasi DAU.
Optimalisasi pemerintah
Konstitusi mengharapkan ada harmoni dan kesinergian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam tata kelola guru. Pada Pasal 41 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan, pemerintah (pusat) dan pemda wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Kemudian, pada Pasal 24 Ayat (1), (2), (3) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, pemerintah (pusat), pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru; baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi; secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, dan khusus jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.
Oleh karena itu, disarankan, apabila pemda (Panselda) masih minim dalam pengajuan formasi, tindakannya bukanlah membuat marketplace guru, melainkan mengambil kebijakan optimalisasi oleh pemerintah (Panselnas) melalui pemanfaatan aplikasi sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (SSCASN), dengan mengacu data pelamar prioritas guru lulus PG 2021 (P1), guru honorer K-II (P2), dan guru non-ASN di sekolah negeri (P3).
Konstitusi mengharapkan ada harmoni dan kesinergian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam tata kelola guru.
Caranya ialah, pertama, membuka dan mengisi kekurangan formasi di daerah dengan mengambil dari pemetaan 62.546 guru P1. Setelah itu segera angkat dan sebar para guru P1 berdasarkan analisis kebutuhan di daerah masing-masing.
Kedua, pemerintah harus mengunci dan mengambil data guru di Dapodik per 2023 untuk memastikan semua guru P2 (932 guru) dan guru P3 (76.784 guru) mengikuti observasi untuk kemudian bisa langsung diangkat.
Ketiga, setelah P1, P2, dan P3 terangkat semua, pemerintah tinggal memprioritaskan pelamar umum yang sudah mengikuti tes dan lolos PG 2022 (P4) untuk langsung diangkat guna menutup defisit guru. Syarat lain, para pelamar prioritas juga bisa dibuatkan pakta integritas jika mau diangkat harus berkomitmen meningkatkan profesionalismenya dan siap ditempatkan di mana pun oleh pemerintah atau pemda berdasarkan kebutuhan.
Apabila antrean pelamar prioritas ini tuntas, maka lepaslah beban sehingga pemerintah bisa mulai merevitalisasi lembaga pendidik dan tenaga kependidikan (LPTK), memperkuat peran sekolah swasta, membuka moratorium pegawai negeri sipil (PNS), dan fokus mempersiapkan perekrutan guru muda untuk menyongsong surplus demografi.
Guru bukan barang
Guru adalah profesi mulia dan terhormat. Sebagai sebuah bidang pekerjaan khusus, guru memiliki prinsip profesionalitas sesuai UU No 14/2005 Pasal 7 Ayat (1), yakni, pertama, memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Kedua, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ketiga, memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas.
Kemudian, keempat, memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Kelima, memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Keenam, memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai prestasi kerja. Ketujuh, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Kedelapan, memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kesembilan, memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur tugas keprofesionalan guru.
Bagi Bung Karno, menjadi guru adalah hal yang mulia. Menjadi guru tidak hanya dapat dikatakan sebagai mengabdi kepada bangsa dan negara, tidak hanya dapat dikatakan sebagai menjemput sebuah kehormatan, tidak hanya dapat dikatakan sebagai menuntaskan cita-cita kemerdekaan, tetapi menjadi guru adalah menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa.
Dari sini jelas bahwa guru bukanlah barang dagangan yang dapat dengan mudah dikapitalisasi sesuai selera pasar.
Hanya guru yang benar-benar Rasul Kebangunan yang dapat membawa sang anak ke dalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan yang dapat menurunkan kebangunan dalam jiwa sang anak. Menjadi guru laksana utusan Tuhan yang dikirim ke atas muka bumi untuk menyadarkan, membangkitkan, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan dalam diri setiap manusia.
Dari sini jelas bahwa guru bukanlah barang dagangan yang dapat dengan mudah dikapitalisasi sesuai selera pasar. Ide marketplace secara spontan seolah menunjukkan bahwa pemerintah mengalami kelelahan (burn out) disebabkan ketidakmampuannya dalam meyakinkan pemda. Pada akhirnya bagaimana mungkin guru yang mulia dan terhormat bisa dipadankan dengan istilah marketplace?
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia