Dedolarisasi, antara Spekulasi dan Realitas
Apakah dedolarisasi akan terjadi? Sepertinya terlalu pagi menyimpulkan RMB akan menggantikan dollar AS. Dalam jangka panjang arsitektur keuangan internasional mungkin multipolar, ada beberapa mata uang internasional.
Ilmu ekonomi mungkin berlebihan. Ia punya mimpi—dan mungkin juga kesombongan—untuk mencoba menjelaskan berbagai hal, termasuk soal perkawinan, gosip, dan sebagainya.
Gary Becker, pemenang Nobel Ekonomi dari University of Chicago, misalnya, pernah menulis ”The Theory of Marriage”; Esther Duflo dan Abhijit Banerjee—keduanya pemenang Nobel Ekonomi dari MIT—menulis risalah ”Using Gossips to Spread Information” (Banerjee, Chandrasekhar, Duflo, and Jackson, 2019).
Saya tak ingin menambah daftar itu—dan bisa salah—tetapi konsep pacaran mungkin sebuah contoh sederhana dari apa yang disebut ekonom sebagai double coincidence of wants (keinginan timbal balik dari kedua belah pihak).
”Pacaran”—secara umum—akan terjadi jika kedua pihak ”mau sama mau” atau memiliki ketertarikan timbal balik. Ia mengingatkan saya pada ekonomi barter: pertukaran atau transaksi di antara dua pihak terjadi karena apa yang ditawarkan pihak pertama cocok dengan apa yang diminta pihak kedua, dan sebaliknya. Dalam praktik, menemukan kecocokan ini tak mudah. Bayangkan, seseorang yang ingin menukar beras untuk dapat daging belum tentu bisa mendapatkan pihak lain yang juga ingin menukar daging untuk mendapatkan beras.
Bisa dibayangkan rumitnya hidup di zaman barter. Transaksi hanya terjadi jika ada double coincidence of wants. Membuat transaksi perdagangan hampir sama sulitnya seperti mencari pacar. Mungkin saya berlebihan, tapi ekonomi barter punya biaya transaksi dan proses koordinasi yang rumit. Orang lalu mencari jalan: menciptakan perantara alat tukar (medium of exchange) yang bisa digunakan semua atau banyak pihak.
Dari sana, konon, sejarah uang bermula. Kalimat ”digunakan semua atau banyak pihak” menjadi penting. Semakin kecil jumlah ”yang menggunakan uang tersebut sebagai alat tukar” semakin tinggi tingkat kesulitan atau transaction cost dan coordination cost.
Baca juga: Dedolarisasi dan Risiko Utang Pemerintah
Pemicu dedolarisasi
Ilustrasi di atas menjadi penting ketika isu dedolarisasi muncul akhir-akhir ini. Ketegangan geopolitik antara Rusia dan negara Barat telah memicu sanksi kepada Rusia. Rusia tak bisa melakukan transaksi internasionalnya dalam dollar AS. Ia lalu mencari alat tukar lain, seperti renminbi (RMB).
Bola terus bergulir. Selain Rusia, beberapa negara juga mulai membuat memorandum of understanding (MOU) kerja sama bilateral menggunakan RMB. Argentina dan juga Pakistan, misalnya, sepakat untuk menggunakan RMB dalam perdagangannya dengan China.
Presiden Xi Jinping juga mengunjungi Arab Saudi dan membahas kemungkinan penggunaan RMB untuk ekspor minyak Saudi ke China. Brasil dan China juga mengumumkan: offshore RMB bank kliring dibuka untuk memfasilitasi kliring RMB di Brasil.
April 2023, Alexander Babakov, Deputi Ketua Parlemen Rusia, Duma, menyatakan, Rusia mendorong penggunaan mata uang baru berbasiskan sekeranjang mata uang yang terdiri dari real Brasil, rubel Rusia, rupee India, RMB China, dan rand Afrika Selatan (Afsel). Mata uang ini akan digunakan negara-negara BRICS: Brasil, Rusia, India, China, dan Afsel dalam transaksi mereka.
Ilustrasi
Rentetan peristiwa ini telah menimbulkan pertanyaan dan juga spekulasi, apakah akan terjadi dedolarisasi? Spekulasi semakin diperkuat lagi ketika melihat data bahwa peran dollar AS dalam cadangan devisa banyak bank sentral di dunia menurun. Benarkah itu? Tampaknya kita harus hati-hati untuk mengambil kesimpulan dari fenomena ini.
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah dedolarisasi akan terjadi? Apakah RMB akan menggantikan peran dollar AS sebagai mata uang cadangan devisa (reserve currency)? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, data memang menunjukkan porsi dollar AS dalam cadangan devisa di banyak bank sentral di dunia mengalami penurunan pada 2022. Apakah ini pertanda dedolarisasi terjadi?
Barry Eichengreen, Guru Besar Ekonomi University of California Berkeley, menunjukkan ada dua alasan penurunan ini, yakni (1) apresiasi mata uang dollar AS telah memaksa banyak bank sentral di dunia melakukan intervensi guna mempertahankan nilai tukarnya. Intervensi untuk mencegah depresiasi mata uangnya mengakibatkan bank sentral melepas dollarnya. Akibatnya, tentu saja cadangan devisa dollar turun. Kemudian, (2), kenaikan tingkat bunga di AS mengakibatkan harga obligasi dollar AS menurun. Karena cadangan devisa banyak ditempatkan dalam aset yang sensitif terhadap kenaikan bunga, seperti obligasi, maka cadangan devisa dalam dollar AS juga menurun. Jadi, penurunan porsi itu bukan karena dedolarisasi.
Spekulasi semakin diperkuat lagi ketika melihat data bahwa peran dollar AS dalam cadangan devisa banyak bank sentral di dunia menurun.
Kedua, peran RMB dalam transaksi dan aset global masih relatif kecil. Tengok data yang disampaikan Eichengreen (2023): porsi dollar AS dan euro dalam transaksi society of worldwide interbank financial telecomunicaton (SWIFT) masing-masing masih 40 persen. Hal yang sama terjadi dalam transaksi ekspor global, di mana porsi dollar AS dan euro masing-masing 40 persen. RMB? Masih sangat kecil perannya, baik dalam SWIFT maupun ekspor global.
Data juga menunjukkan peran RMB sebagai komponen cadangan devisa yang dipegang berbagai bank sentral dunia masih sangat kecil. Sebanyak 60 persen cadangan devisa dunia masih dalam mata uang dollar AS dan RMB kurang dari 3 persen. Dari sisi investasi portofolio: aset dan liabilities eksternal China hanya 4 persen dari keseluruhan aset global.
Berbagai MoU yang dilakukan tampaknya belum akan membuat porsi RMB mampu menyaingi dollar AS dalam waktu singkat. Peran RMB yang masih relatif kecil ini akan menyulitkan banyak negara jika ingin menggunakan RMB dalam transaksinya. Jika kita ingin bertransaksi dengan RMB, sementara RMB belum digunakan secara luas, maka akan ada kesulitan melakukan transaksi.
Persis seperti cerita saya di atas soal alat tukar ”yang digunakan oleh banyak pihak”. Kunci dari sebuah mata uang untuk menjadi mata uang internasional adalah ”telah digunakan secara luas” Semakin kecil jumlah ”yang menggunakan” semakin tinggi transaction cost dan coordination cost, dan sebaliknya.
Ketiga, penggunaan RMB masih relatif terbatas karena China masih memberlakukan kontrol devisanya. Mudahnya: bagaimana orang dapat melakukan transaksi atau berinvestasi di RMB jika RMB tak mudah diperjualbelikan di pasar internasional. China memang mulai melakukan relaksasi, tetapi kontrol devisa masih signifikan. Ini menjelaskan mengapa porsi RMB dalam aset global hanya 4 persen. Eichengreen menyatakan RMB bisa saja diperoleh melalui pinjaman China untuk proyek-proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI). Dengan cara ini, menurut Eichengreen, peran RMB akan meningkat secara gradual.
Sejalan dengan itu, ekonom Carmen Reinhart dari Harvard Kennedy School di sebuah seminar di Harvard University, bulan lalu, menunjukkan, peran China dalam transaksi swap global terus meningkat. China juga mulai berusaha menjadi international lender of last resort (pemberi pinjaman terakhir) (lihat risalah awal dari Horn, Parks, Reinhart, Trebesch; akan terbit). Ada kekhawatiran Reinhart, sebagai lender of last resort, China kurang transparan. Kekhawatiran lain: tingkat bunganya juga relatif lebih tinggi dan skemanya nyaris eksklusif untuk negara yang ikut proyek BRI.
Reinhart mengatakan, dengan kondisi ini, arsitektur moneter internasional akan menjadi multipolar, kurang terinstitusi dan kurang transparan.
Sistem multipolar?
Keempat, Triffin Dilemma. Ekonom Robert Triffin pernah mengajukan teori bahwa sebuah negara yang menginginkan mata uangnya menjadi mata uang dunia (reserve currency) harus mampu memasok mata uangnya agar dapat dipergunakan di negara lain. Bagaimana caranya? Triffin mengatakan, negara itu harus bersedia menjalankan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Mengapa? CAD terjadi jika ekspor barang dan jasa sebuah negara lebih kecil daripada impornya. Jika defisit terjadi, jumlah uang yang keluar lebih besar dari uang yang masuk. Dengan ini, negara tersebut akan memasok dunia dengan mata uangnya.
Singkatnya, Triffin mengatakan bahwa sebuah negara yang menginginkan mata uangnya sebagai mata uang dunia harus bersedia untuk menerima CAD. Apakah China bersedia mengimpor lebih banyak dan mengubah surplus transaksi berjalannya menjadi defisit? Argumen Triffin memang jadi bahan perdebatan. Triffin benar dalam kasus dollar AS. AS memasok dollar untuk dunia karena transaksi berjalannya defisit.
Saya setuju dengan Reinhart bahwa dalam jangka panjang arsitektur keuangan internasional mungkin akan menjadi multipolar, di mana ada beberapa mata uang internasional.
Namun, argumen ini tak sepenuhnya benar. Eichengreen menunjukkan bahwa dalam kasus zona euro dan Jepang, keduanya memiliki surplus transaksi berjalan, tetapi toh masih bisa menjadi mata uang internasional walau perannya tak sebesar dollar AS. Lalu, apakah dedolarisasi terjadi? Apakah RMB akan menggantikan dollar AS? Saya setuju ke depan, secara perlahan, peran RMB akan semakin meningkat. Namun, dibutuhkan waktu yang panjang untuk membuat RMB menjadi reserve currency.
Saat ini, mungkin terlalu pagi bagi kita untuk menyimpulkan bahwa RMB akan menggantikan dollar AS. Saya setuju dengan Reinhart bahwa dalam jangka panjang arsitektur keuangan internasional mungkin akan menjadi multipolar, di mana ada beberapa mata uang internasional.
Skenario lain? Eichengreen menulis sebuah ”skenario muram” dalam risalahnya: memuncaknya ketegangan China dengan AS, misalnya jika China menyerang Taiwan. Dalam kondisi ini, bukan tidak mungkin AS akan menerapkan sanksi. China akan membalas. Implikasinya, negara yang memiliki hubungan perdagangan dan keuangan dengan China dan AS akan dipaksa untuk mengikuti sistem keuangan masing-masing.
Saya sulit membayangkan dunia macam apa yang kita hadapi. Sistem keuangan yang terpisah akan membuat transaction cost dan coordination cost sangat tinggi. Ekonomi dunia akan terpecah. Biaya transaksi menjadi sangat tinggi. Melakukan transaksi mungkin akan sulit. Sesulit mencari pacar yang cocok.
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia