
Kepolisian Daerah Metro Jaya pekan lalu telah melimpahkan berkas kasus Mario Dandy Satrio (20) dan Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan (19) ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kompas, 27/5/2023).
Dengan demikian, setelah kejaksaan menyempurnakan dakwaan—maksimal 20 hari—perkara dapat segera disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Putra pejabat pajak dan temannya itu didakwa melakukan penganiayaan berat. Peristiwa tersebut viral, lalu melebar ke harta kekayaan sang ayah yang dinilai tidak wajar gara-gara anaknya gemar pamer di media sosial.
Tajuk Rencana Kompas, ”Pelajaran Mahal Mario-Rafael” (27/2/2023), mengingatkan kasus tersebut sangat mencemaskan karena mengungkap banyak hal. Banyak pelanggaran norma sosial dan hukum.
Penganiayaan tersebut juga diulas pakar dari beragam disiplin keilmuan. Ada pembahasan dari aspek hukum, psikologi, sosiologi, pendidikan, dan sebagainya.
Menjadi terang bahwa perilaku kekerasan anak muda adalah ramuan berbagai faktor di tengah situasi, kondisi, lingkungan, dan konteks yang bervariasi. Terbetik juga dugaan bahwa maraknya kekerasan oleh anak-anak muda ini menjadi pertanda fenomena ”puncak gunung es”.
Semua itu menegaskan kembali problem mendidik anak, terlebih di era perubahan yang luas dan cepat saat ini. Semakin nyata bahwa mempersiapkan anak menempuh kehidupan tidaklah sebatas memberi materi dan ilmu. Kendati klise, terbukti yang utama adalah menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan etika.
Tajuk Rencana Kompas di atas menuntut agar kasus kekerasan, kekayaan, dan gaya hidup mewah pejabat mendapat perhatian serius. Keluarga, lembaga pendidikan, pemerintahan, dan semua pemangku kepentingan harus memastikan tidak ada lagi kasus serupa.
Jelas itu tidak mudah, tetapi mendesak serentak dilakukan. Seperti adagium lama yang tetap relevan: ”Semua dimulai dari rumah”. Insya Allah.
Eduard LukmanJalan Warga RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Jakarta 12510
Kejanggalan Garuda
Saya Senin, 3 April 2023, membeli tiket Garuda lewat laman Garuda Indonesia. Namun, saya kecewa karena pembayaran lewat kartu kredit Mastercard HSBC dan Visa BCA tidak dapat diproses.
Padahal, kedua bank sudah menyetujui permintaan bayar dengan mengirim OTP. Garuda meminta saya menggunakan cara pembayaran lain.
Saya mencoba melihat cara pembayaran lewat ATM. Kembali saya kecewa karena pembayaran lewat ATM tidak mencantumkan ATM BCA, HSBC, CIMB Niaga, dan beberapa bank lain. Yang bisa hanya ATM Bank Bali, BJB, Danamon, DIY, DKI, Mega, Muamalat, Panin, dan Syariah.
Mengapa ATM BCA, salah satu bank besar dengan jumlah ATM terbanyak, tidak ada dalam daftar ATM Garuda?
Mengapa pula bank-bank besar lain, termasuk bank BUMN, juga tidak tersedia?
Sebagai flag-carrier, sungguh tidak pantas Garuda membatasi pembayaran melalui bank-bank tertentu. Sedemikian burukkah manajemen Garuda?
Hadi SatyagrahaJalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat
Pecahan Uang Baru
Ada beberapa cerita yang beredar di media sosial. Tentang kesilapan mata kita membedakan uang kertas baru Rp 2.000 dengan Rp 50.000. Warna keduanya nyaris sama: kebiru-biruan.
Kalau tidak teliti, kita bisa mengira pecahan Rp 2.000 itu sebagai uang Rp 50.000. Terlebih jika dalam keadaan terlipat tanpa terlihat angka 2. Kekeliruan juga bisa terjadi jika suasana temaram.
Semoga Bank Indonesia ke depan bisa lebih bijak dalam penggunaan kontras ataupun gradasi warna pada mata uang kertasnya.
Djoko Madurianto SunartoPugeran Barat, Yogyakarta 55141