Ekosistem perbukuan mengalami revolusi mematikan yang sangat cepat. Namun, belum terlambat jika pemerintah membenahi politik pendidikan yang berorientasi pada pengembangan pendidikan berbasis literasi perbukuan.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·3 menit baca
PT Gunung Agung Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh toko akhir tahun ini. Menurut pihak manajemen, keputusan itu harus diambil karena kerugian kian besar.
Saat ini tinggal lima toko setelah menutup beberapa toko buku yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), perusahaan tersebut telah merumahkan lebih dari 350 karyawan pada 2020-2023.
Kita belum benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada kertas, tetapi toko buku sudah tutup, koran dan majalah tidak lagi dicetak, dan produk-produk kebudayaan cetak sudah berganti elektronik.
Dalam konteks buku dan pendidikan, sudah tepatkah pemerintah merancang sistem perbukuan berbasis digital? Bagaimana implikasi hilangnya buku cetak dalam praktik pendidikan di Indonesia?
Mungkinkah gerakan melek baca-tulis ini berlangsung tanpa pengembangan buku?
Barangkali inilah tanda-tanda yang pernah ditulis Jacques Derrida dalam bab pertamanya, ”Akhir dari Buku, Awal untuk Tulisan” dalam buku Of Grammatology (1967). Menurut dia, ketika peradaban tak lagi digerakkan oleh buku tercetak, teks akan mengambil alih melalui produksi tafsir pembaca. Bayangan Derrida bisa terus dikembangkan. Buku cetak boleh hilang, tetapi teks buku tidak.
UU No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan menyadari pentingnya pengadaan buku murah, bermutu, dan merata. Ini diwujudkan dalam tiga mekanisme perbukuan: kendali mutu, tata niaga, dan sistem pengadaan. UU itu kini ketinggalan zaman, karena buku tidak saja murah, tetapi gratis di internet. Maka, ekosistem perbukuan nasional berubah dratis karena enam faktor.
Pertama, perkembangan teknologi mengubah pola produksi buku. Percetakan digital mengambil alih percetakan manual yang mahal. Dulu mencetak buku harus dalam jumlah besar, karena tuntutan mesin produksi. Kini kita bisa mencetak buku satuan.
Toko Buku Gunung Agung berkembang ketika permintaan buku sangat tinggi setelah kemerdekaan. Pada 1951, Tay San Kongsie membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jl Kwitang 13 Jakarta sebagai titik awal percetakan buku dan pemasarannya. Hal itu meng indikasi bahwa toko buku tutup karena permintaan buku cetak rendah.
Kedua, alur penerbitan buku dipotong menjadi sangat pendek. Pada mulanya dari pengarang, editor penerbit, percetakan, pemasaran, hingga pembaca. Sekarang pengarang bisa menerbitkan buku dan memasarkan sendiri secara daring.
Ketiga, penulis buku secara profesional bukanlah pekerjaan yang menjanjikan pada masa depan. Dengan royalti 10 persen dari harga buku dan dicetak 1.000 eksemplar, misalnya, keuntungan tidaklah besar.
Minus keberpihakan
Keempat, sumber pengetahuan masyarakat telah berganti dari buku cetak ke digital yang dapat diakses dengan mudah. Masyarakat belajar keterampilan praktis cukup dari sebuah tautan di internet. Teknologi informasi, kecerdasan buatan, dan keseluruhan perkembangan dunia digital turut mematikan eksistensi buku.
Kelima, gerakan literasi Indonesia yang diusung pemerintah sejak 2016 mengutamakan buku ajar dan buku pengayaan yang dicetak melalui lelang untuk tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah. Sementara buku dalam praktik pembelajaran di perguruan tinggi lebih mudah menggunakan buku elektronik atau e-book.
Keenam, dalam pengembangan karier akademisi, buku tidak lagi menjadi faktor penentu. Bila mengacu pada kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 1 Tahun 2023, karier dosen ditentukan oleh mekanisme pencatatan karya ilmiah di ”lembaga internasional”.
Ekosistem perbukuan mengalami revolusi mematikan yang sangat cepat. Pemerintah mengabaikan eksistensi buku sebagai bagian dari membangun literasi secara sehat ketimbang melalui artikel ilmiah.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 1 Tahun 2023 menempatkan buku sebagai bagian dari terbitan ilmiah yang tidak harus ada dalam penghitungan angka kredit dosen. Hal itu dibuktikan dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat Dosen (PO PAK) yang diterbitkan pleh Pemerintah pada 2023.
Nilai tertinggi dari penerbitan buku dosen tidak bisa melebih angka penerbitan artikel di jurnal. Penerbitan buku itu bisa digantikan produk tulisan lain, seperti karya tulis dalam bunga rampai, seminar, naskah akademik di perpustakaan, saduran, editor karya ilmiah, atau karya teknologi. Buku bukan bagian penting dalam pengembangan karier akademik.
Ekosistem perbukuan mengalami revolusi mematikan yang sangat cepat. Pemerintah mengabaikan eksistensi buku sebagai bagian dari membangun literasi secara sehat ketimbang melalui artikel ilmiah.
Karena itu, belum terlambat kiranya jika pemerintah membenahi politik pendidikan yang berorientasi pada karya ilmiah ”internasional”, kembali pada pengembangan pendidikan berbasis literasi perbukuan.
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Program Doktor Linguistik Terapan Universitas Negeri Jakarta