Memahat Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani
Hasil data Sensus Pertanian 2023 diharapkan bisa menjadi landasan yang valid dalam perumusan kebijakan di bidang pertanian, yaitu untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Pada 1 Juni-31 Juli 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) akan menggelar helatan akbar, yaitu Sensus Pertanian (ST) 2023. ST 2023 ini mencakup tujuh subsektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, dan jasa pertanian.
Sensus ketujuh yang digelar 10 tahun sekali ini mengambil tema ”Mencatat Pertanian Indonesia untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani”. Tema ini, kata Kepala BPS Margo Yuwono, bermakna hasil data ST 2023 diharapkan bisa menjadi landasan yang valid dalam perumusan kebijakan di bidang pertanian.
Data adalah hulu setiap kebijakan. Data yang baik, yang kemudian dijadikan dasar membuat kebijakan, keluaran (output) kebijakan akan baik. Sebaliknya, data sampah akan berujung pada kebijakan sampah.
Selain sebagai dasar membuat kebijakan, data juga bisa dimanfaatkan untuk analisis kebijakan, rekomendasi kebijakan, formulasi perencanaan, dan evaluasi kebijakan. Betapa pentingnya data bagi kebijakan publik, penting bagi BPS untuk mematahkan pemeo ini: ”Semua data ada, yang tidak ada adalah data yang valid”.
Menurut BPS, ST 2023 hendak memotret perubahan struktur pertanian Indonesia 10 tahun terakhir, menyediakan kerangka sampel bagi survei-survei di antara dua sensus untuk pengumpulan data statistik pertanian yang rinci, dan menyediakan data sebagai benchmark dan rekonsiliasi statistik pertanian yang ada. Berpegang teguh pada World Programme for The Census of Agriculture FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian), ST 2023 hendak menjawab berbagai tantangan global pertanian dengan menyediakan data faktual pertanian Indonesia. Data yang terstandardisasi membuat ST 2023 bisa diperbandingkan dengan ST sebelumnya.
Berbeda dengan ST sebelumnya, ST 2023 ini hendak memenuhi ketersediaan data struktur pertanian dan indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pertanian, petani kecil, geospasial pertanian, dan manajemen pertanian. Beberapa indikator SDGs pertanian Indonesia hingga kini belum terpenuhi secara komprehensif, seperti indikator proporsi lahan pertanian di bawah kriteria lahan produktif dan berkelanjutan, proporsi penduduk dengan kepemilikan atas lahan pertanian, dan volume produksi per unit tenaga kerja untuk petani skala kecil.
Di ST 2023 juga diadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi FAO. FAO mengklasifikasi petani kecil dalam dua ukuran, yaitu fisik dan ekonomi. Ukuran fisik mencakup lahan pertanian yang dikelola dan jumlah ternak yang dipelihara. Petani yang mengelola lahan pertanian kurang dua hektar dan ternak kurang dari tiga tropical livestock unit (TLU, satu TLU setara dengan seekor sapi) tergolong petani kecil. Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang dari Rp 18,8 juta per tahun dikategorikan sebagai petani kecil.
Lewat ST 2023 juga akan dikumpulkan data geospasial unit usaha pertanian. Ini mencakup data lokasi koordinat dan foto rumah unit usaha pertanian. Data geospasial akan menjadi pelengkap dalam pengumpulan informasi unit usaha pertanian. Cakupan baru yang juga tersedia di ST 2023 adalah manajemen unit usaha pertanian. Di dalamnya mencakup informasi penyuluhan yang pernah diperoleh, penggunaan teknologi pertanian, pencatatan kegiatan usaha pertanian, hingga asuransi pertanian yang pernah diikuti.
Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang dari Rp 18,8 juta per tahun dikategorikan sebagai petani kecil.
Cakupan baru
Cakupan baru ST 2023 menerbitkan asa bahwa data sensus ini akan berdaya guna bagi perumusan dan evaluasi kebijakan publik di sektor pertanian, salah satunya pencapaian kedaulatan pangan. Konstitusi, seperti termaktub di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, memberi amanah pada penguasa negeri untuk menggapai kedaulatan pangan. Pertama-tama perlu dipahami kedaulatan pangan adalah prasyarat bagi adanya ketahanan. Ketahanan pangan baru tercipta apabila kedaulatan dimiliki pelakunya, yaitu petani.
Agar berdaulat pangan, pertama-tama petani (dalam arti luas) sebagai pelaku utama produksi pangan harus berdaulat. Karena itu, berbeda dengan definisi kedaulatan pangan di UU No 18/2012 yang menitikberatkan pada hak negara, bangsa, dan masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan dan sistem pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal, kedaulatan pangan yang hakiki lebih bicara tentang petani, bukan tentang pangan. Karena itu, kedaulatan pangan lebih tepat dimaknai sebagai kedaulatan petani atas pangan yang mencakup mulai dari input, proses produksi, sistem perdagangan, hingga konsumsi.
Petani akan berdaulat apabila ia memiliki akses luas terhadap aneka sumber daya produksi penting, yaitu tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial. Selama ini akses petani atas aneka sumber daya produktif ini amat lemah. Agar resiliens, sistem produksi mesti berbasiskan empat pilar, yaitu fisibel secara ekonomi, teknologi adaptif, secara lingkungan tidak merusak dan berkelanjutan, dan secara sosial-budaya diterima warga. Dipadu sistem perdagangan yang adil dan model konsumsi setempat/lokal, berbasiskan kebutuhan dasar, dan rendah jejak karbon akan menciptakan kedaulatan pangan yang kokoh dan pejal.
Tujuan semua ini hanya satu, yaitu petani sejahtera dan bahagia. Jika petani sejahtera dan bahagia, mereka bakal giat berproduksi. Ketika produktivitas tinggi, pangan bakal melimpah, dan harga-harga akan stabil. Harga pangan yang stabil, secara mikroekonomi, memudahkan produsen merencanakan usaha, juga menjaga daya beli konsumen.
Secara makroekonomi, harga yang stabil akan mendorong pertumbuhan ekonomi, mendongkrak investasi di sektor pangan dan sektor terkait. Harga yang stabil membuat inflasi terkendali. Ini membuat situasi sosial-politik stabil dan keresahan sosial terkendali. Ini semua menjadi modal penting bagi keberlangsungan dan keberlanjutan pemerintahan.
Sensus Pertanian 2023 menjadi tonggak baru untuk menjawab isu-isu global, seperti ketahanan pangan, kelangkaan pangan, pertanian berkelanjutan, penggunaan teknologi pertanian, kedaulatan pangan, dan aging farmers di Indonesia, termasuk menelisik sejauh mana kondisi kesejahteraan petani. Masih menjadi pertanyaan apakah data investasi pertanian, buruh tani, konversi lahan tiada henti, dan rendahnya minat pemuda di sektor pertanian, misalnya, juga akan tersedia? Akan tetapi, dengan cakupan data baru, harapannya ST 2023 telah memulai memahatkan indikator kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan.