Politik-Ekonomi ”Tarian Gajah”
Selama tiga tahun sebagai Menteri BUMN, Erick Thohir melakukan transformasi BUMN sebagai strategi menghadapi globalisasi. Hasilnya berupa konsolidasi 114 BUMN yang terpencar menjadi 41 entitas yang kokoh dan efisien.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir memperkenalkan frasa menarik kepada publik nasional: ”mengajar gajah menari”. Kita bisa menangkap maksudnya. Sang ”gajah” tak lain korporasi besar.
Frasa ini, sebagaimana dinyatakan Erick Thohir dalam pidato pengukuhan doktor kehormatannya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang, 3 Maret 2023, berasal dari buku manajemen karya Prof Rosabeth Moss yang dibacanya ketika kuliah di Amerika Serikat.
Seperti bobot gajah, korporasi besar cenderung bergerak lamban dan karena itu acap terlambat beradaptasi ke dalam lingkungan bisnis yang dinamis.
Globalisasi dan transformasi BUMN
Tentu saja, dalam konteks Indonesia dan tugas kepemerintahannya, yang dimaksudkan Erick Thohir tentang ”gajah” itu adalah badan usaha milik negara (BUMN). Ketika memperkenalkan frasa itu, Erick secara eksplisit menyebut Pertamina, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan induk BUMN pertambangan MIND ID sebagai contoh keberadaan ”gajah” di Indonesia.
Secara teoretis, Erick mengatakan, bobot perusahaan besar yang disebutnya tambun dan lamban itu ”tidak memiliki fondasi fisik yang diperlukan untuk dapat bergerak lincah dan adaptif”.
Akan tetapi, berlawanan dengan logika teoretis itu, Erick bukan saja tidak menolak bobot ”gajah” di dalam BUMN. Sebaliknya, seperti yang dilakukan selama tiga tahun menjadi menteri, Erick justru cenderung menciptakan wujud ”gajah-gajah” baru di dalam gugusan BUMN. Di sini, Erick menyebut kelahiran Bank Syariah Indonesia (BSI).
Baca juga : Menguji Daya Tahan BUMN
Terpencar-pencar di ruang sempit masing-masing bank konvensional milik BUMN, apa yang disebut bank syariah itu lebih terlihat sebagai serombongan ”kancil” dalam peta kekuatan modal-finansial di Indonesia. Erick melihat fenomena ini tak sehat karena tak berkontribusi secara signifikan terhadap pembentukan modal finansial produktif.
Inilah yang mendorongnya menyatukan kekuatan kecil yang terpencar-pencar itu ke dalam satu wadah besar, yaitu PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Hasilnya, BSI secara tiba-tiba menjadi bank keenam terbesar di Tanah Air. Sesuai dengan target, BSI akan masuk 10 besar bank syariah tingkat dunia.
Hal yang sama berlaku untuk semua BUMN. Sektor farmasi dan Pelabuhan Indonesia (Pelindo) bisa menjadi contoh di sini. Penggabungan perusahaan farmasi dan Pelindo menciptakan jejak sejarah baru dunia BUMN.
Di samping kalkulasi ekonomis, dengan latar belakang pandemi Covid-19, penyatuan BUMN farmasi itu telah memberi landasan kukuh kerja sama sains tingkat global. Hasilnya, dalam waktu singkat, kolaborasi global sains ini melahirkan akreditasi Uni Eropa atas aplikasi Peduli Lindungi.
Maka, cetus Erick, aplikasi tersebut telah ”diterima sebagai salah satu aplikasi pemantau kesehatan pandemi Covid-19 terbaik dunia”. Di sini, kita melihat ada ”dwi-lompatan” sektor farmasi: ekonomi dan know how di satu pihak dan integrasi BUMN farmasi ke dalam jaringan sains kesehatan dunia. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Penyatuan empat Pelindo mengikuti alur yang sama. Sebelumnya terpencar-pencar di Belawan (Sumatera Utara), Jakarta dan Surabaya (Jawa), serta Makassar (Sulawesi Selatan), keempat Pelindo tersebut berada dalam apa yang pernah saya sebut straitjacket management. Di bawah manajemen jenis ini, bukan saja ekspansi Pelindo tak mungkin dilakukan, melainkan juga berbagai kandungan potensi bisnis terjepit.
Sebagai akibatnya, keempat Pelindo tersebut hanya mampu menjadi aktor bisnis lokal. Akan tetapi, sambil tetap melakukan adaptasi dan koreksi, penyatuan keempat Pelindo tersebut pada 1 Oktober 2021 telah melahirkan empat sub-induk berskala nasional.
Dan di bawah kepemimpinan induknya, PT Pelindo Indonesia, yang secara informal disebut ”Pelindo Raya”, status bisnis BUMN ini melompat ke tingkat delapan di dunia di bidang operator terminal peti kemas. Pengumuman Direktur Utama ”Pelindo Raya” Arif Suhartono pada 12 April 2023 menyebutkan adanya penghematan (di luar laba) sebesar Rp 1,3 triliun yang dicapai setahun setelah penggabungan itu.
Dengan menggunakan konsep eternitas plus transformasi, ”penggajahan” ini merupakan strategi menghadapi globalisasi.
Inilah, antara lain, ”gajah-gajah” BUMN yang tercipta selama tiga tahun kinerja Menteri Erick Thohir. Dengan menggunakan konsep eternitas plus transformasi, ”penggajahan” ini merupakan strategi menghadapi globalisasi. Sementara eternitas berarti kelanggengan, Erick menempelkan transformasi di situ untuk menciptakan ruang fleksibilitas agar sang ”gajah” bisa menari.
Sebab, Erick menyebut transformasi sebagai ”perubahan rupa, bentuk, sifat atau fungsi dengan cara menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya”. Yang ditargetkan adalah menciptakan apa yang disebutnya double tornadoes. Sebuah ”putaran dan kekuatan” konstruktif, tanda baru gerak dan dinamika BUMN. Hasilnya bukan saja konsolidasi kekuatan BUMN yang sebelumnya terpencar-pencar itu, yaitu dari 114 menjadi 41 entitas yang lebih kokoh, melainkan juga konsolidasi laba.
Jika pada 2021 laba BUMN adalah Rp 124,7 triliun, maka pada 2022 jumlahnya telah meningkat menjadi Rp 155 triliun.
Inilah makna ”mengajari gajah menari”. Sebuah rentetan usaha strategis yang dimulai dengan menciptakan ”gajah” dan membekalinya dengan kemampuan beradaptasi dalam lingkup bisnis global untuk menciptakan keuntungan ekonomi secara signifikan.
Renungan teoretikal
Untuk sebuah diskusi teoretikal, yang perlu diperhatikan dari paparan Erick Thohir di atas adalah penolakannya terhadap pendapat bahwa kebangkitan BUMN identik dengan ”kembalinya ’kapitalisme negara’ (dan) akan mendorong etatisme”. Sebaliknya, ia menekankan bahwa ”transformasi BUMN kita laksanakan dalam konsep teori ’kebijakan publik’, bahwa ada kepentingan nasional di balik setiap kebijakan publik”.
Senapas dengan itu, Erick menambahkan, ”BUMN adalah lokomotif ekonomi nasional”.
Melihat latar belakang Erick sebagai aktor swasta dan lulusan sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, pernyataan ini menarik. Alasannya bukan hanya karena ada fakta telanjang yang menunjukkan bahwa pada 2022 total pendapatan BUMN China yang terdaftar dalam Global 500 melebihi total pendapatan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Melainkan, tersirat di dalamnya peneguhan apa yang disebut ”Ekonomi Konstitusi”.
Erick memang menegaskan, ”napas eternitas transformasi BUMN didasarkan pada amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945”. Karena itu, walau privatisasi tetap dianggap penting, tindakan itu bukan lagi sebuah panasea.
Di dalam konteks inilah pembicaraan teoretis atas paparan Erick Thohir menjadi relevan. Pertama, juga dengan latar belakang perekonomian China, paparan tersebut mengingatkan kita pada kalimat Rana Foroohar. Dalam tulisan berjudul ”Why China Works?” (Newsweek, 12/1/2013), Foroohar menyatakan, kendatipun dunia dilanda krisis keuangan global pada 2008-2009, perekonomian China justru tumbuh.
Dan, dengan sedikit mengejek, Foroohar menyatakan bahwa itu karena China ”is the only one that routinely breaks every rule in the economic textbook” (satu-satunya negara yang secara rutin melanggar pelajaran buku teks ekonomi). Tentu, buku teks yang dimaksudkan itu adalah yang menekankan keunggulan ekonomi pasar dari ekonomi negara.
Sebaliknya, ia menekankan bahwa ”transformasi BUMN kita laksanakan dalam konsep teori ’kebijakan publik’, bahwa ada kepentingan nasional di balik setiap kebijakan publik”.
Kedua, sejalan dengan itu, paparan Erick membawa kita kembali pada karya Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (1992 [1944]).
Di situ Polanyi menegaskan, pemaksaan pemberlakuan ekonomi pasar sejak Revolusi Industri abad ke-17 dan ke-19 adalah asal-usul ketidakadilan di dalam dunia modern. Paparan Erick di atas, dengan demikian, sejalan dengan konsep embedded economy Karl Polanyi, yakni sebuah ekonomi yang diatur dan berlangsung dalam general organization of society. Di dalam embedded economy ini, sebagai aktor nonpasar, negara harus aktif untuk mengoreksi kecenderungan dehumanisasi mekanisme pasar.
Jalan Ketiga
Akan tetapi, di atas segalanya, paparan Erick tersebut secara langsung atau tidak adalah usaha mengingatkan efek negatif politik-ekonomi Third Way (Jalan Ketiga). Sebagaimana diuraikan Lily Geismer dalam ”How Third Way Made Neoliberal Politics Seem Inevitable” (2022), Third Way ini adalah usaha menemukan ”jalan tengah” antara aliran pemikiran the laissez-faire orthodoxy of the right dan the rigid statism of the left.
Walau pada akhirnya gagasan Third Way itu dirumuskan secara akademik oleh sosiolog Anthony Giddens, landasan utamanya adalah usaha Partai Demokrat dan Partai Buruh, masing-masing di bawah Bill Clinton dan Tony Blair, meluaskan pengaruh ke luar pendukung tradisional mereka. Usaha ini adalah respons atas kemunculan Ronald Reagan di Amerika Serikat dan Margaret Thatcher di Inggris.
Akan tetapi, akibat pelaksanaan gagasan yang tampak ideal itu justru melahirkan proses deindustrialisasi kedua negara tersebut. Secara sederhana, kondisi ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kluster BUMN
Agar menarik perhatian generasi baru, kedua partai tersebut dipaksa mengubah ”ideologi” dan menanggalkan keberpihakan terhadap pendukung tradisional mereka, yaitu kelas-kelas sosial yang direproduksikan oleh, dalam parafrasa Lily Geismer, the industrial manufacturing economy and the labor unions di masa kebijakan Great Society dan New Deal Amerika Serikat dan the industrial-based affluent middle class Inggris pasca-Depresi Besar akhir 1920-an dan 1930-an.
Merekalah yang menjadi pendukung Partai Demokrat dan Partai Buruh. Dominasi politik kedua partai itu terhenti ketika, melalui pandangan neoliberal dalam ekonomi, Margaret Thatcher dan Ronald Reagan merebut kekuasaan sejak akhir 1970-an dan sepanjang 1980-an di Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam analisis Clinton dan Blair, kekalahan ini adalah akibat perubahan demografi yang membuat gagasan-gagasan politik lama tak lagi relevan. Untuk menarik minat generasi baru, keduanya melepaskan ideologi ”populis kiri” yang menekankan pentingnya pengaruh negara dalam perekonomian.
Dari sinilah lahir slogan New Economy atau post-industrial economy. Sebuah aksi yang disebut bloodless revolution yang mengedepankan tema to expand opportunity, not government (memperluas kesempatan, bukan pemerintah). Tema ini melahirkan slogan reinventing government, yang berarti reduksi peran negara sekaligus kebijakan mendukung perdagangan bebas dan penguatan pasar modal sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Ini berarti bahwa kedua partai tersebut mulai meninggalkan basis pendukung tradisional dan beralih kepada generasi baru yang lebih kosmopolit.
Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa proses ”penggajahan” tersebut berarti mempertahankan BUMN secara lebih efektif bertindak sebagai salah satu engine of growth pada tingkat ekonomi domestik.
Antara lain, pergeseran ideologis ini telah menciptakan landasan politik bagi proses deindustrialisasi Amerika Serikat dan Inggris. Sebagaimana saya uraikan dalam ”Amerika dan Politik-Ekonomi Kita” (Kompas, 15/2/2023), proses deindustrialisasi yang terutama berlangsung di Amerika Serikat inilah yang menimbulkan ketidakstabilan ekonomi global, termasuk di Indonesia.
Sebab, deindustrialisasi tersebut identik dengan penghilangan peranan sektor riil di dalam perekonomian domestik Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Maka, sebagai akibatnya, negara-negara ini tak lagi bisa diharapkan bertindak sebagai the global engine of growth (mesin yang mendorong pertumbuhan ekonomi global) bagi negara-negara berkembang yang mengandalkan ekonomi pada manufaktur.
Di sini paparan dan terutama usaha Erick Thohir selama tiga tahun belakangan ini menciptakan ”gajah yang mampu menari” dalam gugusan BUMN, dengan demikian, bersifat strategis secara politik-ekonomi bagi Indonesia.
Sebab, dalam konteks ekonomi, penciptaan ”gajah-gajah” korporasi tersebut berarti usaha mempertahankan, bahkan menggairahkan, kehidupan ekonomi yang lebih didasarkan pada sektor riil.
Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa proses ”penggajahan” tersebut berarti mempertahankan BUMN secara lebih efektif bertindak sebagai salah satu engine of growth pada tingkat ekonomi domestik. Dan secara politik, proses ”penggajahan” tersebut meneguhkan dan membuat Pasal 33 UUD 1945 tetap relevan.
Fachry Ali, Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Penegembangan Etika Usaha (Lspeu Indoonesia) dan Penasehat Menteri PPN/Ketua Bappenas