Mengembalikan Religiositas kepada Fitrah Bangsa
Kecemasan yang dirasakan sejumlah pihak menjelang 2019 juga dirasakan dalam situasi menjelang 2024. Kendati kita menyadari bahwa ketegangan di tahun politik memang wajar terjadi, politisasi agama jangan didiamkan.
Dalam survei yang dilakukan beberapa lembaga internasional dua tahun terakhir, Indonesia selalu ditempatkan sebagai salah satu negara dengan tingkat religiositas teratas.
Pada 2020, misalnya, lembaga Pew Research Center (PRC) melakukan survei bertajuk ”The Global God Divide” kepada 38.426 responden di 34 negara. Dari survei tersebut ditemukan bahwa 96 persen responden dari Indonesia percaya bahwa Tuhan dan agama berperan penting dalam banyak aspek kehidupan, baik sebagai sumber nilai, pengaturan masyarakat, maupun dalam membentuk karakter moral.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Predikat sebagai negara dengan indeks religiositas tertinggi di Asia-Pasifik juga direngkuh Indonesia dalam riset Global Business Policy Institute (2020), dengan responden sebanyak 370.000 orang di 148 negara. Angka religiositas orang Indonesia mencapai 98,7 persen, jauh mengungguli negara-negara tempat kemunculan agama besar di dunia, seperti India (Hindu) dan Arab Saudi (Islam). Survei oleh Statista Global Consumer Survey pada 2021 dengan jumlah responden sebanyak 42.000 orang lagi-lagi menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan indeks religiositas tertinggi di dunia.
Hasil survei yang dilakukan oleh tiga lembaga internasional dua tahun terakhir tersebut selalu menunjukkan angka konsisten bagi Indonesia. Namun, tingginya angka religiositas ini juga berbanding lurus dengan tingginya perselisihan potensial yang juga bersumber dari segmen berlatar agama. Potensi perselisihan sesama anak bangsa, antara lain, muncul karena praktik politisasi agama yang telah menjadi problematika aktual yang mengiringi proses sosial-politik Indonesia kontemporer.
Baca juga : Penguatan Moderasi Beragama
Membelakangi fitrah
Suburnya praktik politisasi agama sebagaimana terjadi pada perhelatan pemilihan umum beberapa tahun terakhir bukan saja menjadi hambatan terbesar dalam upaya konsolidasi demokrasi, melainkan juga membelakangi identitas kemajemukan sebagai fitrah bangsa Indonesia. Fitrah dan identitas bangsa adalah keseluruhan fakta sosiologis dan antropologis yang mencakup keberadaan unsur-unsur mendasar, seperti suku, agama, ras, dan budaya.
Semua itu adalah suatu nilai estetik yang tidak seharusnya dikapitalisasi oleh kepentingan politik praktis. Fakta tentang adanya salah satu unsur (agama) yang dikapitalisasi sebagai kepentingan politik praktis merupakan paradoks. Apabila aspek heterogenitas suku serta budaya dapat kita pahami dan terima sebagai suatu konsensus dalam hidup berbangsa dan tidak ditempatkan sebagai alat politik praktis, lalu mengapa agama tidak?
-
Kita patut menduga jangan-jangan religiositas yang lekat dengan nilai-nilai luhur sebagai nilai identik bangsa Indonesia yang dikenal dunia hanya bertolak dari pengakuan lisan, identitas administratif, atau dari padatnya jemaah di rumah-rumah ibadah. Namun, ketika dihadapkan pada ruang politik, religiositas itu tidak memperlihatkan gejala-gejalanya sama sekali.
Politisasi agama yang tampaknya hadir bersamaan dengan maraknya ujaran kebencian, olok-olok politik, penyebaran hoaks, dan narasi-narasi negatif semacam itu sama sekali tidak mencerminkan manifestasi masyarakat religius.
Realitas ini memperjelas penglihatan bahwa masyarakat kita sepertinya belum beranjak dari pemikiran hitam-putih dalam menyikapi keseluruhan fakta heterogenitas bangsa yang meliputi agama di dalamya.
Pelajaran dari tahun 2019
Penyikapan dan kewaspadaan kita terhadap praktik politisasi agama sebagai masalah aktual dan genting perlu ditingkatkan. Konsolidasi antarsesama anak bangsa jelas sangat diperlukan dalam meredam potensi bangkitnya kembali praktik politisasi agama, terutama menjelang tahun politik. Kita juga perlu menengok ke belakang betapa gegabahnya kita yang seolah mendiamkan besarnya potensi politisasi agama pada 2019 tanpa melakukan upaya berarti.
Padahal, sejak pertengahan 2018, kalangan ahli ilmu sosial telah mengutarakan kekhawatiran akan potensi penggunaan agama dalam Pemilu 2019.
Penyikapan dan kewaspadaan kita terhadap praktik politisasi agama sebagai masalah aktual dan genting perlu ditingkatkan.
Kekhawatiran tersebut, antara lain, terlihat dari data survei Pemetaan Kondisi Ekonomi, Sosial-Budaya, Politik (Ekososbudpol) serta Bidang Pertahanan-Keamanan (Hankam) yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada April-Juli 2018.
Survei yang melibatkan 145 ahli bidang ekososbudpol-hankam melalui model nonprobability sampling ini menempatkan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau lebih spesifik menyangkut politisasi agama sebagai hambatan terbesar Pemilu 2019.
Pada segmen politik, potensi politisasi SARA saat itu dipilih oleh 23,6 persen responden, di bidang sosbud sebanyak 40 persen responden, dan bidang hankam sebanyak 42,3 persen responden. Potensi lain di bawah politisasi SARA antara lain konflik horizontal, intoleransi, penyebaran hoaks, gangguan keamanan, dan keraguan terhadap netralitas penyelenggara pemilu yang oleh mayoritas responden dianggap sebagai sumber kecemasan turunan.
Kendati setiap entitas memiliki kecenderungan berpatokan kepada identitas yang turut memengaruhi keputusan politiknya, kecenderungan saat itu ditengarai telah melampaui standar nilai wajar dalam demokrasi.
Hal yang terjadi kemudian adalah setiap keputusan dan tindakan politik amat dipengaruhi oleh selera berbasis identitas dan bukan bertolak kepada kebutuhan yang berbasis ide rasional.
Konsolidasi
Kecemasan para ahli terkait potensi politisasi agama (SARA) yang disuarakan setahun menjelang Pemilu 2019 nyatanya tidak membuat komponen-komponen bangsa melakukan upaya pencegahan yang berarti.
Larangan menggunakan isu-isu bernuansa agama, kesukuan, serta identitas semacamnya menjelang tahun politik oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu pun sebatas bunyi-bunyian.
Tidak ada fasilitas atau perangkat teknis yang digunakan dan dimanfaatkan secara efektif untuk mengonsolidasikan nilai-nilai persatuan.
Sebab, menurut penulis, situasi saat ini tidak banyak berubah. Kecemasan yang dirasakan sejumlah pihak menjelang 2019 juga dirasakan dalam situasi menjelang 2024. Kecemasan akan hadirnya peningkatan ketegangan menjelang tahun politik perlu dikelola secara cermat. Pada taraf tertentu, kita semua menyadari bahwa ketegangan di tahun politik memang wajar terjadi sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Namun, masalahnya, ketegangan yang disadari dapat menjurus kepada polarisasi yang salah satunya disebabkan oleh praktik politisasi agama sebagai warisan perhelatan politik tahun-tahun sebelumnya jelas tidak elok didiamkan. Upaya mendiasporakan sosialisasi dari bahaya penggunaan politisasi agama oleh segelintir pihak tidaklah cukup.
Semua pihak: pemerintah, pegiat demokrasi, penyelenggara pemilu, pemuka agama, dan tentu saja seluruh kontestan pemilu (parpol), perlu duduk bersama. Menurut penulis, tidak ada salahnya bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk menyediakan waktu dan fasilitas yang memungkinkan bagi terciptanya rembuk bangsa.
Kecemasan akan hadirnya peningkatan ketegangan menjelang tahun politik perlu dikelola secara cermat.
Secara esensial, hal itu sama sekali tidak akan mengganggu tahapan pemilu yang sedang berjalan. Justru penyelenggara pemilu akan diuntungkan karena mereka mempunyai kans untuk menggawangi kompetisi yang sehat, dan bukan suatu kompetisi yang bersalin rupa sebagai palagan yang membelah sesama saudara sebangsa.
Sekali lagi, kita semua perlu bertindak menampilkan nilai religiositas sebagai manifestasi ajaran luhur agama, keyakinan ideologi, dan penghayatan (ihsan) secara nyata di lapangan.
Kita perlu mendirikan religiositas di banyak ruang dan di banyak kesempatan, termasuk dalam momentum jelang tahun politik. Kita masih memiliki waktu untuk berjuang sebagai anak bangsa yang sadar akan pentingnya menegakkan persatuan di atas fitrah bangsa yang majemuk.
Nanang Fatchurochman, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Banten