Pengembangan pertanian organik tak cukup dengan kebijakan subsidi pupuk organik dan benih. Petani yang mengembangkan pertanian alami, sesuai prinsip-prinsip budidaya pertanian berkelanjutan, juga harus diberi insentif.
Oleh
GUNAWAN
·4 menit baca
Pertanian organik menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Pada acara menanam padi dengan Serikat Petani Indonesia, dalam kesempatan tersebut Presiden Jokowi mendorong petani agar menggunakan pupuk organik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia dan mengurangi pengeluaran petani (kompas.com, 6/4/2023).
Presiden kemudian menindaklanjutinya dengan menyelenggarakan rapat terbatas. Presiden memerintahkan agar pupuk organik kembali dapat disubsidi pemerintah. Presiden menekankan pentingnya penggunaan pupuk organik karena hasil riset tentang penurunan kualitas tanah di beberapa lahan pertanian akibat pemakaian pupuk kimia (kompas.id, 27/4/2023).
Mengurangi pengeluaran petani dan perbaikan kualitas tanah tidaklah cukup hanya dengan pemberian subisidi pupuk organik karena masih membutuhkan pestisida alami dan benih hasil pemuliaan petani. Dari segi sistem pertanian organik, subsidi pupuk organik tidak cukup menjadi jaminan produk pertanian organik.
Pemerintah dan DPR seharusnya membentuk kebijakan alternatif selain subsidi pupuk—termasuk pupuk organik dan benih—dalam rangka pengembangan pertanian organik. Alternatifnya adalah memberikan insentif kepada petani yang mengembangkan pertanian alami. Karena dengan pertanian alami, tidak saja kebutuhan pupuk organik dan pestisida alami akan diperoleh dengan memanfaatkan lingkungan sekitar, tetapi juga akan memenuhi kebutuhan benih idaman petani sehingga mengurangi ketergantungan petani kepada benih produksi pabrik.
Pertanian alami adalah model pertanian yang paling sesuai prinsip-prinsip budidaya pertanian berkelanjutan sebagai pengembangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di bidang pertanian. Karena pertanian alami meningkatkan produksi komoditas pertanian dengan sistem budidaya yang baik yang ramah ekologis, dan dengan sistem pertanin organik dapat menaikkan nilai produk pertanian.
Pertanian alami adalah model pertanian yang paling sesuai prinsip-prinsip budidaya pertanian berkelanjutan sebagai pengembangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di bidang pertanian.
Pertanian berkelanjutan telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, undang-undang tersebut menggantikan UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT), dengan demikian seharusnya orientasi kebijakan pertanian juga berubah.
Misalnya terkait hak petani atas benih. Sebelumnya banyak petani mengalami diskriminasi dan kriminalisasi akibat pemberlakuan UU SBT. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU SBT, tidak dilarang perorangan petani kecil mencari dan mengumpulkan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya, dan tidak dilarang pengedaran hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri yang tidak lebih dahulu dilepas oleh pemerintah.
Meskipun UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, sesuai putusan MK, tidak mewajibkan izin bagi petani pemulia benih, namun diatur varietas hasil pemuliaan petani kecil dilaporkan kepada pemerintah daerah, dan hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota.
Pengaturan tersebut harus dimaknai sebagaimana putusan MK, bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum, pemerintah harus membimbing dengan memberikan pendampingan ke petani, bukan malahan mempersulit petani. Apabila ada usaha-usaha petani yang bertujuan mendapatkan varietas atau benih yang baik, pemerintah wajib memberikan bimbingan sejak dini supaya upaya tersebut dapat berhasil dengan baik dan tidak hanya terlibat dalam proses akhir, yaitu pemberian sertifikasi saja.
Petani menanggung sepenuhnya atas usaha-usaha yang dilakukan dan risiko atas gagalnya usaha tersebut. Dengan demikian, pemerintah harus aktif untuk membantu petani yang berusaha menemukan varietas yang baik tidak terbatas pada perencanaan yang dilepas saja.
Guna memberikan jaminan produk pertanian organik, pemerintah telah mengaturnya melalui Permentan No 64/2013 tentang Sistem Pertanian Organik dan SNI 6729:2016 tentang Sistem Pertanian Organik, yang masih berlandaskan UU SBT.
Bagi petani kecil, sistem pertanian organik yang berujung kepada sertifikasi organik terpusat ini sulit diakses, dan menimbulkan sejumlah masalah, yaitu ketergantungan baru kepada pengaturan; ketimpangan baru yang dilandasi perbedaan akses, akumulasi kekayaan dan pengambilan keuntungan dalam rantai pertanian organik; dan pembajakan makna organik hanya sebatas labeling (Aji et al, 2019).
Sebagai bentuk kritik atas sistem jaminan organik melalui lembaga sertifikasi organik tersebut, gerakan tani menginisiasi sistem jaminan partisipatif (SJP) sebagai sistem jaminan produk pertanian organik yang dilakukan secara partisipatif mulai dari tingkat lokal yang melibatkan petani, distributor, konsumen, dan organisasi masyarakat. Terdapat juga pemda yang telah mengatur sistem jaminan partisipatif, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tengah No 5/2019 tentang Penyelenggaraan Pertanian Organik.
Desa juga mempunyai kewenangan terkait pertanian organik dan pengembangan benih lokal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Dengan demikian, sistem jaminan pertanian organik tidak harus melalui lembaga sertifikasi yang terpusat, tetapi dapat sistem jaminan partisipatif untuk pertanian organik berdasarkan yurisdiksi daerah sebagaimana dalam praktik di Kabupaten Lampung Tengah, atau dikembangkan berdasarkan yurisdiksi desa, dan dengan kelembagaan berdasarkan partisipasi multipihak. Adapun pendekatan yurisdiksi berkelanjutan telah diakomodasi dalam RPJMN Tahun 2020-2024 sebagai upaya pengembangan hilirisasi produk pertanian dan kehutanan.
Sistem jaminan pertanian organik yang mudah diakses petani kecil harus dimaknai sebagai perlindungan dan pemberdayaan petani mengingat petani pertanian organik, ditinjau dari penguasaan tanahnya yang kecil, masuk dalam kategori petani yang dilindungi sebagaimana diatur dalam UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Pembaruan hukum
Dengan dicabutnya UU SBT dengan UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan menjadi momentum untuk melakukan pembaruan hukum sistem pertanian organik dan transformsi sistem pangan berbasis petani pertanian alami/organik. Karena itu, yang harus diperbarui tidak hanya regulasi terkait pupuk bersubsidi, tetapi juga regulasi terkait sistem pertanian organik, serta perlindungan dan pemberdayaan petani pemulia benih.
Gunawan, Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice); Dewan Pengawas Bina Desa; Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit); dan Steering Committee KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga)