Anak telah memiliki hak asasi sejak dalam kandungan. Karena itu, pengasuhan anak ataupun peralihan pengasuhan anak, termasuk melalui adopsi, harus menjunjung tinggi hak asasi anak.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Anak telah memiliki hak asasi sejak dalam kandungan. Karena itu, pengasuhan anak ataupun peralihan pengasuhan anak harus menjunjung hak asasi anak.
Kasus adopsi ilegal, apalagi jika itu hanya kedok karena yang terjadi adalah perdagangan anak (Kompas, 11/5/2023), merupakan bentuk pengabaian dan pelanggaran hak asasi anak, termasuk melanggar kepentingan terbaik anak. Sejak bayi, anak berhak mendapatkan identitas aslinya dan mengetahui nasabnya. Tak ada seorang pun ingin dipisahkan dari orangtua/keluarganya, apalagi dihapuskan identitasnya.
Praktik adopsi ilegal, dengan alasan apa pun, jelas dilakukan bukan untuk kepentingan anak, melainkan kepentingan pribadi orang-orang yang berkepentingan di dalamnya. Alasan orangtua tak siap atau tidak mampu mengasuh anak, juga keinginan orangtua angkat untuk ”memiliki anak”, bukan alasan seharusnya dalam peralihan hak asuh anak.
Konvensi PBB tentang Hak Anak yang sejak 32 tahun lalu diratifikasi Pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa kepentingan terbaik anak harus diutamakan dalam hal adopsi. Untuk menjamin pemenuhan hak dan kepentingan anak, pemerintah pun telah mengatur bahwa adopsi harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dan dilakukan melalui pengadilan karena bayi bukanlah komoditas yang bisa dengan begitu saja berpindah tangan hak pengasuhannya, apalagi untuk mencari keuntungan.
Konvensi PBB tentang Hak Anak yang sejak 32 tahun lalu diratifikasi Pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa kepentingan terbaik anak harus diutamakan dalam hal adopsi.
Namun, tak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui ketentuan tersebut. Jamak di masyarakat terjadi adopsi anak antarkeluarga berdasarkan kesepakatan bahwa setelah pengasuhan anak diberikan kepada orangtua angkat, maka identitas anak mengikuti orangtua angkatnya. Praktik ini paling tidak telah mengabaikan status hukum anak, bahkan termasuk praktik perdagangan anak jika disertai pertukaran uang meski uang itu atas nama balas jasa atau uang pengganti perawatan.
Karena itu, sosialisasi mengenai hal ini perlu digencarkan, termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perdagangan anak. Masalah pendidikan masyarakat yang rendah, kemiskinan, dan juga kesiapan psikologis calon orangtua perlu menjadi perhatian dalam upaya ini untuk mencegah masyarakat terjerumus dalam praktik adopsi ilegal.
Pengawasan terhadap panti asuhan, lembaga penitipan anak, ataupun klinik untuk melahirkan perlu diperketat untuk mencegah tempat-tempat ini menjadi pintu masuk praktik adopsi ilegal. Nyatanya, masih ada panti asuhan atau lembaga penitipan anak yang menerima jasa penitipan/pengasuhan anak meski belum mengantongi izin sebagai lembaga kesejahteraan sosial anak dari Kementerian Sosial.
Penegakan hukum bagi mereka yang terlibat praktik ilegal ini perlu dibarengi dengan menyempurnakan peraturan yang ada. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, misalnya, mengatur tentang tindak pidana adopsi ilegal, tetapi belum menjelaskan secara spesifik perbuatan-perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai adopsi ilegal.
Selanjutnya, komitmen pemerintah untuk mencegah dan menangani kasus adopsi ilegal perlu diperkuat, terutama pada tahun politik ini. Meski kasus adopsi ilegal selalu terjadi dan terungkap ke publik, masalah ini masih menjadi isu sepi bagi politisi yang mempunyai akses luas untuk menata dan mengatur negara ini.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO