Petugas Partai dan Kartel Politik
Pemilu bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka lebar bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. Perlu garis tegas antara partai dan capres.
Diskursus relasi dominatif partai pada kadernya—yang juga pejabat dan calon pejabat publik—mengharuskan sebuah diskusi serius guna mencari titik temu hubungan ideal di antara keduanya.
Diskusi tentang ini tidak pernah lebih genting dari sekarang, apalagi pada masa ketika Indonesia memasuki fase krusial menjelang pendaftaran bakal calon presiden pada Pemilu 2024.
Ketegangan sebagai hasil dari intervensi partai yang keras pada kandidat terpilih sebaiknya diselesaikan tanpa harus menunggu pengulangan kesalahan yang sama, sebagaimana konjungtur relasi yang naik turun, seperti pengalaman Presiden Joko Widodo dengan partainya, PDI-P. Pada keduanya publik menyaksikan superioritas partai di atas presiden, sebuah demonstrasi hubungan timpang sekaligus ganjil dalam parameter nilai negara demokrasi.
Atmosfer kompetitif terasa antara pejabat presiden dan partainya. Meski demikian, ini bukanlah semata-mata gejala sentimentil antarindividu politik yang sedang berebut panggung.
Tulisan ini melihat tren besar yang telah dikenali, tetapi begitu jarang didiskusikan secara terbuka: terus menguatnya pengaruh partai di atas entitas politik lain yang merupakan hasil langsung dari logika kartel politik.
Baca juga : Kartelisasi Oligarkis
Baca juga : Koalisi Parpol Pemerintah seperti Membentuk Kartel Politik
Diagnosis ini mula-mula disampaikan oleh Slater (2004) dalam amatannya yang mengagumkan atas Pemilu 1999. Setelah hiruk-pikuk kompetisi yang tajam, situasi pasca-Pemilu 1999 justru menunjukkan kuatnya tren partai-partai untuk saling mendekat dan bertukar kepentingan, betapapun berbedanya nilai dan preferensi ideologis mereka. Kompromi besar-besaran itu bukanlah reaksi natural biasa; pola yang sama terjadi terus hingga Pemilu 2019 dengan berbagai variasi.
Kecenderungan besarnya tetap sama, yakni partai selalu berada dalam posisi yang jauh lebih kuat dan menentukan dalam proses politik pascapemilu.
Pemilu bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka seluas-luasnya bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. Kartel, dalam pengertian ini, adalah jejaring kolusif yang disatukan oleh kesamaan kepentingan dan selalu berjalan di atas negosiasi, kompromi, dan kooptasi antarkelompok.
Oleh sebab itu, memberi demarkasi tegas antara partai dan kandidat presiden adalah titik mula yang harus dipancang untuk mengurangi kekuatan kartel politik. Tetapi dengan jalan apa?
Ilustrasi
Independensi
Para pengamat politik Indonesia dan Asia Tenggara, semisal Ambardi (2008), Slater (2014), dan Muhtadi (2015), telah menerangkan pola kartelisasi politik sebagai sesuatu yang semakin natural dalam konteks pasca-Orde Baru. Salah satu ciri pentingnya: perluasan dramatis kekuasaan lewat aliansi berpostur jumbo dan kooptasi kekuatan-kekuatan oposisi.
Ciri ini secara terang sedang terjadi secara bertahap pasca-Pemilu 1999 dan berlanjut hingga kini, yang memuncak pada terus melemahnya kekuatan oposisi di parlemen—dengan bukti terang lolosnya beragam kebijakan dan peraturan kontroversial.
Akibat serius yang ditimbulkan adalah ketertundukan aktor politik di bawah kuasa dan agenda partai beserta kartel koalisinya—sebagaimana secara terus terang didaku oleh salah seorang pemimpin fraksi di DPR beberapa waktu lalu.
Ada sekurangnya dua faktor menentukan kekebalan kandidat atas intervensi partai. Pertama, seberapa kuat dan solid kekuatan publik di belakang kandidat. Popularitas dan elektabilitas spektakuler yang membuktikan dukungan mutlak publik secara alamiah, memperkuat posisi tawar kandidat atas kartel partai.
Dukungan yang kuat mengakar semacam ini tentu saja dilahirkan secara bertahap dan konsisten, sebuah prasyarat mutu yang amat sulit untuk dicapai dalam sebuah sistem politik yang berkiblat pada proses instan pemolesan citra dan industri canggih pemasaran politik. Reputasi yang kuat berjangkar akan menolong kandidat terpilih untuk bersikap independen meski tak bisa menggaransi kualitas sikap itu dalam penilaian obyektif.
Kartel, dalam pengertian ini, adalah jejaring kolusif yang disatukan oleh kesamaan kepentingan dan selalu berjalan di atas negosiasi, kompromi, dan kooptasi antarkelompok.
Kedua, seberapa besar postur koalisi. Ukuran menjadi penting di sini karena ia berhubungan langsung dengan seberapa banyak tuntutan kepentingan yang harus dipenuhi dan dikompromikan. Semakin beragam dan besar postur koalisi memang menjanjikan sebuah stabilitas yang tak mudah goyah, tetapi ia meminta tumbal negosiasi tanpa henti yang melelahkan.
Masa pemerintahan akan dipenuhi dengan padatnya tarikan kepentingan antar-anggota partai, termasuk distribusi posisi strategis dan perebutan sumber daya di dalamnya, yang harus diselesaikan dengan kompromi-kompromi baru.
Persoalannya, di luar dua faktor ini, dalam tahapan proses yang paling awal, kandidat telah disandera oleh sistem politik yang ”memaksa”: kontestan pemilu presiden harus mendapat dukungan partai dengan ambang batas yang telah ditetapkan. Dengan cara semacam ini, secara mutlak kandidat akan menjadi dependant partai, berada dalam posisi inferior dalam siklus lima tahunan.
Membayangkan independensi yang kukuh dari presiden terpilih berarti berani merevisi elemen-elemen yang membentuk hubungan ketergantungan kandidat pada partainya. Hal ini wajib dibongkar dalam banyak aspek, mulai dari revisi ambang batas (presidential threshold) hingga dibukanya peluang calon presiden independen.
Dampak ke pemerintahan
Menantang kekuasaan partai mungkin saja juga akan berujung pada pemerintahan yang tak stabil dan tak efektif. Hal ini, menurut Muhtadi (2015), menjadi dilema bagi Presiden Jokowi pada tahun-tahun pertama pemerintahannya yang penuh kegamangan.
Latar nonpartai dan berada di luar pagar Orde Baru pada kenyataannya justru menjadi kredit negatif yang menjauhkan presiden terpilih dari aset-aset kekuasaan yang dikuasai kartel politik sehingga membuatnya mencari jalan kompromi untuk mendapatkan dukungan dari para oligark dan patron.
Satu langkah sederhana sebagai resep awal melawan kartel politik telah dikerjakan oleh banyak negara, yakni kebijakan antikorupsi yang kuat dan menyapu seluruh kalangan. Kepemimpinan yang kokoh di hadapan koalisi oligarkis dan kartelisasi partai harus ditopang dengan ketegasan antikorupsi yang mencegah manuver-manuver kolusif dan nepotis dengan segala kompromi di bawah tangan. Visi antikorupsi membantu pemimpin terpilih untuk membersihkan jalur-jalur kebijakan yang sarat dengan kepentingan faksi elite.
Prinsip independensi ini menentukan apakah Indonesia akan terus berada dalam trajektori regresi demokrasi atau tidak, apakah kita masih dan akan kembali pada lintasan permainan kartel politik ataukah bebas darinya.
Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik, PhD dari University of Leeds, UK