Pengelolaan dosen dengan skema kepegawaian ala PNS tidak lagi mumpuni untuk membangun kultur akademik yang kompetitif. Polemik Permen PAN dan RB menjadi momentum untuk mencari skema pengelolaan dosen yang lebih ideal.
Oleh
MUHAMMAD FAJRI SIREGAR
·4 menit baca
Polemik tata kelola dosen yang dipicu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 menggulirkan banyak perdebatan. Berbagai kekurangan peraturan tersebut telah ramai diulas dan bahkan diakui oleh pemerintah pusat. Beberapa di antaranya semakin lamanya proses kenaikan pangkat dosen dengan penilaian atasan yang subyektif dan keharusan mengikuti ujian kompetensi yang tidak relevan.
Di saat yang sama, polemik ini juga menjadi momentum untuk mencari skema pengelolaan modal insani, khususnya dosen, yang lebih ideal. Akar masalah pun harus dipahami oleh semua pihak. Dugaannya, pengelolaan dosen dengan skema kepegawaian ala pegawai negeri sipil tidak lagi mumpuni untuk membangun kultur akademik yang kompetitif.
Hambatan sebagai PNS
Secara historis, semua perguruan tinggi negeri dikelola sebagai unit kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dengan demikian, status kepegawaian dosen dirancang sama dengan pegawai negeri sipil lainnya, dengan golongan dan jabatan fungsional yang menyerupai pegawai di kementerian atau lembaga pemerintah lainnya. Terutama pada masa Orde Baru, dosen dipandang sebagai bagian dari aparatus yang menjaga tatanan sosial dan ”kepatuhan”, dalam kapasitasnya sebagai pendidik.
Inilah salah satu akar permasalahan pengelolaan dosen, bahkan mungkin yang paling utama. Sebab, dinamika kerja yang dihadapi dan luaran yang dihasilkan akademisi berbeda dengan PNS lain. Dalam berbagai studi mengenai tata kelola riset dan perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir, hambatan ini tergambar dalam aspek jenjang karir, mobilitas, dan prinsip otonomi (Rakhmani dan Siregar, 2016).
Hal tersebut disebabkan oleh sifat kerja dosen yang dinamis dan tidak terpaku kepada sistem kepangkatan yang umumnya berlaku bagi pegawai sipil lainnya. Jenjang karier dosen yang disamakan dengan pegawai kementerian atau lembaga lainnya merupakan disinsentif besar.
Perbedaan pertama dosen dan peneliti dari PNS pada umumnya adalah dinamika kerja yang lebih fleksibel dan kompetitif. Seperti diutarakan Prof Sulistyowati Irianto dalam artikelnya 13 April 2023, menjadi akademisi adalah pekerjaan yang membutuhkan fleksibilitas untuk bisa menghasilkan karya. Kapasitas dan inisiatif pribadi menjadi pembeda dalam pekerjaan ini. Jenjang karier yang sudah terkunci oleh durasi waktu dan membutuhkan persetujuan atasan sangat tidak menggambarkan kultur egaliter yang dibutuhkan dunia akademik.
Persoalan kedua yang disebabkan oleh status PNS adalah minimnya peluang mobilitas dosen. Dosen di Indonesia hanya mengenal mobilitas vertikal berdasarkan sistem kepangkatan, tetapi tidak mengenal kompetisi secara mobilitas horisontal (perpindahan antar lembaga). Padahal, untuk meningkatkan ekosistem sains di Indonesia, peluang mobilitas dibutuhkan untuk peningkatan kualitas dan daya saing.
Contohnya, mobilitas diperlukan untuk memudahkan perpindahan sumber daya manusia dari industri ke perguruan tinggi dan sebaliknya. Mengacu kepada Permen PAN dan RB, perpindahan pegawai hanya bisa terjadi berdasarkan persetujuan atasan. Hal ini kontraproduktif dengan kebutuhan peningkatan daya saing dan inovasi.
Dosen di Indonesia hanya mengenal mobilitas vertikal berdasarkan sistem kepangkatan, tetapi tidak mengenal kompetisi secara mobilitas horizontal.
Persoalan ketiga menyangkut prinsip otonomi yang seharusnya dimiliki akademisi dan juga perguruan tinggi yang menaunginya. Banyak dosen khawatir bahwa kenaikan jabatan akan terhambat oleh prinsip penilaian atasan yang membatasi suara-suara kritis. Praktik mimbar akademik, misalnya, dikhawatirkan akan semakin berkurang karena dosen memilih bersikap kompromistis demi terjaminnya kenaikan pangkat. Di saat budaya kritis tergerus, penilaian subyektif atasan dikhawatirkan semakin membatasi kemerdekaan berpikir para dosen.
Dalam skema yang lebih ideal, dosen tidak lagi diperlakukan sama dengan PNS pada umumnya dan manajemennya lebih banyak dilakukan secara mandiri oleh perguruan tinggi sebagai unit pengelola. Perguruan tinggilah yang paling memahami kebutuhan jumlah dan kualifikasi dan sasaran kerja dosen sejak dari proses rekrutmen. Hal ini tidak perlu diatur sampai ke tingkat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dikti cukup memantau melalui sistem informasi yang telah disusun. Pun sistem informasi harusnya dikelola untuk mengurangi beban administrasi dosen alih-alih menambah pekerjaan.
Perbaikan kebijakan dalam mengelola sumber daya manusia pendidikan tinggi harus diletakkan pada kedudukan yang tepat. Dalam hal ini, kita juga harus memahami perbedaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat dan perguruan tinggi. Sebab, masalah otonomi juga terkait dengan prinsip otonomi yang kini disandang oleh 21 PTN-BH di Indonesia.
Kemajemukan status PTN
Namun, gambaran ideal di atas terganjal status kelembagaan perguruan tinggi beserta status kepegawaian dosen yang centang perenang. Terdapat tiga status perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan tingkat otonominya: PTN Satuan Kerja (Satker), Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi–Badan Hukum (PTN-BH).
Karut-marut tersebut berlanjut secara internal karena tiap PTN mempekerjakan dosen dengan status yang juga jamak: dosen PNS, dosen pegawai universitas (dahulu disebut dosen BHMN), dan dosen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Dari ketiga PTN tersebut, hanya PTN-BH yang diperbolehkan merekrut dosen secara langsung dengan menggunakan anggaran internal dan menawarkan skema kepegawaian yang sesuai dengan misi institusi. Selebihnya, semua PTN tersebut harus menunggu formasi rekrutmen dosen dengan jalur ASN. Artinya, hanya PTN-BH yang bisa menata dosen secara otonom tanpa mengikuti skema PNS, jika mereka hendaki.
Argumen bahwa dosen tidak tepat dikelola dengan skema kepegawaian PNS tidak berarti bahwa mereka menghendaki perlakuan istimewa dan eksklusif. Hanya saja, dinamika pekerjaan mereka berbeda, dan pengaturannya sebaiknya mencerminkan karakter tersebut.
Otonomi yang dimiliki oleh PTN-BH pun tidak serta-merta menjamin terpenuhinya kesejahteraan dosen. Sebab, otonomi administrasi dan finansial PTN-BH membawa dampak yang signifikan terhadap relasi kerja dosen dengan institusi pemberi kerjanya. Perlu diingat bahwa PTN-BH secara hukum tidak ubahnya sebuah badan usaha yang bersifat nirlaba.
Secara legal, dosen di bawah institusi demikian, an sich, tidak lagi berstatus pegawai negeri, tetapi menyandang status yang dicemaskan oleh Prof Sulistyowati Irianto di dalam artikelnya: pekerja atau buruh. Hak dan kewajiban yang melekat kepada dirinya pun berbeda.