Laporan investigasi Kompas tentang perjokian karya ilmiah, khususnya terkait dengan kenaikan jabatan ke Guru Besar atau GB, bisa jadi mengagetkan untuk sebagian kalangan. Namun, sebenarnya perilaku jalan pintas dan nir-integritas itu sudah berlangsung lama.
Ada banyak hal yang kiranya perlu diperhatikan agar perilaku buruk di atas bisa kita hindari. Tentu dapat dipahami, prosedur ketat Penilaian Angka Kredit (PAK), yang tertuang dalam PO PAK Jabatan Akademik tahun 2019, dimaksudkan untuk menaikkan kualitas GB. Namun, jangan sampai Tim PAK terjebak perangkap administratif atau hal-hal yang sesungguhnya tidak substantif.
Berikut contohnya. Seorang teman mengajukan diri untuk menjadi GB. Ia menyertakan karya ilmiah yang secara standar sudah memenuhi syarat mutu internasional. Hal ini juga diakui oleh Tim PAK. Ternyata, karya ilmiah itu dikembalikan dan tidak dapat diakui sebagai syarat ke GB karena Dewan Redaksi jurnal tersebut hanya dari tiga negara: Australia, Selandia Baru, dan Inggris. PO PAK mensyaratkan Dewan Redaksi dari empat negara.
Karya ilmiah tersebut dimuat pada jurnal: Economic Paper, Vol 40 No 1 Th 2021. Jurnal ini masuk kategori Q2, kategori terbaik setelah Q1. Jurnal ini diterbitkan oleh Economic Society of Australia. Dalam hal ini, saya memandang Tim PAK terjebak hal tidak substantif, lebih mementingkan hal administratif daripada kualitas.
Hal lain, ada indikasi kuat ”jalur cepat” untuk menjadi GB. Demi mempunyai GB yang semakin banyak, tidak jarang perguruan tinggi (PT) membentuk Tim Percepatan Guru Besar. Tentu hal ini tidak salah, dan baik jika dimaksudkan sebagai mentoring oleh GB kepada calon GB pada perguruan tinggi yang sama.
Akan tetapi, menjadi pertanyaan besar ketika banyak calon GB dari perguruan tinggi lain meminta mentoring GB dari PT tertentu, bahkan mentoring dilakukan di berbagai tempat. Informasi ini saya dapatkan dari banyak pihak dan sangat tepercaya, bahkan saya pun pernah ditanya hal yang sama.
Praktik seperti ini tentu banyak yang mengetahui, tetapi pasti sangat sulit menyampaikannya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini Tim PAK Dikti. Oleh karena itu, Tim PAK Dikti pun perlu berbenah.
FX SugiyantoAnggota Tim PAK Dikti 2008-2015, Tembalang, Kota Semarang
Polemik KRL
Beberapa hari terakhir, Kompas secara teratur membahas polemik penggantian KA tak layak yang terganjal izin impor. Sebagai pengguna layanan KRL sehari-hari, hal ini membuat saya risau.
Menarik untuk melihat larangan izin impor yang diatur PP No 29/2021. Melihat bahwa tidak ada alternatif selain mengimpor KA bekas untuk meningkatkan layanan transportasi yang mendesak, timbul pertanyaan apakah proses pembentukan PP No 29/2021 tidak memperhatikan semua use case ataupun edge case?
Berbagi pengalaman dalam pembuatan produk di sektor teknologi, semua skenario harus dipetakan agar tidak ada pengguna yang dirugikan.
Jika menganalogikan PP No 29/2021 sebagai sebuah produk dan impor KA bekas yang terkendala peraturan izin impor sebagai sebuah bug, harus dilakukan rollback option atau perbaikan fitur secara cepat untuk memastikan servis berjalan sempurna dan kerugian perusahaan akibat kehilangan pengguna dapat diminimalisasi.
Kita sering membaca berita mengenai masyarakat yang tidak merasa negara hadir karena ada kesenjangan regulasi. Apakah hal ini juga terjadi dengan skala korban ratusan ribu komuter setiap hari?
Dapat dibayangkan dampak ekonomi dan lingkungan yang akan dialami negara dengan peralihan masyarakat ke transportasi pribadi akibat keengganan menggunakan KRL. Padahal, sebagai sarana transportasi publik yang menopang transportasi di Jabodetabek, KRL kita butuhkan dengan pelayanan yang berkualitas.
Dayinta HarumantiApartemen Sentra Timur, Cakung, Jakarta Timur