Prospek Koalisi Partai 2024
Bongkar-pasang kaolisi masih mungkin terjadi setelah Megawati mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden PDIP. Ketidakpastian koalisi bisa berubah sampai masa pendaftaran. Bagaimana prospek koalisi ke depan ?
Dua peristiwa politik penting belakangan ini memberikan kepastian nama kandidat yang akan berlaga dalam Pemilu Presiden 2024.
PDI Perjuangan secara resmi telah mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres). Informasi itu disampaikan secara langsung oleh Megawati Soekarnoputri, yang didampingi Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, lima ketua umum parpol (Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP) menjajaki kemungkinan pembentukan koalisi besar, yang kemungkinan akan mengusung Prabowo Subianto. Menariknya, pertemuan pimpinan partai itu juga dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bila terwujud, koalisi besar ini mewakili hampir 50 persen komposisi kursi di DPR, atau 284 dari 575 kursi.
Sementara itu, beberapa bulan sebelumnya, tiga partai, yakni Nasdem, Demokrat, dan PKS, terlebih dahulu mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres.
Dengan adanya kepastian kandidat yang akan maju dalam pilpres, pemilih mulai dapat memeriksa capaian, kinerja, dan rekam jejak calon tersebut. Pemilih juga dapat membandingkan kandidat mana yang memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam memimpin Indonesia ke depan di tengah tantangan domestik dan global yang berat.
Baca juga : Pengumuman Ganjar sebagai Capres Percepat Dinamika Politik
Baca juga : Konsolidasi Dukungan di Luar Mesin Partai lewat ”Open House” Ganjar
Meskipun sudah ada kepastian kandidat yang akan maju dalam pemilihan, bongkar-pasang koalisi masih mungkin terjadi dan dapat menimbulkan ketidakpastian koalisi. Efek sistem pemilu, termasuk pelaksanaan pemilu serentak, dan persyaratan pencalonan presiden yang tinggi, berkontribusi menciptakan ketidakpastian koalisi.
Ketidakpastian koalisi juga didorong oleh belum adanya jaminan koalisi yang sudah terbentuk bisa bertahan sampai masa pendaftaran. Tak adanya ikatan yang kuat membuat partai dengan mudah bisa berselancar di antara blok-blok koalisi. Apalagi, pada saat yang sama, partai-partai papan tengah saling berkompetisi untuk dapat mencalonkan kadernya sebagai calon wakil presiden.
Kerumitan
Kepastian nama kandidat dalam pemilu presiden belum bisa memberikan kepastian soal blok koalisi yang akan terbentuk. Saat ini, partai-partai masih akan menghadapi sejumlah kerumitan dalam membentuk koalisi. Sebagian besar dari kerumitan membentuk koalisi bersumber dari tingginya syarat pencalonan presiden yang membuat partai kesulitan dalam bernegosiasi.
Kerumitan dalam membangun koalisi tersebut tampak dari buntunya pembicaraan koalisi pada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP; serta Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang berisi Gerindra dan PKB. Dalam satu tahun terakhir, kedua koalisi ini tak berhasil menyepakati mekanisme penentuan calon serta memutuskan pasangan capres-cawapres yang akan diusung.
Kerumitan membentuk koalisi yang stabil juga dipengaruhi waktu pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) yang serentak. Pelaksanaan pilpres dan pileg secara serentak membuat partai harus mengestimasi efek dukungan pilpres terhadap suara partai di pileg. Situasi ini membuat partai menunggu calon mana yang potensial akan menang dan memengaruhi suara partai di pileg.
Selain itu, di internal partai juga terdapat trade-off antara mencalonkan kader atau non-kader partai sebagai capres/cawapres. Dalam pemilu yang serentak, pencalonan kader partai yang potensial dipandang dapat meningkatkan soliditas kader dan pemilih serta menggerakkan mesin partai.
Di tengah ketidakpastian dan kebuntuan koalisi ini, penjajakan koalisi besar dan pengumuman capres oleh PDI-P dapat menjadi milestone baru koalisi. Hal tersebut seharusnya dapat mendorong partai-partai untuk mempercepat pembentukan koalisi yang lebih stabil.
Daya tahan
Faktor peluang kemenangan kandidat, pembagian kekuasaan (power sharing) yang adil di antara partai-partai koalisi, dan platform/agenda politik yang sama menjadi variabel penting yang bisa mengatasi kerumitan koalisi partai di pilpres. Dalam dua kali pilpres terlihat faktor capres bisa jadi jangkar koalisi.
Pada Pilpres 2004, misalnya, sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kharismatik menjadi semacam game changer yang membuat sejumlah partai merapat dalam Koalisi Kerakyatan pada putaran kedua pilpres. Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi tampil sebagai sosok populis yang mampu memikat pimpinan lintas partai dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pengaruhnya menguat karena memiliki elektabilitas yang stabil dan lebih berpeluang menang dibandingkan Prabowo. Situasi itu membuat pencalonan Jokowi dapat dipastikan jauh hari sebelum pemilihan.
Dalam Pilpres 2024 nanti, tak adanya capres yang dominan membuat faktor pembentuk koalisi menjadi lebih kompleks.
Dalam Pilpres 2024 nanti, tak adanya capres yang dominan membuat faktor pembentuk koalisi menjadi lebih kompleks. Di tengah situasi ini, figur Presiden Jokowi menjadi salah satu variabel penting dalam memengaruhi pembentukan koalisi. Apalagi, pemilu akan dilaksanakan dalam situasi di saat tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan stabil dan tinggi.
Kepercayaan publik dan kepuasan pemilih terhadap kinerja pemerintahan membuat sosok Jokowi tak bisa dilepaskan dalam peta politik 2024 ke depan. Kepuasan publik terhadap pemerintahan relatif stabil di atas angka 60-65 persen sejak periode kedua pemerintahan. Bahkan, pada survei Maret lalu, sebanyak 73,1 persen responden mengaku puas dengan kinerja Presiden (Indikator Politik, Maret 2023).
Selain itu, pengaruh elektoral Jokowi juga masih tinggi. Diperkirakan sepertiga dari 55,5 persen pemilih Jokowi di Pilpres 2019 masih menunggu sinyal politik dari Jokowi sebelum menentukan pilihannya pada capres tertentu. Tak heran bila endorsement politik Jokowi berpengaruh secara elektoral pada kenaikan elektabilitas salah satu kandidat.
Dalam penjajakan Koalisi Besar, misalnya, faktor Jokowi tak bisa sepenuhnya dilepaskan sebagai jangkar dan perekat antar-partai, meskipun dalam beberapa kesempatan sering kali menyampaikan posisinya yang bukan ketua umum parpol. Pengaruh politik Jokowi dalam Koalisi Besar, misalnya, tampak dari komitmen lima partai untuk melanjutkan agenda dan program pemerintah Jokowi bila memenangi pilpres.
Di tengah peluang ini, kerentanan politik juga mengintai. Kerentanan bisa muncul bila political interest Presiden Jokowi berubah terhadap kandidat tertentu. Atau, bila PDI-P menginisiasi poros koalisi baru yang dapat menarik satu atau dua partai dari Koalisi Besar.
Prospek
Di tengah situasi yang kompleks, masih cukup sulit memperkirakan arah koalisi antar-partai ke depan. Partai-partai masih berusaha mencari titik temu terutama terkait nominasi capres/cawapres. Setelah mencalonkan Ganjar sebagai capres, PDI-P bisa saja menjadi inisiator koalisi baru atau memilih bergabung dengan Koalisi Besar.
Sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dan 2019 serta dapat mencalonkan presiden tanpa harus berkoalisi, opsi koalisi yang akan ditempuh PDI-P mungkin akan memengaruhi peta jalan koalisi pilpres ke depan. Namun, hingga kini, opsi-opsi itu masih sukar diprediksi karena kondisi koalisi yang dinamis dan fluktuasi tingkat elektabilitas kandidat capres. Belum pastinya prospek koalisi antar-partai menunjukkan betapa rumitnya pembentukan koalisi.
Efek kombinasi multi-partai yang ekstrem yang menghasilkan fragmentasi politik yang tinggi dengan persyaratan pencalonan 20 persen kursi di parlemen membuat pembentukan koalisi sangat berat. Hal tersebut membuat sukar sekali mendorong agar partai-partai membentuk koalisi dini yang permanen.
Bagi parpol, koalisi yang lebih awal dapat memberikan waktu bagi partai untuk membicarakan agenda, kebijakan, dan platform kampanye. Partai juga lebih leluasa dalam mempersiapkan peta jalan pemerintahan baru di masa transisi menjelang pelantikan presiden baru.
Di tengah situasi yang kompleks, masih cukup sulit memperkirakan arah koalisi antar-partai ke depan.
Ke depan, di tengah ingar-bingar pembicaraan koalisi antar-partai, penting juga kita mengingatkan agar partai-partai dapat memberikan prioritas dalam membicarakan secara serius agenda-agenda kebijakan yang akan diperjuangkan kandidat dan partai koalisi.
Hal ini penting mengingat tantangan penyelenggaraan pemerintahan yang akan lebih berat ke depan, seperti penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi, pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di masyarakat, serta isu kesehatan, lingkungan, dan perubahan iklim.
Arya FernandesKetua Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS