Berkaca dari permasalahan pada Pemilu 2019 dan menjelang Pemilu 2024, rakyat harus diberikan keyakinan bahwa negara serius mengurus hak mereka untuk mendapatkan pemilu yang luber, jurdil, dan tepat waktu.
Oleh
TITI ANGGRAINI
·3 menit baca
Mengurus pemilu di Indonesia tidak mudah. Sejak pemilu pertama di masa awal republik, yakni Pemilu 1955, sudah beragam masalah dihadapi baik dari sisi regulasi, teknis, maupun gangguan keamanan. Pemungutan suara di sejumlah daerah tidak berlangsung sesuai jadwal disebabkan adanya keterlambatan peralatan kerja dan logistik, surat suara tertukar, ombak besar membuat distribusi logistik terlambat, hingga gangguan keamanan (Viryan Azis, 2022).
Karena pentingnya persiapan yang pasti, terukur, dan baik, maka UUDS 1950 menegaskan asas-asas dasar berupa pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Keberkalaan dimaknai sebagai pemilu yang dipraktikkan berulang-ulang dalam waktu tertentu secara teratur dan ajek. Dengan demikian, semua pemangku kepentingan bisa mengukur segala hal yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang bebas dan adil bisa terselenggara sesuai kalender yang telah ditentukan. Klausul tersebut tetap dipertahankan saat Indonesia memasuki era reformasi. Melalui keberlakuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut ”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Persoalan Pemilu 1955 ternyata berulang pada pemilu era reformasi. Termasuk pada Pemilu Serentak 2019 yang masih menghadapi masalah distribusi logistik serta adanya petugas pemilu yang bekerja terlalu berat dan mengakibatkan kelelahan. Eksesnya, terjadi surat suara tertukar di 3.371 TPS dan 2.249 TPS tidak bisa melaksanakan pemungutan suara secara serentak pada 17 April 2019 (Bawaslu, 2019). Selain itu, 894 petugas pemilu meninggal dan 5.175 lainnya sakit akibat kelelahan (KPU, 2019).
Peter Wolf, pakar pemilu global dari International IDEA menyebut Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak satu hari terbesar di dunia. Serta sebagai salah satu pemilu paling kompleks dan rumit karena menggabungkan pemilu legislatif nasional dan daerah dengan kombinasi sistem pemilu proporsional terbuka untuk DPR dan DPRD serta distrik berwakil banyak untuk DPD. Dilaksanakan pada satu waktu yang sama dengan pemilu presiden dan wakil presiden (concurrent elections).
Kompleksitas dan kerumitan ternyata ikut berdampak kepada kesulitan pemilih dalam memberikan suara. Tercatat 17.503.953 suara pemilih pada Pemilu DPR 2019 dikategorikan invalid karena cara pemberian suaranya dianggap tidak sah. Jumlah itu setara 11,12 persen total pengguna hak pilih. Padahal, angka rata-rata global untuk suara tidak sah berada pada kisaran 2-4 persen saja. Sungguh pekerjaan rumah besar baik bagi penyelenggara ataupun partai politik untuk mengatasinya pada pemilu yang akan datang.
Dengan segala dinamikanya, Pemilu 2019 mampu dilalui dan menghantarkan keterpilihan pejabat publik yang mayoritas sedang bersiap kembali maju di Pemilu 2024. KPU telah pula menetapkan hari pemungutan suara beserta tahapan-tahapan yang menopangnya. Rabu, 14 Februari 2024, adalah hari kasih suara bagi seluruh pemilih Indonesia. Selain itu, di tahun yang sama meski berbeda bulan, Rabu, 27 November 2024, pemilih akan kembali datang ke TPS untuk pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Data KPU per Februari 2023 mencatat 204.559.990 pemilih potensial untuk Pemilu 2024, dengan pemilih usia 40 tahun ke bawah sebesar 103.995.730 setara 50,84 persen. Terdapat 580 kursi DPR, 152 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD provinsi, dan 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota yang akan diperebutkan 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Total 20.462 kursi tersebut tersebar di 2.710 daerah pemilihan seluruh Indonesia. Hal ini menjadikan Pemilu 2024 sebagai agenda politik akbar penuh tantangan yang harus dipersiapkan solid, fokus, dan sinergis oleh seluruh elemen bangsa.
Sungguh pekerjaan rumah besar baik bagi penyelenggara ataupun partai politik untuk mengatasinya pada pemilu yang akan datang.
Namun, Pemilu 2024 juga sarat dinamika dan spekulasi, mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan penghindaran prinsip konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan berupa narasi presiden tiga periode, penundaan pemilu, ataupun perpanjangan masa jabatan. Termasuk pula kontroversi adanya manipulasi dan kecurangan verifikasi partai politik yang berujung sanksi etika pada ketua, anggota, dan staf KPU Kepulauan Sangihe (Kompas, 3/4). Bahkan, di hari yang sama, Ketua KPU Hasyim Asyari dijatuhi sanksi peringatan keras oleh DKPP karena hubungan pribadinya dengan Ketua Partai Republik Satu Hasnaeni.
Sebelumnya, publik telah dikejutkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan (2/3/2023) dan selanjutnya melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Putusan ini tentu mengandung problem konstitusional mendasar karena bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Beberapa pakar hukum menyebut ini sebagai putusan hukum, tetapi penuh muatan politis.
Mengecoh publik
Kontroversi dan spekulasi yang terus muncul akhirnya ikut mengecoh publik sehingga kurang memberikan atensi dan kontrol pada perkembangan pelaksanaan tahapan pemilu. Pemilih jadi tidak terlalu peduli pada program dan politik gagasan yang dibawa partai politik atau bakal calon. Kontroversi dan manuver elite dianggap lebih menarik untuk dibincangkan dari pada hal-hal substansial dan programatik.
Berkaca dari itu, semua pihak harus berbenah. Pertama, KPU, Bawaslu, dan DKPP mesti menunjukkan komitmen dan konsistensinya untuk bekerja profesional, transparan, akuntabel, membebaskan diri dari anasir politik partisan, dan tidak memberi ruang sedikitpun pada penyimpangan yang bisa merusak kredibilitas pemilu. Khususnya, setelah sejumlah sanksi etik yang diterima anggota ketua KPU dan jajarannya di daerah. Penyelenggara pemilu harusnya jadi bagian utama dari solusi untuk kualitas dan mutu pemilu, bukan malah menyumbang masalah yang bisa mengganggu legitimasi pemilu.
Kedua, lembaga penegak hukum pemilu harus menjalankan fungsinya secara imparsial, berimbang, independen, dan merdeka. Sementara institusi peradilan di luar sistem keadilan pemilu sudah seharusnya bisa menahan diri dan menjaga proporsionalitas dan batasan kompetensinya dalam menangani perkara pemilu. Tidak boleh ada lagi putusan ala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyimpangi prinsip konstitusionalisme dan nilai-nilai pemilu demokratis.
Ketiga, elite politik dan pimpinan lembaga negara harus berhenti berspekulasi soal kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024. Patuhi konstitusi dan regulasi secara konsisten. Lebih baik fokus melakukan pendidikan politik dan kepemiluan sehingga publik tidak ragu dan dapat berkonsentrasi penuh pada politik gagasan yang mestinya mendominasi diskursus dan dialektika di antara mereka.
Rakyat harus diberikan keyakinan bahwa negara serius mengurus hak mereka untuk mendapatkan pemilu yang luber, jurdil, dan tepat waktu. Pemilu adalah artikulasi kehendak rakyat melalui konsep ”satu orang satu suara satu nilai” yang hanya diberikan setiap lima tahun sekali. Untuk itu, jangan dicederai oleh pelanggaran etika, praktik curang tak beradab, ataupun upaya penundaan pemilu.