Impor daging sapi, meski menjadi jawaban untuk menjaga stabilitas harga di pasar, tidak mengatasi masalah defisit sumber protein. Pemerintah harus lebih serius memberdayakan pangan lokal sebagai sumber protein.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·5 menit baca
Harga berbagai jenis bahan pangan sebagai kebutuhan dasar semakin mahal. Tidak saja beras, tetapi juga daging sapi dan kacang kedelai sebagai sumber protein. Kenaikan harga komoditas pangan kian bermakna ketika masyarakat masih mengalami defisit protein di tengah kondisi anak bangsa yang mengalami pelambatan penurunan prevalensi tengkes (stunting).
Indonesia sebagai negara yang mengonsumsi daging sapi sekitar 706.388 ton pada 2021, tetapi hanya mampu memproduksi daging sekitar 436.704 ton. Permintaan daging tumbuh sekitar 6,4 persen per tahun, sementara kemampuan produksi hanya tumbuh 1,3 persen per tahun. Pintu impor pun dibuka untuk menutupi kekurangannya. Kondisi inilah yang menjadikan negeri ini sasaran pasar ”empuk” daging yang menggiurkan bagi sejumlah negara produsen daging sapi dunia.
Pertanyaannya, bagaimana pemerintah mengatasi defisit protein warga di tengah upaya menurunkan tengkes menjadi 14,0 persen pada 2024? Adakah komoditas pangan lain yang kandungan proteinnya setara daging sapi?
Upaya mengimpor daging sapi untuk menutupi defisit sumber protein menjadi salah satu langkah yang dilakukan pemerintah. Konsumsi daging nasional belum sepenuhnya bisa dipenuhi dari produksi lokal karena pertumbuhan populasi sapi dalam negeri masih defisit. Impor daging sapi pun selalu dilakukan setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, kebijakan pemerintah mengimpor daging sapi harus tetap memperhatikan potensi pangan lokal yang bisa menyubstitusi ketersediaan sumber proten daging sapi. Sekadar menyebut contoh tentang potensi lokal, kebutuhan protein warga dapat dipenuhi dari pangan yang lebih murah dan secara gizi memadai, seperti ikan laut dan budidaya air tawar, telur dan daging ayam, serta susu hewan non-sapi.
Protein nabati tidak kalah penting, jenis kacang-kacangan sangat berlimpah. Kacang kedelai lokal, koro benguk, koro pedang, dan kecipir bisa diolah menjadi produk tempe sebagai sumber protein dan sudah digunakan masyarakat secara turun-temurun.
Keseharian sebagian besar warga tidak terlepas dari konsumsi tempe dan berbagai produk olahannya. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara produsen tempe terunggul di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Diperkirakan tingkat konsumsi tempe di Indonesia mendekati 8 kilogram per kapita per tahun.
Tingginya tingkat konsumsi tempe ini—bandingkan dengan tingkat konsumsi daging sapi yang hanya 2,7 kg per kapita per tahun—karena masyarakat Indonesia sudah lama mengenal tempe. Bahkan produk fermentasi kedelai yang sarat gizi ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu.
Dalam catatan sejarawan Onghokham (2000), para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Menurut Onghokham, kandungan gizi tempe dengan harga yang sangat terjangkau menyelamatkan masyarakat miskin dari kondisi kurang gizi.
Cita rasa dan nilai gizi dari produk ”raja biji-bijian” ini, yang meningkat melalui fermentasi, menjadikan tempe sebagai makanan super tak tergantikan. Konon Presiden Pertama RI Soekarno menyukai makanan olahan tempe. Gorengan tempe tidak pernah absen dalam daftar menu istana saat itu.
Dua komoditas unggul, yakni daging sapi dan kacang kedelai beserta produk olahannya, sangat mewarnai asupan sumber protein warga. Ketersediaannya perlu dipastikan cukup dan sesuai dengan kebutuhan.
Komoditas unggul
Pemenuhan asupan protein, baik dari sumber hewani maupun nabati, sangat penting diperhatikan asesibilitasnya di masyarakat. Dua komoditas unggul, yakni daging sapi dan kacang kedelai beserta produk olahannya, sangat mewarnai asupan sumber protein warga. Ketersediaannya perlu dipastikan cukup dan sesuai dengan kebutuhan.
Komposisi protein pada makanan anak usia di bawah lima tahun (balita), misalnya, harus menjadi yang utama. Hal ini penting memastikan tumbuh kembang anak optimal untuk menepis terjadinya risiko kurang gizi yang akan memantik tengkes.
Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada 2018 jumlah anak usia balita mengalami tubuh pendek sebanyak 30,8 persen. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita bertubuh pendek sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian pada 2007 hingga 2013 yang relatif stagnan, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen. Pada 2024 targetnya menurun menjadi 14 persen.
Target menurunkan prevalensi tengkes ke angka 14 persen membutuhkan keseriusan untuk meningkatkan produksi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) dari berbagai jenis bahan pangan, baik hewani maupun nabati. Jika mengacu kepada laporan jurnalisme data Kompas, 24 Maret 2023, produksi daging sapi secara nasional disebut belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat secara nasional. Meski terdapat 18 provinsi yang kelebihan pasokan daging, belum terjalin kerja sama antardaerah untuk saling mengisi kekurangan daging sapi.
Keran impor daging sapi selalu dibuka dan menjadi jawaban untuk menjaga stabilitas harga di pasar. Namun, apakah impor menjadi solusi terbaik ke depan untuk menurunkan prevalensi tengkes? Tentu tidak. Solusinya potensi lokal harus digali untuk mengatasi defisit sumber protein guna mengontrol mutu sumber daya manusia.
Kian mahalnya harga daging sapi patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk melakukan percepatan swasembeda 2030. Meski daging bukan satu-satunya makanan sumber protein—bisa dari ikan, unggas, telur, susu, dan tempe—pemerintah harus memiliki komitmen politik yang kuat untuk menyediakan sumber protein bermutu tinggi yang bisa diakses dan dijangkau setiap orang sesuai kemampuan daya belinya.
Keran impor daging sapi selalu dibuka dan menjadi jawaban untuk menjaga stabilitas harga di pasar. Namun, apakah impor menjadi solusi terbaik ke depan untuk menurunkan prevalensi tengkes?
Daging impor sebaiknya dibatasi hanya untuk kebutuhan hotel berbintang dan restoran papan atas. Untuk mendukung ini, pemerintah patut membuat regulasi moratorium daging impor sambil membenahi lebih serius usaha penggemukan dan peternakan sapi lokal guna mamacu kinerjanya supaya bisa menyediakan daging berkualitas untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang kini terus bertambah jumlahnya. Upaya ini bisa dicapai apabila pemerintah memberi subsidi yang memadai sehingga produksi dan produktivitas ternak sapi dapat ditingkatkan.
Langkah antisipasi lewat pemberdayaan peternak kecil dan menengah menjadi agenda jangka panjang yang amat penting. De facto, peternak kecil yang jumlahnya hampir 80 persen dari seluruh usaha peternakan yang ada merupakan pemasok daging terbesar di Indonesia.
Kekuatannya akan lebih dahsyat lagi jika ditindaklanjuti dengan program Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti Plasma. Luas perkebunan kelapa sawit secara nasional mencapai 15 juta hektar (ha) dan setiap ha kebun sawit bisa menghidupi 2-3 ekor. Maka, pertambahan ternak sapi akan memuai lebih signifikan.
Menjadi hal yang ironis jika harga daging sapi amat mahal di tengah jumlah populasi sapi potong di Tanah Air yang mencapai 18,6 juta ekor (BPS, 2022). Angka ini jauh di atas perkiraan yang seharusnya mampu memasok 90 persen kebutuhan daging secara nasional dengan asumsi tingkat konsumsinya 2,7 kg per kapita per tahun.
Pemerintah harus lebih serius lagi memberdayakan beragam komoditas pangan lokal sebagai sumber protein. Tidak hanya dari daging, tetapi juga dari produk kedelai dan kacang-kacangan lokal. Peternak dan petani kedelai lokal harus ditingkatkan produktivitasnya dengan memberi bantuan kredit, sarana, dan prasarana produksi. Sektor teknoagroindustri pangan lokal perlu dikembangkan melalui program besar Nawacita agar pelakunya bisa mendapat nilai tambah dari produknya.
Implikasinya, produk pangan lokal akan mampu mencegah defisit protein anak bangsa sekaligus menyongsong tengkes 14,0 pada 2024.