Seiring meningkatnya angka harapan hidup dan paparan bahan kimia berbahaya, ancaman kesehatan, terutama penyakit neurodegeneratif, seperti parkinson semakin besar. Perlu deteksi dini dan kolaborasi layanan kesehatan.
Oleh
MUHAMMAD NAZMUDDIN
·3 menit baca
Terhitung sudah 206 tahun sejak James Parkinson, seorang dokter di salah satu sudut kota London, mendeskripsikan gejala gangguan gerak yang kemudian dikenal sebagai penyakit parkinson. Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif terbanyak kedua setelah penyakit alzheimer, menyebabkan disabilitas dan meningkatkan risiko kematian pada penderitanya.
Penyakit ini ditandai dengan gejala gangguan gerak berupa kekakuan otot dan perlambatan gerak, yang dapat disertai dengan tremor dan hilangnya stabilitas penopang tubuh. Selain itu, gangguan mental dan psikiatri, seperti depresi dan kecemasan, juga umum ditemukan pada populasi ini.
Dalam rentang waktu 1990-2015, terjadi peningkatan dua kali lipat jumlah penderita parkinson di dunia, mencapai 6,5 juta penderita pada 2015 hingga diproyeksikan menjadi 14 juta pasien pada 2040. Paparan terhadap faktor risiko yang berkaitan dengan penuaan seiring meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya paparan bahan kimia berbahaya, seperti pestisida dan logam berat, seiring dengan industrialisasi yang masif memicu peningkatan kasus parkinson.
Bagaimana dengan Indonesia? Penelitian internasional terbaru memperkirakan terdapat 200.000 penderita parkinson di Indonesia pada 2016. Data mengenai profil geografis penderita parkinson di Indonesia dan profil risiko penderita belum ditemukan.
Penelitian di tataran nasional masih terbatas dilakukan di rumah sakit tertentu dengan jumlah sampel yang terbatas sehingga belum merepresentasikan besaran kasus parkinson di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian dan pengumpulan data berskala nasional sangat diperlukan untuk mengetahui besaran masalah penyakit ini. Pendekatan melalui analisis data sistem informasi Jaminan Kesehatan Nasional dapat menjadi opsi untuk mengetahui besaran kasus parkinson di level nasional.
”Screening” dan fasilitas diagnosis
Peningkatan pelayanan dalam aspek screening dan diagnosis juga perlu dilakukan. Fasilitas diagnostik penunjang berupa pencitraan otak berbasis kedokteran nuklir masih jadi barang langka di negara ini. Padahal, fasilitas ini sangat diperlukan terutama di rumah sakit rujukan tipe A untuk mengonfirmasi diagnosis pada pasien bergejala mirip parkinson.
Terkini, peneliti mengidentifikasi dua gejala yang meningkatkan probabilitas seseorang untuk menderita penyakit parkinson di kemudian hari, yaitu gangguan indera penciuman yang menetap dan gangguan tidur pada fase REM (rapid eye movement atau tidur bermimpi). Eksplorasi dua tanda presimtomatis ini pada populasi pra-lansia dapat meningkatkan kewaspadaan bagi mereka yang memilikinya untuk melakukan upaya pencegahan, seperti penghentian terhadap paparan kimiawi penyebab parkinson dan perubahan gaya hidup yang lebih aktif.
Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemetaan epidemiologis profil genetik baik pada penderita parkinson maupun penyakit turunan lainnya.
Edukasi berkelanjutan di masyarakat harus terus dilakukan. Integrasi screening dua gejala ini dalam program posyandu lansia dapat menjadi strategi untuk deteksi dini penyakit neurodegeneratif ini.
Di negara maju, penanganan berbasis individu berdasarkan profil genetik penderita sudah intensif diteliti. Aplikasinya pada beberapa kasus kanker terbukti meningkatkan efek terapi. Begitu pula dengan penyakit parkinson. Mutasi genetik yang umum dan terkait dengan gejala parkinson sudah mulai dipetakan.
Para peneliti saat ini berlomba menemukan formula obat yang dapat mengompensasi gangguan akibat mutasi genetik ini. Dalam beberapa dekade ke depan, terapi berbasis individu penderita parkinson diperkirakan akan dapat diaplikasikan.
Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemetaan epidemiologis profil genetik baik pada penderita parkinson maupun penyakit turunan lainnya. Infrastruktur pemeriksaan genetik dengan teknologi baru dan penyiapan sumber daya manusianya harus segera disiapkan jika tak ingin tertinggal mengaplikasikan terapi berbasis individu ini.
Akses pengobatan
Di sektor penanganan, akses pasien terhadap ahli parkinson masih sangat terbatas, bahkan di negara maju sekalipun. Di Amerika Serikat, misalnya, berdasarkan sebuah survei, 40 persen penderita parkinson tidak pernah berkonsultasi dengan dokter ahli saraf. Permasalahan diperkirakan lebih besar di negara berpendapatan rendah.
Jejaring tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan penyakit parkinson perlu diperkuat untuk memastikan ketersediaan akses pelayanan holistik yang terdesentralisasi dan berkelanjutan, namun dengan monitoring data pasien yang terintegrasi. Tidak hanya melibatkan dokter ahli saraf, tetapi juga memperhatikan aspek rehabilitasi, psikologis, bedah saraf, dan tentu tenaga kesehatan di level pelayanan primer.
Pembiayaan pelayanan juga harus dijamin melalui program jaminan kesehatan nasional. Terakhir, pelayanan perawatan baik di rumah pasien maupun di rumah rawat bagi pasien parkinson tahap lanjut perlu dilakukan. Upaya-upaya ini telah terbukti secara ilmiah untuk mempertahankan kondisi kualitas hidup penderita dan menurunkan progresivitas penyakitnya.
Kesadaran pengidap parkinson untuk berobat harus ditingkatkan demi mengurangi ketergantungan dengan perawat pendamping. Akses terhadap obat-obatan untuk pasien yang terkontrol seharusnya dikembalikan ke level pelayanan kesehatan pratama.
Pada penderita Parkinson tahap lanjut, akses terhadap terapi pembedahan, seperti deep brain stimulation dan operasi lesi otak, harus diperluas. Faktanya, ahli bedah saraf yang menangani teknik pembedahan ini masih sangat langka. Kalaupun ada, seperti terapi deep brain stimulation yang ditawarkan di beberapa rumah sakit swasta, harganya sungguh tidak terjangkau.
Pentingnya advokasi
Upaya advokasi dari para pemangku kepentingan, utamanya tenaga kesehatan, penderita, dan pendamping penderita parkinson, sangat diperlukan untuk menyuarakan isu-isu ini pada pembuat kebijakan. Berkaca pada strategi yang diupayakan di negara maju, upaya advokasi ini diupayakan melalui perhimpunan penderita parkinson dan pendampingnya yang solid dan berkelanjutan.
Di Indonesia, Alzheimer Indonesia, organisasi pemerhati penyakit Alzheimer, dapat dijadikan percontohan. Peranan organisasi ini sangat penting untuk fungsi edukasi bagi penderita dan pendamping dengan berbagai platform.
Kolaborasi pemberi layanan kesehatan dengan organisasi kemasyarakatan berbagai sektor juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pencegahan penyakit neurodegeneratif seperti parkinson yang akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Pembuat kebijakan dan swasta perlu meningkatkan alokasi pendanaan penelitian berskala nasional terkait parkinson dan gangguan neurodegeneratif lainnya. Akademisi multidisiplin berskala nasional harus berkolaborasi dengan mengesampingkan ego institusi.
Seiring dengan peningkatan kapasitas ekonomi Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045, ancaman kesehatan utamanya pada penyakit degeneratif akan semakin besar. Korelasi antara peningkatan angka gross domestic product (GDP) dan prevalensi parkinson telah dilaporkan. Karena itu, upaya peningkatan kapasitas ekonomi ini juga harus diiringi dengan pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk pelayanan penyakit neurodegeneratif, termasuk parkinson, mulai dari sekarang.