Kebangkitan Yesus juga menampilkan satu dimensi lain, yakni komunikasi akan kesetiaan Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Komunikasi yang sangat dibutuhkan saat ini pun berdimensi ekologis.
Oleh
AGUSTIAN GANDA PUTRA SIHOMBING
·3 menit baca
Alleluia! Alleluia! Alleluia! Yesus Kristus sudah bangkit dari alam maut. Ia mengalahkan kuasa kegelapan dan dosa. Orang yang percaya kepada-Nya akan beroleh keselamatan, kebangkitan, dan kehidupan yang kekal (Yohanes 3:16).
Kebangkitan Yesus juga menampilkan satu dimensi lain, yakni komunikasi akan kesetiaan Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Allah tidak pernah meninggalkan apa yang telah diciptakan-Nya. Sebab, apa yang diciptakan oleh-Nya adalah baik, bahkan amat baik (bagi manusia). Selain itu, Dia juga tidak dapat menyangkal diri-Nya sebagai Sumber dan Asal cinta kasih yang sejati (2 Tim 2:13). Dengan cinta-Nya, Allah menanamkan kebaikan di dalam hakikat seluruh ciptaan.
Bagi umat Katolik, cinta kasih Allah tersebut terarah bukan hanya kepada manusia, melainkan juga kepada ciptaan lain. Ungkapan ini sungguh terang tertulis dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2009), nomor 455: ”Tidak saja manusia batiniah yang sekali lagi dijadikan utuh, tetapi juga seluruh kodratnya sebagai makhluk jasmaniah dijamah oleh kuasa penebusan Kristus. Seluruh ciptaan turut serta dalam pembaruan yang mengalir dari rahasia Paskah Tuhan”.
Pembaruan yang mengalir dari kebangkitan Yesus Kristus pertama-tama harus dimengerti dari sisi pembersihan dari dosa. Karena dosa, kodrat asali manusia yang kudus, ilahi, dan dekat dengan Allah menjadi ternoda (tidak sempurna).
Untuk itu, kodrat tersebut perlu dipulihkan kembali. Hal ini terjadi secara sempurna di dalam dan melalui kebangkitan Yesus Kristus. Pemulihan kodrat manusia dari dosa berlanjut pada sisi pembaruan komunikasi dengan Allah.
Melalui peristiwa kebangkitan, komunikasi antara Allah dan manusia diangkat pada taraf komunikasi sahabat, bukan hamba (Yoh 15:15); komunikasi erat antara anak dan Bapa; serta komunikasi cinta tanpa batasan ruang, waktu, suku, atau identitas manusiawi.
Komunikasi cinta tanpa batas pun terjadi antara Allah dan ciptaan lain (nonhuman). Bagaimana hal ini dapat terjadi? Pertama, Allah tidak membatasi diri semata-mata hanya transenden. Namun, Ia hadir secara imanen di bumi yang diciptakan-Nya (panentheis).
Kedua, FX Durrwell (1912-2005) dalam Resurrection of Christ (1967) merefleksikan bahwa setiap saat Allah melakukan pembaruan dan komunikasi terhadap ’ciptaan kosmik’ dalam bingkai cinta kasih.
Pembaruan dalam cinta—khususnya melalui kebangkitan—menjadi puncak dari proses penyucian segala binatang, tumbuhan, langit, lautan, daratan, serta seluruh alam semesta yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dengan demikian, semua menjadi layak di hadapan Allah.
Di sisi lain, misteri komunikasi yang dimaksud tampak dari bagaimana Allah mengorganisasi seluruh ciptaan kosmik menjadi seimbang, indah, menawan, dan dapat digunakan oleh manusia dalam proses kehidupannya. Lebih dari itu, kehadiran dan komunikasi Allah dengan ciptaan kosmik membuatnya memiliki nilai intrinsik. Maka, setiap ciptaan menjadi berharga dan patut untuk dilestarikan. Tugas pelestarian ini diteruskan kepada manusia sebagai partner Allah di bumi.
Sudah seharusnya kita membarui metode komunikasi dari yang dangkal menjadi dalam, komprehensif, dan universal. Komunikasi yang demikian akan membentuk tiap orang menjadi pembawa damai.
Komunikasi ekologis
Berdasarkan uraian di atas, kita perlu belajar dua hal. Pertama, sudah seharusnya kita membarui metode komunikasi dari yang dangkal menjadi dalam, komprehensif, dan universal. Komunikasi yang demikian akan membentuk tiap orang menjadi pembawa damai.
Hal ini telah lama direnungkan oleh Fransiskus dari Assisi (1181-1226) dengan untaian indah dari doa yang dikarangnya. Ia memohon agar: ”apabila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan; apabila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan; apabila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran; apabila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian; apabila terjadi keputusasaan, jadikanlah aku pembawa harapan; apabila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang; apabila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita”.
Kedua, komunikasi yang sangat dibutuhkan saat ini berdimensi ekologis. Konteks ekologis harus dimengerti lebih luas, bukan sekadar dengan lingkungan hidup—walau nuansa itu ada—melainkan dengan sesama manusia (sosial, politik, moral, dan budaya).
Tentang ini, Paus Fransiskus dalam ”Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia yang ke-57” (puncak pada 21 Mei 2023), mengajak seluruh umat manusia untuk berkomunikasi dengan ramah. Komunikasi ini dimulai dari menyucikan hati agar mampu mendengarkan dan berbicara kepada orang lain serta seluruh ciptaan Tuhan dengan hati.
Komunikasi dengan hati membuat setiap orang menjadi ramah, menghargai perbedaan, bersahabat, lemah-lembut, manusiawi, dan berbelas kasih. Komunikasi ini tentu ekologis karena bersumber dan berasal dari kasih Allah kepada semua ciptaan-Nya yang terjadi tanpa batas. Dengan itu, Paus Fransiskus merefleksikan kembali bahwa komunikasi perlu diperbarui agar ”cor ad cor loquitur” (hati berbicara kepada hati).
Ketika komunikasi menjadi baru, mata kita mampu melihat Allah dalam segala realitas ciptaan. Telinga kita mampu mendengar wahyu dan sabda Allah di alam. Tangan kita mampu merawat setiap makhluk ciptaan yang menderita dan butuh pertolongan. Mulut kita mampu menyerukan kasih, perdamaian, dan kesetaraan dalam Pencipta dan Penebus yang sama.
Komunikasi yang ekologis menghadirkan kedamaian yang tinggal di bumi (Pacem in Terris) sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, Sang Pencipta. Bagaimana komunikasi ini dapat terpenuhi? Mari memulainya dari hati, dalam kasih, dan dengan kebenaran. Mari juga mewujud-nyatakannya dalam langkah yang sama (sinodalitas). Sic fiat!
Selamat Paskah 2023! Ut Christus semper auxilium nostrum de prioribus surrexit (Semoga Kristus yang telah bangkit senantiasa menolong kita)!