Gaya Hidup Sederhana Bakal Menyelamatkan Perusahaan Teknologi
Kita perlu belajar bagaimana sosok para pendiri perusahaan memengaruhi kultur dan nasib perusahaan ke depan. Mereka telah teruji dalam keadaan krisis. Kesederhanaan mereka telah memberikan berkah pada perusahaan itu.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto
Apakah Anda membayangkan pendiri grup-grup besar di Tanah Air, seperti pendiri Astra dan Djarum, dalam waktu singkat sukses terus suka pamer dan bergaya hidup mewah? Kehidupan mereka di awal berkebalikan dengan sejumlah pendiri yang lebih suka disebut founder dan CEO perusahaan teknologi yang belakangan lahir. Bisnis belum teruji, tetapi karena dana yang melimpah dalam waktu singkat, mereka sudah buru-buru bergaya dan pamer.
Dana dari perusahaan modal ventura berkah sekaligus kutukan di era teknologi digital. Dengan model bisnis yang berbasis valuasi maka mereka mudah memberi dana kepada pengelola perusahaan rintisan. Jumlahnya? Dari miliar sampai triliunan rupiah. Kenikmatan dan kemewahan ini pasti tidak ada pada masa-masa awal semisal pendiri Astra, William Soeryadjaja, dan pengusaha lainnya saat mendirikan perusahaan mereka. Setelah kerja keras mereka baru diakui oleh lembaga keuangan hingga usahanya membesar.
Berikut ini kutipan dari beberapa media tentang hidup yang dijalani tokoh yang lebih sering dipanggil Om William. ”Mereka hidup dengan penuh perjuangan, kerja keras, dan doa. Dalam kehidupan yang sangat sederhana, mereka masih dapat menyewa satu kamar di sebuah hotel di Amsterdam. Pola hidup hemat ini tampak jelas ketika pada suatu kali keluarga muda ini pergi ke Basel, Swiss. Dalam perjalanan yang berlangsung satu minggu itu mereka hanya hidup dengan roti, bubur, dan susu untuk berhemat.”
KOMPAS/BAMBANG SUKARTIONO
William Soeryadjaja, pendiri Astra Group.
Kerja keras dan hidup sederhana dari para tokoh bisnis lama memberi pelajaran kepada dirinya dan karyawan. Pelajaran itu, antara lain, untuk mendapatkan uang tidaklah mudah, ketika merasakan sulit mendapatkan uang mereka menjadi lebih berhati-hati saat mengeluarkannya, dan mau mendengarkan suara konsumen. Mereka tidak puas pada satu pencapaian. Mereka akan mencari pencapaian lain, tetapi tetap dengan pengelolaan keuangan yang sangat hati-hati. Pengalaman inilah yang kemudian secara umum menjadi kultur dalam bisnis mereka.
Tidak mengherankan apabila Cofounder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, beberapa waktu lalu, mengatakan, tiga tahun pertama East Ventures berdiri, pihaknya selalu mempertimbangkan faktor produk, potensi pasar, dan sosok pendiri di balik perusahaan rintisan bidang teknologi sebelum memutuskan menyuntikkan investasi. Seiring waktu berjalan, dia menyadari betapa pentingnya hanya fokus pada faktor potensi pasar dan sosok pendiri. Cofounder PT Digiasia Bios Alexander Rusli juga menekankan karakter pendiri usaha rintisan sebelum akhirnya memutuskan memberikan investasi. Dua karakter yang disukai adalah kerja keras dan tidak mudah menyerah.
Dengan pendanaan yang jumlahnya sangat besar usaha rintisan bisa cepat mengembangkan usaha, bertemu dengan lembaga keuangan lainnya, bertemu dengan para pejabat, dan diakui sebagai bagian kelompok elite. Akan tetapi, sebenarnya bisnis riil mereka belum terbentuk. Semua masih sekadar valuasi. Bisnis riilnya masih bongkar pasang dan meski sudah mendapat berbagai status seri pendanaan pun mereka sebenarnya masih merugi. Mereka kelimpungan ketika pendanaan terhenti karena uang sangat ketat dan mahal. Tiba-tiba mereka harus untung!
Dana yang melimpah ketika putaran pendanaan sedang berjalan telanjur membuat sejumlah pendiri mencapai fase nyaman. Fase ini menyebabkan mereka seolah sudah berhak untuk menikmati hasil. Keberhasilan mereka sebenarnya masih semu. Keberhasilan masih sebatas mengangkat valuasi usaha mereka. Keberhasilan ini masih berupa pengakuan apabila jalan bisnis mereka sudah di jalur yang benar. Bisnis riil yang mana mereka mendapat untung dari semua aktivitasnya masih jauh.
Di sinilah letak kutukan dari dana yang melimpah itu. Mereka telanjur sibuk memfasilitasi diri mereka dengan berbagai atribut agar pantas disebut CEO. Mobil mewah, ajudan, perjalanan kelas utama, hotel mewah, dan lain-lain. Mengeluarkan uang untuk berbagai keperluan sangatlah mudah. Usaha yang mereka jalankan seolah sudah memetik hasil. Berbagai alasan bisa dicari untuk mengeluarkan uang. Uang dalam jumlah besar seolah akan datang lagi dengan mudah pula sehingga mereka mudah sekali melepaskan dana yang ada.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengunjung melihat pameran Indonesia Fintech Festival and Conference 2016 yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Indonesia Convention Exhibition, Serpong, Tangerang, Senin (29/8/2016). Acara yang diadakan untuk mendukung pengembangan industri teknologi finansial (tekfin) di Indonesia tersebut diikuti oleh 70 perusahaan rintisan tekfin.
Cofounder dan Chairman Infosys Nandan Nilekani pada sebuah acara akhir tahun lalu seperti dikutip Businessworld mengadvokasi penghematan dan pengeluaran saat berbicara tentang skenario usaha rintisan di India saat ini. Dia mengatakan, memiliki terlalu banyak uang sejak dini untuk perusahaan adalah kutukan. Nilekani mengatakan, dia gagal memahami bagaimana usaha rintisan menghabiskan banyak modal di awal perjalanan mereka pada saat mereka memiliki akses ke modal. ”Begitu Anda kehilangan rasa hormat terhadap modal dan berhemat, semua segera berakhir,” katanya.
Kritik seperti ini sudah pasti sulit dipahami oleh para pendiri yang sejak lahir sudah berasal dari keluarga berada. Apalagi diikuti oleh ”dayang-dayang” sekitarnya yang juga mendukung gaya hidup mewah pula. Mereka tidak pernah merasakan beratnya mendirikan usaha dan beratnya kehidupan. Mereka mungkin mencemooh kritik seperti ini karena kesederhanaan atau imajinasi hidup sederhana tidak pernah muncul dalam hidup mereka. Hanya segelintir yang paham dengan berbagai masalah di sekitar mereka.
Kesederhanaan bukan soal hidup compang-camping, tetapi menghargai setiap uang yang didapat dan menggunakannya secara tepat, termasuk menyejahterakan karyawan.
Akan tetapi, kondisi keuangan saat ini, terutama pada arus kas, yang terus merosot akibat pendanaan yang terhenti atau keuntungan juga belum didapat menyebabkan mereka harus melakukan penghematan di segala lini. Hidup sederhana menjadi pilihan. Fasilitas-fasilitas mewah sepertinya perlu dikurangi. Ada banyak contoh CEO perusahaan teknologi atau pendiri masih hidup dengan sederhana dan tidak boros. Ada CEO yang tetap memilih naik pesawat dengan penerbangan murah. Ada CEO yang tidak memiliki ajudan. Ada CEO yang kendaraannya tergolong biasa-biasa saja. Pilihan ini mungkin juga bisa mengurangi pilihan pemutusan hubungan kerja.
Kembali melihat para pendiri perusahaan lama. Mereka tetap sederhana bahkan hingga masa tua mereka. Kita perlu belajar bagaimana sosok para pendiri perusahaan memengaruhi kultur dan nasib perusahaan ke depan. Mereka telah teruji dalam keadaan krisis. Kesederhanaan mereka telah memberikan berkah pada perusahaan itu sendiri dan karyawannya. Badai besar ternyata bisa dilalui karena kultur sederhana di berbagai perusahaan. Kesederhanaan bukan soal hidup compang-camping, tetapi menghargai setiap uang yang didapat dan menggunakannya secara tepat, termasuk menyejahterakan karyawan.
Kesederhanaan pula yang masih perlu diperjuangkan oleh bangsa ini. Penyakit bangsa di semua golongan yang berwujud nafsu ingin pamer masih tampak di mana-mana. Gaya hidup pejabat dan keluarga pejabat yang sedang digunjingkan menjadi contoh betapa kesederhanaan masih perlu diperjuangkan oleh semua kalangan. Fenomena ini memberi gambaran bahwa kesederhanaan hidup merupakan masalah besar. Sebaliknya gaya hidup boros, ingin pamer, dan konsumtif masih menjadi ”impian” banyak orang.