Belakangan ini, ada perubahan signifikan pada kebijakan regional Arab Saudi. Perubahan itu menandai pergeseran Riyadh: dari jalan konfrontasi menuju diplomasi.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
AP/SAUDI ROYAL PALACE/BANDAR ALJALOUD
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memeluk Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman menjelang pertemuan mereka di Jeddah, Arab Saudi, 28 April 2022.
Tak sampai dua pekan berselang, Arab Saudi meretas jalan pemulihan hubungan dengan Suriah. Seperti diberitakan televisi Al-Ekhbariya, Kamis (23/3/2023), pembicaraan antara Riyadh dan Damaskus telah dimulai. Targetnya hampir sama dengan sasaran jangka pendek rekonsiliasi Arab Saudi-Iran: pembukaan kembali kedutaan besar.
Hubungan diplomatik Saudi-Suriah terputus setelah badai musim semi Arab menyapu Timur Tengah pada 2011. Kala itu, Riyadh mendukung oposisi yang berupaya menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Keanggotaan Suriah di Liga Arab dibekukan. Setelah lebih dari satu dekade, Assad—berkat dukungan Rusia dan Iran—tak tergoyahkan.
KOMPAS
Setelah rujuk dengan Qatar dan Iran, Arab Saudi kini berusaha memulihkan hubungan dengan Suriah.
Kini ada kesepahaman bersama di negara-negara Arab bahwa isolasi terhadap Suriah tak lagi relevan dan tak berguna. Saudi mengakui, muncul konsensus di negara-negara Arab: kini saatnya membuka lembaran dialog dengan Damaskus.
Akhir Februari lalu, Assad datang ke Oman. Pada 19 Maret, empat hari menjelang Ramadhan, ia bersilaturahmi ke Uni Emirat Arab. Ketika bulan lalu gempa meluluhlantakkan sebagian Suriah dan Turki, negara-negara Arab—termasuk Arab Saudi—mengirim bantuan ke Damaskus. Mei nanti, Arab Saudi menggelar KTT Liga Arab. Kemungkinan keanggotaan Suriah di organisasi regional itu kembali dipulihkan.
Saudi mengakui, muncul konsensus di negara-negara Arab: kini saatnya membuka lembaran dialog dengan Damaskus.
Dari perkembangan terakhir ini, terlihat pergeseran strategis kebijakan Arab Saudi. Di mata Riyadh, Amerika Serikat tak bisa lagi diandalkan untuk menjamin keamanannya. Saat fasilitas minyak Saudi di Abqaiq dan Khurais dihajar rudal Houthi dukungan Iran pada 2019, Washington bergeming. Doktrin Carter, kebijakan AS yang dicanangkan Presiden Jimmy Carter pada 1980 guna melindungi kepentingan AS, termasuk sumber minyak di Timur Tengah, sudah mati.
REUTERS/STRINGER
Asap tebal membubung tinggi ke udara seiring kebakaran besar yang diduga akibat serangan pesawat nirawak Houthi dukungan Iran atas instalasi minyak Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, Sabtu (14/9/2019) pagi. Serangan itu mengganggu pasokan minyak global, menyebabkan harga minyak melonjak lebih dari 15 persen, Senin (16/9/2019), serta mengangkat mata uang negara eksportir minyak utama.
Di tengah rivalitas dengan kekuatan besar, China dan Rusia, bagi AS, Timur Tengah tak lagi jadi prioritas. Melihat arah itu, Riyadh memilih jalan lain. Dari semula berkonfrontasi dengan Iran dan loyalisnya di sejumlah negara, seperti Yaman, Suriah, Lebanon, dan Irak, Riyadh beralih ke jalan diplomasi.
Di atas jalan diplomasi ini, Saudi membangun keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar di kawasan. Dengan Turki, relasi dipulihkan pada 2022. Dengan Iran plus Suriah, pemulihan hubungan sedang berlangsung. Tak tertutup kemungkinan ke depan juga dengan Israel. Inikah, tulis Maria Fantappie, peneliti pada Istituto Affari Internazionali, Roma, dan Vali Nasr, Profesor Hubungan Internasional dan Studi Timur Tengah Johns Hopkins University (Foreign Affairs, 22/3/2023), tata baru Timur Tengah?