Nyepi, Ogoh-ogoh, dan Pesan kepada Dunia
Nyepi memberi pesan kepada dunia: merenunglah, berkontemplasilah untuk sesaat.

Hari raya Nyepi tahun Saka 1945 jatuh pada hari Rabu, 22 Maret 2023. Sejak tiga dekade terakhir, parade ogoh-ogoh selalu menghiasi hari raya ini, yang terselenggara pada hari pengrupukan, sehari sebelum Nyepi.
Pandemi Covid-19 sempat menghentikan parade ini selama dua tahun. Namun, tahun ini parade tersebut kembali diadakan. Apakah kaitan antara ogoh-ogoh dan Nyepi?
Nyepi merupakan tahun baru Saka bagi umat Hindu Bali. Sementara ogoh-ogoh merupakan ritual yang dipandang menguatkan rasa dalam menyambut dan memasuki tahun yang baru itu.
Pada saat hari Nyepi, masyarakat Hindu Bali melaksanakan pantangan berupa amati geni, amati lelungan, dan amati lelanguan:
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada saat hari Nyepi, masyarakat Hindu Bali melaksanakan pantangan berupa amati geni, amati lelungan, dan amati lelanguan: tidak menyalakan api, tidak bepergian, dan tidak bersenang-senang. Terjemahan dari hal ini adalah diam di tempat tinggal, introspeksi dan kontemplasi.
Dalam konteks filosofis, tiga pantangan tersebut mempunyai fungsi pengendalian diri, sebuah prinsip dasar dari kehidupan sosial untuk menjaga ketertiban.
Dengan tiga pantangan itu, dinamika sosial akan berhenti dan secara otomatis yang muncul adalah sebuah dorongan berpikir.
Kesadaran akan pengendalian diri pada hari raya Nyepi dengan sendirinya memunculkan kontemplasi, perenungan tentang segala dinamika diri dan sosial pada satu tahun terakhir. Memunculkan kesadaran akan kekeliruan dan keberhasilan untuk selanjutnya memilih strategi memperbaiki kehidupan di masa mendatang.
Pada berbagai ritual Hindu Bali (seperti juga agama-agama lain), setiap perhubungan dengan Tuhan harus dalam keadaan bersih. Diri harus bersih, lingkungan bahkan peralatan sembahyang harus bersih.
Itulah sebabnya, masyarakat Hindu Bali mengenal ritual yang disebut prascita (pembersihan diri), mecaru (pembersihan lingkungan), mesucian (bersih peralatan sembahyang) sebelum melakukan persembahyangan.
Berdialog dengan diri, Tuhan, dan alam
Hari raya Nyepi merupakan konteks perhubungan dengan Tuhan yang paling komplet dan secara kasatmata paling besar pada masyarakat Hindu Bali.
Sekitar seminggu sebelum hari raya Nyepi, jutaan masyarakat Hindu Bali hampir pasti ikut arak-arakan ke pantai untuk melaksanakan apa yang disebut melasti. Ritual ini adalah pembersihan peralatan dan sarana persembahyangan masyarakat Hindu Bali, baik dalam kepemilikan individual maupun kelompok.
Sehari menjelang Nyepi, masyarakat Hindu Bali menggelar ritual pengrupukan. Jutaan masyarakat Hindu Bali melakukan pecaruan, baik di lingkungan rumah tinggal masing-masing maupun di tingkat desa, kota, bahkan provinsi. Pengrupukan sesungguhnya adalah ritual untuk membersihkan dan menstabilkan lingkungan. Caru mempunyai makna bersih.
Setiap anggota masyarakat yang melaksanakan persembahyangan akan memercikkan air suci ke dalam dirinya atau melakukan prascita, sebagai simbol pembersihan diri.

Umat Hindu berjalan beriringan melewati pantai dalam rangka Upacara Melasti di Pantai Balekambang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (11/3/2021). Upacara dilakukan sebagai bentuk pembersihan diri menjelang Hari Raya Nyepi.
Maka, di saat hari raya Nyepi, seluruh lingkungan sudah dikondisikan bersih sehingga inilah saat yang paling ideal untuk berdialog dengan diri, dengan alam, dan dengan Tuhan Maha Pencipta.
Nyepi memberikan suasana yang paling memungkinkan bagi manusia untuk introspeksi dan menjadi sumber daya penyadaran. Sumber daya dan penyadaran itulah yang dipakai modal untuk menjalani hidup pada tahun baru Saka berikutnya.
Di mana kemudian peran ogoh-ogoh yang demikian menjadi pusat perhatian masyarakat luas?
Ogoh-ogoh adalah justifikasi psikologis sosial yang dikaitkan dengan religiositas. Dalam hal ini, Hindu Bali. Penampilan dan kemudian pembakarannya menimbulkan semacam kepercayaan diri pada manusia bahwa kejahatan sudah dapat dikalahkan sehingga memunculkan atau menebalkan keyakinan tentang kebersihan lingkungan dan kebersihan diri.
Ogoh-ogoh adalah wujud olok-olok kepada kekuatan jahat oleh manusia. Dengan membentuk kekuatan jahat itu sebagai ogoh-ogoh, masyarakat memperoloknya berbentuk abnormal, badan gemuk, dada bongsor, dan wajah berantakan serta berjalan tergopoh-gopoh (ogoh-ogoh).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F03%2F11%2Fb737e7b7-9b0a-48e0-a9b5-648109228807_jpg.jpg)
Pawai Ogoh-ogoh - Berbagai komunitas umat Hindu mengikuti pawai ogoh-ogoh di sepanjang Jalan Malioboro hingga kawasan Titik Nol, Yogyakarta, Sabtu (10/3/2018). O
Topeng ini kemudian dibakar sebagai simbol kehancurannya dan keberhasilan manusia terbebas dari pengaruh jahat, baik dalam diri maupun lingkungan.
Namun, ogoh-ogoh sesungguhnya hanya simbolitas belaka, sebuah hasil kesepakatan sosial. Jadi sesungguhnya tidak harus berwujud besar, bahkan tidak harus dibuat. Pada hari pengrupukan, cukup banyak simbol yang menandakan hilangnya kejahatan, misalnya ritual menyapu lingkungan dan memukul-mukul tanah.
Menyapu tanah adalah simbolisasi pembersihan lingkungan. Memukul-mukul tanah adalah simbolisasi pengusiran kekuatan jahat, demikian juga pembunyian kentungan, dan sejenisnya yang menimbulkan suara keras. Semuanya merupakan peninggalan kepercayaan tradisional untuk pengusiran kekuatan jahat.
Fenomena ogoh-ogoh itu baru muncul pada pertengahan dekade 1980-an, sebagai respons atas kecelakaan yang terjadi akibat penggunaan meriam bambu pada waktu itu. Jadi, jauh setelah munculnya pawai obor dan pawai kentungan (yang berbaris rapi, murah, tertib, dan menimbulkan suara indah tanpa bentrokan).
Bisnis atau politik pariwisata kiranya kemudian yang menarik ritual ogoh-ogoh yang mahal ini menjadi massal dan digandrungi anak-anak sampai remaja, yang bersedia menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuat satu ogoh-ogoh saja.
Pesan kepada dunia
Sebagai produk budaya yang berakar pada religiositas, seharusnya Nyepi tidaklah hanya berlaku untuk masyarakat Hindu Bali belaka. Ia dapat memberikan inspirasi dan mendorong pembaruan budaya (pengembangan hasil olah pikir manusia).
Adanya car free day di kota-kota besar di Indonesia adalah inspirasi dan kelanjutan budaya dari Nyepi ini. Bahwa masyarakat perlu kenyamanan tanpa harus diganggu oleh bisingnya kendaraan bermotor.
Karena itulah Nyepi juga dapat memberi pesan kepada dunia: merenunglah, berkontemplasilah untuk sesaat. Terlalu banyak momen dan kesempatan untuk melakukan hal itu pada acara-acara pertemuan resmi di sejumlah negara, antarnegara, juga pertemuan non-negara.
Tidaklah keliru, misalnya, pada saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan sidang, maka sidang dimulai dengan merenung satu atau dua menit sebelum memulai acara.
Bukan maksudnya untuk mendoakan tokoh yang meninggal, melainkan merenung tentang sebuah perdamaian, melepas konflik, dan ketegangan internasional. Demikian pula sidang-sidang yang dilakukan oleh NATO, Uni Eropa, ASEAN, APEC, dan yang lainnya.
Atau tidak salah apabila PBB menyerukan kepada dunia untuk berhenti dari segala aktivitas satu jam saja pada hari tertentu yang disepakati. Dalam praktik, jika dunia mampu berhenti beraktivitas satu jam saja, alangkah besarnya energi yang mampu diirit. Bukan sekadar energi bahan bakar, melainkan juga energi di dalam diri.
Semoga Nyepi mampu memberi inspirasi untuk gencatan senjata atau apa pun namanya terhadap berbagai konflik di dunia, termasuk perang Rusia-Ukraina.
GPB Suka Arjawa - Guru Besar Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana