Bercakap-cakap dengan Si Nona Kecil dari Flores
Masa lalu sedang mendatangi kita. Oleh sebab itulah, sejarah adalah masa lalu yang belum berlalu dan takkan pernah mati.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F06%2Fb31ad248-412f-4bb1-b8fb-8134311ba135_jpg.jpg)
Putu Fajar Arcana, wartawan harian Kompas 1994-2022
Malam sedikit berbeda di plaza Goa Batu Cermin, Labuhan Bajo. Saat muncul dari dalam goa, wajah Flo sangat tidak nyaman. Kantong matanya membentuk garis lengkung setengah parabola di bagian bawah, sementara bibirnya yang dipoles gincu agak tebal mengatup keras seperti sedang menahan beban. Rahangnya yang pendek selalu ia tekuk setiap kali mencoba berbicara. Oh ya, bola matanya hanya sesekali berkedip. Itu pun jika ia merasa perlu mengembuskan napasnya keras-keras sehingga terdengar suara seperti empasan gelombang di tepi pantai.
Flo sedang resah, itu sudah pasti. Sesekali ia coba menonton televisi, tetapi tak lama kemudian ia matikan. Telepon yang terus berdering dan layar laptopyang terbuka ia tutup setelah hanya sanggup menulis dua kalimat pendek:
”Hari-hari adalah sejarah. Masa lalu belum berlalu, bahkan tidak akan pernah mati”. Hanya itu yang berhasil Flo tulis sebagai seorang penulis profesional. Kehadiran lelaki tengah baya, Benyamin Tarus (45), yang tiba-tiba nyelonong dari pintu samping rumahnya, juga seolah tak berarti apa-apa. Benyamin tahu, Flo sedang stres berat. Oleh karena itu, ia mencoba menenangkannya dengan mengatakan agar Si Nona Kecil jangan terus bersedih.
”Masih banyak keluarga yang memperhatikanmu Flo,” kata Benyamin sembari mencoba mengelus-elus pipi Flo yang tiba-tiba merona merah. Namun, Flo bergeming. Ia tetap terperangkap dalam kesedihan yang dalam. Entahlah….
Benyamin Tarus, lelaki dari Teras, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, itu sebenarnya telah bertemu dengan Flo pada 2003. Saat itu, kira-kira di bulan September, Om Ben, begitu Flo memanggilnya, sudah hampir setahun mengais-ngais dasar Goa Liang Bua. Sebagai tenaga lokal, Om Ben dipekerjakan para arkeolog kenamaan dunia, seperti Peter Brown, Mike J Morwood, dan Prof Soejono, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
”Pertama saya menemukan bagian tengkorak atas. Posisinya seperti sedang telungkup. Lalu saya panggil teman-teman sesama penggali. Mereka kemudian bergegas menuju lubang, tempat saya sedang menggali. Dalamnya lebih dari 5 meter,” tutur Benyamin Tarus, Senin (13/32023), di Labuhan Bajo. Ia tak segan mempraktikkan posisi tengkorak Flo ketika pertama kali menjumpainya. Ia letakkan dagu dan kepalanya di atas meja, di mana kami saling berhadapan. Om Ben jadi tampak sedikit mencoba melucu.

Benyamin Tarus (45), penemu tengkorak Homo florensiensis di Goa Liang Bua, Senin (13/3/2023), di Labuhan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur
Pada Minggu (12/3) malam, kami bersama-sama dengan Bupati Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit dan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI Nusa Tenggara Timur I Made Dharma Suteja sedang menyaksikan pementasan bertajuk Rumah Baru untuk Flo, yang diinisiasi komunitas bernama De Flo. Pementasan teater boneka dengan sutradara Yustiansyah Lesmana dan Marto Rian Lesit ini sesungguhnya sebuah proyek mengangkat kembali penemuan kerangka manusia Homo florensiensis di Goa Liang Bua, Manggarai, Flores.
Baca Juga: Jejak Homo Floresiensis Masih Misteri
Selama ini, kata Yustiansyah, Flo terombang-ambing di tengah perdebatan para arkeolog. Sewaktu awal ditemukan, Flo diidentifikasi sebagai genus Homo sapiens yang menderita sakit microcephaly, lantaran kepalanya yang kecil dengan volume otak hanya 380 cc, serta tinggi tubuhnya tak lebih dari 1 meter. Flo bahkan diperkirakan hanya berusia 5 tahun. Dengan demikian, ia disamakan dengan anak balitanya Homo sapiens.
Para arkeolog dari kubu berbeda lebih progresif. Flo tak lain adalah penemuan paling berharga dalam mata rantai sejarah umat manusia di dunia. Flo tak lain adalah genus yang berbeda dan disebut sebagai Homo florensiensis. Ia bukanlah nenek moyang Homo sapiens, seperti dirimu dan diriku. Hipotesis ini diperkuat oleh penemuan delapan individu lainnya yang, walaupun tidak selengkap Flo, semuanya mengarah pada kenyataan yang berbeda dari Homo sapiens. Bahwa Flo memang berasal dari pohon umat manusia berbeda dan dia menyerupai Hobbit yang disebut dalam buku fiksi karangan JR Tolkien. Kau pastinya juga sudah menonton film The Lord of The Rings beserta sekuelnya, bukan?Ada tokoh bernama Frodo Baggins beserta komunitas manusia kerdil yang membantu menyelamatkan spesies manusia dari pembasmian kekuatan jahat oleh Sauron.

Para arkeolog mencoba mengidentifikasi Homo florensiensis seperti digambarkan dalam sebuah adegan pementasan teater boneka berjudul Rumah Baru untuk Flo, Minggu (12/3/2023), di Labuhan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Tokoh fiktif karangan Tolkien justru menjadi inspirasi para ilmuwan untuk memberi julukan kepada Flo sebagai The Hobbit from Flores alias manusia kerdil dari Flores. Oleh masyarakat lokal, seperti Benyamin Tarus, Flo dipanggil sebagai Si Nona Kecil dari Flores, yang berumur antara 87.000-100.000 tahun. Penghitungan usia ini didasarkan pada lapisan tanah yang menjadi tempat Flo ”bermukim” selama ini. Ia seolah menanti kedatangan Homo sapiens, termasuk Om Ben, untuk kemudian saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing.
Pertanyaan pentingnya, apa yang menyebabkan Flo punah sebagai komunitas manusia?
Baca Juga: Jejak Hobit di Liang Bua
Saat dua hari pementasan, secara cerdas Yustiansyah dan Marto menyodorkan dua pilihan kepada para penonton. Apakah Flo punah karena, A) Letusan gunung berapi atau B) Dimangsa oleh Homo sapiens? Penonton hanya diminta mengangkat huruf ”A” atau ”B” sesuai urutan pilihan tadi. Uniknya, pada hari pertama sebagian besar penonton memilih Flo punah karena dimangsa Homo sapiens, tetapi pada hari kedua sebaliknya, Flo punah akibat terkena dampak letusan gunung berapi.
Baca Juga: Manusia Kerdil di Manggarai karena Genetik dan Lingkungan
Soal mana jawaban yang benar tentu tidak bisa segera diputuskan. Setidaknya, kata Yustiansyah, dua pilihan yang saling mendominasi itu mewakili apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia arkeologi saat ini. Toh begitu, seolah tidak perduli tentang kepunahan Flo, negara-negara seperti Jepang, Denmark, Perancis, Australia, dan Korea Selatan menempatkan manusia purba dalam museum mereka. ”Mereka membuat replika Homo florensiensis dan ditempatkan sebagai mata rantai kehidupan makhluk bernama manusia,” kata Yustiansyah.
Dalam perdebatan dan penelitian para arkeolog yang terus bergema di seluruh dunia, Yunstiansyah dan Marto melihat, sangat tidak mungkin berspekulasi tentang masa lalu Flo. Penemuan tengkorak dan kerangka Flo dan komunitas manusia kerdil itu di Goa Liang Bua justru ia tempatkan sebagai ”masa lalu” yang mendatangi ”masa kini”. Flo adalah kapsul waktu, yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk ”luluh” ke dalam komunitas Homo sapiens. Itulah antara lain alasannya mengapa kita bisa melihat Flo sedang stres seperti kebanyakan manusia modern. Ia bahkan hidup seperti kebanyakan dari kita sekarang ini.
”Masa lalu sedang mendatangi kita. Oleh sebab itulah, sejarah adalah masa lalu yang belum berlalu dan takkan pernah mati seperti ditulis Flo,” ujar Marto.
Marto sepenuhnya benar. Flo boleh menampakkan diri dalam bentuk kerangka manusia purba, tetapi justru karena itulah ia menyatakan dirinya begitu berarti bagi manusia masa kini.

Wajah Flo yang dilanda stres berat dalam satu adegan pementasan teater boneka berjudul Rumah Baru untuk Flo, Minggu (12/12/2023), di Labuhan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ia memang tak lebih dari tulang-belulang yang diduga telah berumur lebih dari 87.000 tahun. Namun, kehadirannya bersama sejumlah kerangka burung bangau raksasa, komodo, tikus raksasa, dan gajah mini telah menciptakan sebuah dunia ”masa lalu” yang selama ini dirindukan manusia.
Oleh sebab itu, proyek De Flo yang diharapkan akan bergulir sampai lima tahun ke depan tidak bisa sekadar dipandang dari sisi artistik semata-mata. Bentuk teater obyek, dengan personifikasi Flo sebagai sebuah boneka, memicu banyak pertanyaan penting. Apa yang ingin dibicarakan Flo di tengah kebekuannya? Mengapa akhirnya Flo memutuskan untuk ”mendatangi” manusia modern? Kabar apa yang ingin ceritakan sampai harus menderita stres sepanjang waktu? Apakah masa kini dengan segala kemajuannya akan mampu menceritakan tentang masa lalu yang tertimbun di bawah Goa Liang Bua, Flores? Bisa juga pertanyaan paling eksistensial yang selama ini mengobsesi para ilmuwan: siapakah sebenarnya Flo? Apakah dia bisa berbicara dan secara sosial sudah hidup memiliki sistem kepercayaan?
Yustiansyah dan Marto adalah dua sosok sutradara, peneliti, dan penulis naskah yang tidak menyerah di ujung perdebatan para ilmuwan. Mereka melakukan perjalanan riset dalam hitungan tahun sebelum memutuskan menghadirkan Flo di tengah-tengah manusia modern. Bukankah cara ini akan semakin mendekatkan Flo dengan ”para penggemarnya” yang tersebar di berbagai belahan dunia. Teater akan menggunakan kecerdasan artistiknya untuk mendatangi audiens, tanpa harus terjebak dalam narasi yang verbal. Sebab, verbalitas sudah terbukti membuat Flo semakin terombang-ambing dalam kebimbangan tak berujung.
Simak video:
Flo tak mau berbicara terlalu banyak. Ia khawatir terjebak dalam lingkaran stres seperti manusia modern. Oleh sebab itu, ia memutuskan berbaring di tempat tidurnya yang kecil. Tak beberapa lama mimpi mendatanginya. Istrinya berbisik di telinga: apakah manusia purba juga bisa bermimpi? He-he, ini pertanyaan ”nakal” dan absurd karena memang kita tak pernah tahu siapakah yang menciptakan mimpi? Pakar psikoanalisis seperti Sigmund Freud dalam buku Interpretation of Dream (1914) cuma mengatakan bahwa mimpi merupakan jembatan antara dunia eksternal dengan perasaan, kesan, dan keinginan terpendam (terepresi). Mimpi adalah pemenuh keinginan dari apa yang tidak mampu terwujudkan di dunia eksternal.
Rasanya penjelasan tentang mimpi ini terlalu sederhana, kan? Sebab, yang aneh, pada Flo, mimpi itu justru tentang semesta masa lalu, sebuah masa kala ia pernah menjadi bagian darinya. Ia melihat tikus besar menari-nari, burung bangau raksasa berteriak-teriak, gajah mini berlalu-lalang, serta komodo bermain-main di halaman. Bukankah itu bagian dari semesta Flo dari masa lalunya? Mengapa dia memimpikan masa lalu itu, padahal dia sendiri sudah menjalaninya selama ribuan tahun?

Flo bersua dengan penemu pertamanya, Benyamin Tarus (45).
Dramaturgi sebuah teater memang semesta ciptaan yang sering kali unik, khas, dan penuh kejutan. Flo bermimpi tentang masa lalu, yang justru dia peruntukkan bagi umat manusia di masa kini. Di situ Flo ditempatkan sebagai pembawa kabar tentang masa lalu yang selama ini diraba-raba oleh para ilmuwan. Jika merujuk pada Freud, Flo ingin menjembatani realitas masa lalu sebagai mimpi yang tak terasa manusia modern. Ia justru menghadirkan mimpi sebagai gambaran realitas, bukan sebuah keinginan yang tak mampu dia penuhi sebagai individu. Manusia masa kinilah yang tak mampu memenuhi kenginannya dalam mendefinisikan semesta yang melingkupi kehidupan Flo dan kawan-kawannya.
Metode ”pemberitahuan” semacam ini akan menjadi sangat efektif di hadapan publik yang serba gamang dalam meraba masa lalunya. Publik didorong untuk masuk ke dalam sebuah dunia ciptaan, yang secara luas menyediakan segala kemungkinan karena tidak dibatasi oleh dalil-dalil keilmuan yang rigid. Teater menyediakan ruang terbuka yang menghampar jauh dan segala imajinasi dipersilakan memasukinya. Bahwa nanti ada tafsir, itu sangatlah tergantung dari referensi dan pengalaman yang dimiliki setiap audiens.
Baca Juga: Situs Goa Liang Bua Flores Menunggu Sentuhan Kreatif
Berbekal bingkai semacam itu, Yustiansyah dan Marto berkeinginan kuat membawa proyek seni De Flo turut berlayar bersama para wisatawan yang ngebet ketemu komodo. Di atas kapal pinisi Flo akan memperkenalkan diri dan berkisah tentang masa lalunya. Bahkan, menurut Yustiansyah, Flo bercita-cita hadir di depan publik dunia dalam satu festival teater boneka internasional. Sebab, dengan cara itu, kehadirannya tidak hanya sebagai obyek penelitian para arkeolog, tetapi juga menjadi subyek yang diberi kesempatan menceritakan perihal diri sendiri. Bukankah ilmu sering kali meletakkan subyek sebagai benda-benda belaka yang pasif dan tak bernyawa? Flo adalah jenis yang berbeda. Dia individu yang mewariskan segala hal-ikhwal mengenai semesta dirinya, sebagaimana juga dimiliki oleh manusia modern?
Kupikir barangkali di sinilah kuncinya mengapa para arkeolog seperti menemui jalan buntu ketika membahas tentang Flo. Teater telah mengirim sinyal yang benderang, tinggal bagaimana kita menangkapnya dan membahasakannya ke hadapan publik.
Pada sebuah siang di hari Minggu, sebelum bertemu Flo, aku menyusup masuk ke dalam Goa Batu Cermin. Gua ini kecil, tidak sebesar Ling Bua di Ruteng, tetapi jelas juga ia pernah menjadi tempat bermukim kawanan manusia purba. Jangan-jangan di situ juga ada saudaranya Flo. Lalu tergiang lagi tulisan Flo yang tak selesai: ”Hari-hari adalah sejarah. Masa lalu belum berlalu, bahkan tidak akan pernah mati…”.
Baca Juga: Bikon Blewut, Ungkap Jejak Peradaban Flores yang Tersembunyi