”Hari Ini Kau Kembali...” Nomo Koeswoyo
Saat Koes Plus sedang sangat populer, Nomo mendirikan No Koes. Salah satu lagunya, ”Rindu”, memberi kesan seolah Nomo dalam nestapa karena terpisah dari saudara-saudaranya. Ia memang pintar membangun gambaran kesedihan.

Frans Sartono
Suatu kali saya sowan atau bertandang ke rumah Nomo Koeswoyo di Magelang, Jawa Tengah. Mas Nomo, begitu saya menyapanya, mengenakan kaus bertuliskan eling asale, eling baline yang artinya: ingat asal dan kembalinya.
Koesnomo Koeswoyo telah berpulang pada 15 Maret 2023. Nomo adalah drumer Koes Bersaudara dan dia pernah ikut meramaikan industri musik di negeri ini.
Koesnomo Koeswoyo (1938-2023) tumbuh dalam lingkungan berkultur Jawa, dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya, Koeswoyo, pegawai negeri di Kabupaten Tuban, sedangkan sang Ibu, Atmini, adalah keponakan Bupati Tuban.
Dalam lingkungan priyayi itulah, anak-anak keluarga Koeswoyo tumbuh. Nomo merupakan anak keempat. Urutannya adalah Koesdjono (Djon: 1932-2022), Koesdini, Koestono (Tony: 1936-1987), Koesnomo (Nomo), Koesyono (Yon: 1940-2018), Koesroyo (Yok).
Dimotori oleh Ton, dan didukung Djon, atau John, anak-anak lelaki Koeswoyo itu pada 1958 membentuk kelompok musik. Pada 1962, kelompok yang kemudian dinamai Kus Bros itu membuat album pertama di Irama. Yang terjadi kemudian adalah sejarah; dan Nomo menjadi bagian dari sejarah tersebut.

Nomo Koeswoyo menunjukkan lagu-lagu ciptaannya. Ia juga bercerita tentang kegiatannya sehari-hari di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (18/1/2019). Bagi Nomo, yang tahun itu menginjak usia 80 tahun, bernyanyi adalah obat di usia senja.
”Made in” Solo
Kita tengok dulu masa awal Kus Bros terbentuk. Dalam sebuah perbincangan dengan Mas Djon dan Mas Yok, diceritakan bahwa sesudah masa pendudukan Jepang, Koeswoyo menjadi asisten wedana di Desa Kerek, terus ke Widang. Setelah kemerdekaan, karena suatu hal, Koeswoyo memutuskan pindah ke Jakarta pada 1951. Ia bekerja di Kementerian Dalam Negeri.
Akan tetapi, dengan berbagai pertimbangan, Koeswoyo kemudian mengajukan pensiun untuk kemudian bekerja di Bank Timur. Koeswoyo dipercaya mengelola onderneming atau perkebunan di Surakarta, dengan kantor di Kota Solo. Djon tinggal di Jakarta bersama empat adik, kecuali Nomo yang bertualang sendiri ke Surabaya, bekerja di pabrik genteng.
Karena ingin adik-adiknya memiliki kegiatan positif, Djon berinisiatif membelikan alat-alat musik. Waktu itu Djon sudah bekerja di Biro Yayasan Tehnik, sebelum kemudian pindah ke pembangunan Hotel Indonesia (HI).
Ia mengajak Tony ke Solo untuk mencari alat musik. Mereka membeli bas betot, dua gitar pengiring, dan satu set drum. Mereka membeli alat musik made in Solo itu di Jalan Tembaga atau Kawasan Nonongan, Solo.
Adapun drum dibeli di tempat pembuatnya di kampung Kawatan, Solo. Alat-alat itu dibawa dengan kereta api ke Jakarta. Terus dari stasiun diangkut dengan truk ke Hotel Indonesia, tempat kerja Djon.
Djon bercerita, bagaimana ayahnya yang bertugas di Solo sempat kaget melihat kedua anaknya itu datang ke Solo. Dia kena marah sang ayah.
Ketika dikatakan mereka hendak membeli alat musik, Koeswoyo menganggap Djon akan merusak adik-adiknya. ”Nanti jadi apa mereka?” kata Koeswoyo yang ditirukan Djon. Di belakang hari, mereka menjadi bintang di Tanah Air, dengan Nomo berada di belakang drum.
Baca Juga: 50 Tahun Koes Plus, Mengenang Nomo Koes (1)

Album Pop Jawa Koes Bersaudara (1978). Dari kiri, Tony Koeswoyo (berdiri), Nomo Koeswoyo, Yok Koeswoyo duduk di atas mobil, dan Yon Koeswoyo (ujung kanan).
Pagi yang Indah
Koes Bersaudara menemani kehidupan warga negeri ini pada era 1960-an. Mereka membuat dan menyanyikan lagu-lagu yang hingga hari ini dikenang pendengarnya dan masih sering diperdengarkan pula di ruang publik.
Suatu kali pada 1962, Koes Bersaudara ingin memperdengarkan contoh lagu ke perusahaan rekaman Irama milik Suyoso Karsono atau Mas Yos. Ternyata, Irama berkenan dan Koes Bersaudara memulai debutnya dengan lagu seperti ”Bis Sekolah” dan ”Dara Manisku”.
Tony waktu itu mengonsep duet ala Everly Brothers yang memang sedang populer pada akhir 1950-an hingga 1960-an. Untuk itu, ia melatih adiknya, Yon dan Yok, untuk berduet. Karakter dan timbre suara kakak beradik itu dianggap cocok.
Yon punya vokal sedang, sedangkan Yok agak tipis dengan jangkauan nada cukup tinggi. Mengacu pada duet Everly Brothers, Yon dan Yok ditampilkan sebagai penyanyi sekaligus pemain gitar. Karena terpengaruh duo Everly pula, pada awalnya Koes Bersaudara menonjolkan sosok duet Yon-Yok.
Bahkan, pada sampul album awal Koes Bersaudara, hanya terpampang sosok Yon dan Yok dalam posisi duduk saling membelakangi. Ungkur-ungkuran, kata Mas Djon.
Apakah Nomo tidak bisa bernyanyi? Karena konsep duet ala Everly tersebut, Nomo yang di belakang drum tidak ditampilkan sebagai penyanyi. Akan tetapi, sebenarnya semua awak Koes Bersaudara bisa bernyanyi. Hal itu mereka buktikan pada masa-masa selanjutnya.
Baca Juga: Sakti di Penjara, Mengenang Nomo Koes (2)

Sampul album Koes Bersaudara To The So Called The Guilties.
Nomo pernah bercerita, sewaktu SMP, di depan kelas ia menyanyikan ”Innamorata”, lagu berbahasa Latin yang sedang populer lewat suara Dean Martin. ”Saya dimarahi guru ha-ha...,” kata Nomo dalam perbincangan dengan Kompas di Jalan Haji Nawi, Cipete, yang merupakan rumah keluarga besar Koeswoyo.
Konsep awal Koes Bersaudara ternyata diterima publik dan lagu-lagu Koes Bersaudara populer di radio. Lahirlah kemudian lagu ”Telaga Sunyi”, ”Pagi Yang Indah”, ”Angin Laut”, ”Senja”, ”Oh Kau Tahu”, ”Dewi Rindu”, dan ”Harapanku”.
Pada 1967, mereka membuat album Jadikan Aku Domba Mu yang merupakan album terakhir sebelum Nomo keluar dari grup. Album memuat lagu ”Lonceng yang Kecil”, ”Rahasia Hatiku”, ”Bidadari”, dan ”Jadikan Aku Domba Mu”.
Tahun 1968 Nomo keluar dari grup. Pada tahun itu Nomo sudah menikah dan mempunyai anak pertama, Mirza Riandini, yang terkenal dengan nama Chicha Koeswoyo. Nomo merasa, dari bermain musik, ia tidak dapat menghidupi keluarga.
Oleh karena itu, ia mencari penghidupan di luar Koes Bersaudara. Sementara itu, Tony tegas meminta Nomo untuk memilih: kerja atau main musik. Nomo memilih untuk tidak bergabung dengan Koes Bersaudara.
Baca Juga: Musik Kacang Goreng, Mengenang Nomo Koes (3)

Sampul album Koes Bersaudara Djadikan Aku Domba Mu (1968). Belakang, Nomo dan Yon; depan, Yok dan Tony.
No Koes
Sebagai pengganti Nomo, Tony mendapat pemain drum bernama Kasmuri atau Murry dari band Patas, Surabaya. Karena pergantian pemain tersebut, Tony mengganti nama band sebagai Koes Plus. Kata Plus berarti datang tambahan pemain baru, Murry.
Nama itu menurut cerita Murry muncul ketika Tony melihat iklan obat yang terkenal pada masa itu, yaitu APC+, lengkapnya dalam bahasa iklan lisan APC + cap burung merah. Tertulis dengan penanda tambah atau plus. Tony sendiri mengucapkan + dengan lafal bahasa Inggris ”plas”, tetapi publik melafalkan sebagai ”ples” dengan e pepet.
Album pertama Koes Plus Dheg Dheg Plas ternyata meledak di pasar. Lagu seperti ”Kembali ke Jakarta”, ”Manis dan Sayang”, dan ”Kelelawar” terdengar setiap hari di radio pada sekitaran tahun 1970-1971.
Pada album Volume 1 itu, Yok belum bergabung. Koes Plus terdiri dari Tony Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Murry, dan Totok AR sebagai pemain bas. Yok mulai bergabung pada Volume 2.
Koes Plus terus berjaya dan setiap albumnya menghasilkan lagu-lagu hits. Untuk menyebut beberapa saja, antara lain ”Kisah Sedih di Hari Minggu”, ”Andaikan Kau Datang”, ”Malam ini”, ”Pelangi”, ”Nusantara”, ”Kolam Susu”, dan ”Diana”.
Koeswoyo Senior yang pada awalnya sempat menyangsikan masa depan anak-anaknya di musik ikut menulis lagu dan menjadi kondang pula, seperti ”Mari-mari”.
Nomo tidak tinggal diam. Ketika Koes Plus sedang sangat populer lewat lagu ”Kolam Susu” dan ”Diana”, pada 1973 Nomo mendirikan No Koes. Di grup ini, Nomo mengajak awak band Usman Bersaudara yang karakter jenis musiknya tidak terlalu jauh dengan Koes Plus.
Mereka terdiri dari tiga bersaudara Usman (gitar), Sofyan (bas), dan Said (drum), plus Pompi (kibor) dan Bambang Karsono (gitar), dan tentu saja Nomo sebagai pimpinan grup dan penyanyi.
Baca Juga: Memori Abadi, Mengenang Nomo Koes (4/Habis)

Ilustrasi para personel Koes Plus.
Ini benar-benar sesuatu yang baru karena selama di Koes Bersaudara, suara Nomo tidak terdengar dalam rekaman. Bersama No Koes, suara Nomo mengalun lewat lagu ”Rindu” yang menjadi hits pada 1974. Sekadar catatan, melodi awal lagu ini mengingatkan pada lagu ”A Chi” yang dipopulerkan penyanyi Italia, Fausto Leali, pada pertengahan era 1960-an.
Syair lagu ini mengungkapkan kerinduan seseorang untuk bertemu saudara-saudaranya. Dalam salah satu lariknya disebutkan ”Bilakah kau Kembali/Bernyanyi bersama lagi...” Disebut pula sang subyek sedih, ”Sedih, hati pilu” karena ”Mengenang kasih hati saudaraku”. Bahkan, ”Tetes air mata(ku)/ Mengiring kepergian saudara(ku)...”.
Nomo juga menyanyikan lagu berjudul ”Dicari” yang juga bisa ditafsirkan sebagai ungkapan keterpisahan seseorang dengan kekasih. ”Sedih hatiku kini/Menunggu kekasih hati”.
Muncul penafsiran yang memberi kesan seolah-olah Nomo yang dalam nestapa, terpisah dari saudara-saudaranya. Nomo memang pintar membangun image tentang kesedihan. Dia bisa memainkan emosi pendengar tentang nasib orang yang terpisah dari saudara-saudara.
Pada kenyataannya, keluarga Koeswoyo rukun-rukun bahagia di rumah keluarga besar di Jl Haji Nawi, Cipete, Jakarta. Apa pun, lagu-lagu tersebut populer pada masanya.
Tampak juga kepintaran Nomo dalam bisnis. Ia menjalankan perusahaan rekaman Yukawi yang membawahkan sederet artis populer pada masa itu, termasuk No Koes.
Lewat No Koes, kemampuan bernyanyi dan menulis lagu Nomo tertumpah. Tampak juga kepintaran Nomo dalam bisnis. Ia menjalankan perusahaan rekaman Yukawi yang membawahkan sederet artis populer pada masa itu, termasuk No Koes.
Nama No Koes adalah salah satu kecerdikan Nomo dalam jualan. Nama No Koes bisa dibilang sensasional karena ”No” bisa ditafsirkan sebagai anti-Koes (Plus).
Kiat serupa juga digunakan Nomo untuk grup NoBo yang karakter lagu-lagunya mirip milik Bimbo. Seperti No Koes, nama NoBo juga ada yang menafsir sebagai anti-Bimbo. Akan tetapi, Nomo dengan cerdas membantah, ”Kan, bisa juga diartikan Nomo Bodo…,” seloroh Nomo kepada media massa waktu itu.
Baca Juga: Lagu dan Jejak Masa Lalu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2F0aa407ad-8d44-4ed2-adc7-b3868ffa94e2_jpg.jpg)
Nomo Koeswoyo yang ditemui pada 2010 mengaku benar-benar betah tinggal di Kota Magelang, Jawa Tengah. Sudah sembilan tahun terakhir mantan penabuh drum kelompok Koes Bersaudara itu tinggal di kota sejuk tersebut.
Chicha dan ”Heli”
Yukawi pada era 1970-an bisa dibilang pesaing berat perusahaan rekaman Remaco. Dari Yukawi, Oma Irama menghasilkan album Begadang yang laku keras. Di sana pula bernaung penyanyi country Franky & Jane, Kembar Group.
Kejelian Nomo juga terbukti lewat kepekaan dia menangkap peluang di dunia industri musik. Pada masa itu, lagu anak-anak bisa dikatakan sepi jika dibandingkan dengan lagu untuk dewasa. Begitu pula penyanyi anak-anak masih sangat jarang. Sampai-sampai grup seperti Koes Plus atau The Mercy’s dikerahkan untuk membuat lagu anak-anak.
Pada 1975, Nomo melihat putrinya Chicha Koeswoyo yang suka bernyanyi. Nomo melihat potensi Chicha yang kala itu berusia 7-8 tahun untuk merekam suara. Nomo lalu membuatkan lagu ”Heli” yang pas dengan karakter anak, dan meledaklah lagu itu pada 1976.
Chicha dengan ”Heli”-nya bukan hanya populer dan menjadi hiburan anak-anak di negeri ini, tetapi juga melahirkan tren lagu anak-anak yang dinyanyikan anak-anak dalam industri musik di Indonesia.
Segera setelah ”Heli” laris manis, lahirlah lagu dan penyanyi anak-anak. Mereka kebanyakan anak-anak artis. Tersebutlah antara lain Joan Tanamal, Adi Bing Slamet, Debby Oma Irama, Sari Yok Koeswoyo, Vien Is Haryanto, dan Fitria Elvie Sukaesih.
Baca Juga: Kisah ”Telinga Emas” Jan Djuhana
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2F3eddbff7-7814-449b-ba7c-e80d339556af_jpg.jpg)
Titiek Puspa, Chicha Koeswoyo, Sariti Sandi, dan Deby Oma Irama dalam drama musik Kartini Manusiawi Kartini tahun 1979.
Kembalinya Koes Bersaudara
Jelang akhir era 1970-an, pamor Koes Plus agak menurun, sementara dunia musik negeri ini semakin meriah. Album Badai Pasti Berlalu dari Eross Djarot-Chrisye-Yockie Suryoprayogo disambut publik sebagai pemberi pilihan rasa segar.
Menyusul kemudian album dari ajang Lomba Cipta Lagu Remaja yang digelar Prambors bekerja sama dengan perusahaan rekaman Aquarius. Dari sana lahir ”Lilin-Lilin Kecil” ciptaan James F Sundah.
Lalu, Chrisye dan Yockie melahirkan album Sabda Alam, Jurang Pemisah, dan lainnya. Begitu pula God Bless yang memulai rekaman pertamanya dengan album Huma di Atas Bukit. Adapun The New Rollies menyodorkan lagu dengan kemasan brass-rock.
Koeswoyo bersaudara tampaknya perlu melakukan sesuatu untuk penyegar situasi juga. Muncullah gagasan untuk menghidupkan kembali Koes Bersaudara. Kiat ini berhasil dengan lahirnya album Kembali pada 1977 dengan lagu andalan ”Kembali”.
Pada lagu ciptaan Tony Koeswoyo itu, empat bersaudara bernyanyi bareng. Syair lagu bercerita tentang penyambutan seseorang yang telah lama ditunggu untuk berkumpul bersama, lalu mereka merayakan kebersamaan. ”Hari ini kau kembali../Kembali, kembali kita bersama-sama lagi/Sampai akhir waktu nanti...”.
Lagu lain dengan dramatika serupa ditulis Djon Koeswoyo dan Yon Koeswoyo, yaitu ”Haru dan Bahagia”. Pada lagu itu, Nomo berduet dengan adiknya, Yon. Diungkapkan tentang keterpisahan yang berujung pertemuan bahagia. ”Tiap hari... tiap hari/Aku tetap menanti//Kau kembali... kau kembali/Jangan... kau sendiri.
Baca Juga: Deep Purple, Laskar Metal yang Tersisa

Sisa Laskar Koes Bersaudara. Dari kanan ke kiri: Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, Nomo Koeswoyo.
Dua lagu itu menjadi penanda kembalinya Nomo dalam Koes Bersaudara. Sebenarnya, berkumpulnya kembali Koes Bersaudara lebih bersifat upaya untuk bertahan dalam industri musik. Apa pun, upaya itu berhasil.
Koes Bersaudara bahkan juga membuat album Pop Jawa. Suara Nomo terdengar pada lagu pertama album ini lewat lagu ”Bunder-bunder”. Lagu yang digarap dengan gaya tembang dolanan jenaka ini cukup populer, terutama di kalangan masyarakat pengguna bahasa Jawa.
Lagu ”Kembali” kini sering mengisi acara reuni atau ketika ada pertemuan antarkawan lama. Kita kutip sepotong syairnya sebelum refrain, ”Hari ini, hari ini kau kembali….”
Ya, Nomo telah kembali, ke ”asale” seperti tertulis pada kausnya. Ia telah berkumpul dengan Djon, Tony, dan Yon, kakak dan adiknya dalam Koes Bersaudara, yang tercatat indah dalam sejarah musik Indonesia….
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019