Dalam tiga tahun sejak Sinta diumumkan pada 2016, Indonesia berubah dari negara terburuk kedua menjadi penghasil artikel jurnal ilmiah terbanyak di Asia Tenggara. Namun, 86 persen peningkatan itu jurnal berdampak rendah.
Oleh
MUHAMMAD HUSEIN HEIKAL
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Penelitian terbaru yang dilakukan tiga peneliti dari University of Hawaii menampilkan realitas menarik seputar perkembangan publikasi artikel jurnal ilmiah di Indonesia. Penemuan penelitian ini sangat penting dalam proses transformasi produksi dan publikasi artikel jurnal ilmiah di Indonesia.
Lewat artikel berjudul ”Ranking researchers: Evidence from Indonesia” (2023) yang dipublikasikan oleh jurnal Research Policy, Caroline V Fry, John Lynham, Shannon Tran menyatakan peneliti Indonesia sedang melakukan apa yang mereka sebut sebagai gaming the system (mempermainkan sistem). Akan tetapi, efek keseluruhan dari aktivitas ini berdampak positif, yakni meningkatnya hasil penelitian dan membuat Indonesia hanya dalam kurun waktu tiga tahun berubah dari negara terburuk kedua menjadi penghasil artikel jurnal ilmiah terbanyak di Asia Tenggara.
Penelitian ini dilakukan dengan menguji pengaruh penerapan Science and Technology Index (Sinta) sebagai sistem pemeringkatan nasional di Indonesia, sebuah negara yang dipandang sebagai negara yang tertinggal di belakang batas produksi pengetahuan global. Mereka menyebut Sinta sebagai sebuah sistem unik yang memeringkat setiap peneliti Indonesia menurut formula berbasis publikasi. Meskipun publikasi merupakan proksi yang masuk akal untuk kapasitas ilmiah, sulit mengukur dampak sebenarnya dari implementasi Sinta terhadap kapasitas ilmiah aktual di Indonesia.
Sejak Sinta diumumkan pada 2016 dan diberlakukan pada tahun berikutnya, jumlah publikasi yang dilakukan peneliti Indonesia meroket tajam. Kemunculan Sinta merupakan respons dari rendahnya kinerja Indonesia dalam penelitian ilmiah. Pemerintah pusat meluncurkan serangkaian inisiatif setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada 2014. Inisiatif ini termasuk memberikan publikasi berdampak tinggi serta memperbarui persyaratan publikasi.
Fry et al (2023) berargumen bahwa kehadiran Sinta memang berperan dalam meningkatkan jumlah publikasi di Indonesia, tetapi bukan satu-satunya faktor yang bertanggung jawab atas tren peningkatan tersebut. Peningkatan jumlah publikasi ini dibangun atas sistem insentif berbasis kinerja bagi para peneliti.
Insentif berbasis kinerja?
Bagaimana cara terbaik memotivasi peneliti dan akademisi untuk melakukan penelitian dan publikasi yang diharapkan memajukan pengetahuan, khususnya di antara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di mana hasil penelitian mungkin tertinggal? Sejauh ini insentif bisa jadi memang jawaban yang cukup tepat.
Namun, menjadi problem sadar insentif membuat perubahan kinerja dan independesi peneliti serta dampak penelitian jangka panjang. Kita menduga akan tercipta pola insentif yang didapatkan peneliti dinilai berdasarkan kinerja. Namun, pada jangka panjang, saya kira pola ini akan berbalik. Insentif yang diterima oleh peneliti akan menentukan kinerja sebagai dampak awal, dan lebih jauh terhadap dampak jangka panjang dari penelitian yang dikerjakan.
Suka atau tidak suka, kita harus mengakui lewat skema insentif, Indonesia telah berjaya dengan menunjukkan peningkatan tajam dalam hasil publikasi penelitian.
Singkatnya, peneliti melakukan penelitian bukan karena atas keinginannya sendiri, bukan dilandasi keluhuran melakukan penelitian dan berkontribusi terhadap pengetahuan dan lebih jauh peradaban, melainkan sebatas kepentingan material personal berupa insentif. Para peneliti terekspos lewat insentif yang diberikan. Sebab itulah posisi peneliti telah dikonseptualisasikan sebagai agen ekonomi yang menanggapi insentif keuangan (Stephan, 1996).
Begitu pun, suka atau tidak suka, kita harus mengakui lewat skema insentif, Indonesia telah berjaya dengan menunjukkan peningkatan tajam dalam hasil publikasi penelitian, dan institusi Indonesia naik dalam peringkat global yang mengandalkan publikasi terindeks Scopus. Ini menjadi tren yang tidak dapat ditandingi oleh negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Untuk itulah, penelitian di masa depan harus berusaha untuk lebih memahami dan mengklarifikasi batasan sistem insentif bagi peneliti di negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Selain itu, para peneliti (termasuk di Indonesia) juga didorong untuk memberikan tanggapan kuat terhadap insentif nonfinansial.
Fry et al (2023) juga melengkapi hasil penelitian mereka dengan menunjukkan bahwa peneliti Indonesia memperluas jaringan kerja sama, baik asing maupun lokal, yang merupakan elemen penting untuk meningkatkan kapasitas ilmiah di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sudah tentu ini satu hal yang harus dipertahankan dan terus dilakukan sebab kolaborasi merupakan syarat untuk mencapai sesuatu atau tujuan yang lebih besar.
Terakhir dan tak kalah penting, penelitian yang dikerjakan Fry et al (2023) amat berguna untuk dijadikan acuan atau landasan transformasi produksi dan publikasi artikel jurnal ilmiah di Indonesia. Sebab, ada realitas yang perlu dicermati. Ditemukan bahwa ternyata sebesar 86 persen peningkatan publikasi dari 2016 hingga 2019 di Indonesia adalah karena baik prosiding konferensi maupun jurnal berdampak rendah (Q3, Q4, dan unranked).
Ini menjadi penanda bahwa terlepas dari pemahaman kita tentang dampak menggabungkan metrik untuk mengevaluasi peneliti, lebih sedikit yang diketahui tentang apakah sistem insentif semacam ini benar-benar mencapai tujuannya untuk memperluas produksi pengetahuan baru. Lebih jauh ini akan menyebabkan obsesi untuk mencapai kuantitas publikasi sebanyak-banyaknya untuk mendapat insentif yang dijanjikan, dibandingkan lebih memperhatikan kualitas penelitian yang dilakukan serta dampaknya secara luas.