Gus Mus, ”Saya Manusia Merdeka...”
Salah satu karya Gus Mus, lukisan ”Berdzikir Bersama Inul” (2003), yang sarkastik sekaligus humoristik. Kehadiran Inul saat itu menuai pro-kontra. Gus Mus melihat kehebohan seputar Inul dengan pikirannya yang merdeka.

Frans Sartono
Siapakah Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus? Pertanyaan itu seperti menyelubungi pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah 11 Maret 2023. Pertanyaan dilepas lapis demi lapis dalam pembukaan pameran. Alissa Wahid, yang membuka pameran, mengatakan bahwa Gus Mus adalah pertemuan. Gus Mus sendiri menyatakan bahwa ia adalah manusia merdeka....
”Hari ini kita mendapat berkah yang luar biasa. Suatu pembukaan pameran disambut dengan hujan abu...,” kata Oei Hong Djien memaknai fenomena hujan abu akibat erupsi Gunung Merapi yang turun di hari pembukaan pameran Lanskap Gus Mus: Pameran seni karya Gus Mus dan keluarga yang akan berlangsung hingga 12 Juni 2023.
Mendengar ucapan Pak Hong Djien, seorang hadirin ngunandika atau bicara pada diri sendiri, hujan abu itu menyuburkan tanah. Hujan abu, kesuburan, dan pameran Gus Mus seperti gayung bersambut.
Keistimewaan juga meliputi sosok Gus Mus. Sampai-sampai Suwarno Wisetrotomo selaku kurator pameran ini mengaku sempat gamang ketika ditunjuk untuk menguratori pameran Gus Mus.
”Ini pekerjaan kurasi yang membuat saya diliputi kecemasan. Saya menguratori perupa yang tidak sekadar pelukis dan bukan sekedar seniman, melainkan sosok yang melampaui segalanya,” kata Suwarno yang berpengalaman luas sebagai kurator.
Ia bertanya kepada diri apakah mampu menghadirkan sosok Gus Mus ”hanya” melalui sepotong karya. Sang kurator melihat Gus Mus sebagai bentang yang luas dan sekaligus dalam. Ia memandang sosok Gus Mus ibarat panorama yang berlapis-lapis. Kehadirannya memberi keteduhan kepada orang-orang di sekitarnya.

Gus Mus menjelaskan lukisannya, "Berdzikir Bersama Inul", kepada pengunjung pameran saat pembukaan pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2023).
Apa yang diungkapkan Suwarno mungkin tidak berlebihan. Dia mengaku sikapnya itu tidak dalam rangka memuji melainkan karena sadar bahwa Gus Mus bukan jenis pribadi yang ingin dipuja-puji.
Pilihan kata ”bentang” atau ”panorama yang berlapis” untuk menyebut Gus Mus itu diamini oleh orang lain. Butet Kartaredjasa, penyair Sosiawan Leak, dan Alissa Wahid, semuanya melihat sosok Gus Mus dari berbagai dimensi.
Dengan cara ungkap personal, mereka masing-masing memberi afirmasi atau penegasan atas sosok Gus Mus, seperti dirumuskan kurator Suwarno Wisetrotomo bahwa Gus Mus bagaikan bentang yang luas dan dalam.
Penyair Sosiawan Leak yang diundang Gus Mus untuk menulis dan membacakan puisi secara dramatik-teatrikal, lewat puisinya yang berjudul ”Lanskap Gus Mus”, juga menggambarkan Kiai Ahmad Mustofa Bisri sebagai sosok dengan dimensi berlapis. Gus Mus disebut sebagai sosok kiai, budayawan, negarawan, bapak, serta sosok yang melampaui semua lapis-lapis tersebut. Kita kutipkan salah satu bait.
”Lanskap Gus Mus, lanskap ulama, dan guru bangsa/
Yang mengeja Tanah Air tercinta sebagai rumah bersama/
Mengajarkan persaudaraan bukan cuma berdasar darah dan keyakinan/
Tapi juga karena sebangsa, bahkan tersebab kita berbeda sebagai fitrah manusia/…”
Pada larik-larik lain, Sosiawan menggambarkan Gus Mus sebagai orang yang tindak tanduknya merupakan dalil agama, bahkan paras wajahnya merupakan dalil agama. Seperti apakah itu: ”Teduh tatap matanya/Halus desah nafasnya/Lembut tutur katanya/...” Pada bagian lain, ia menyebut Gus Mus sebagai seorang santri yang rendah hati, ulama yang ”Pantang mengkafir-kafirkan sesama; Pantang menghujat umat sebagai kayu bakar neraka/...”

Penyair Sosiawan Leak membacakan puisi karyanya untuk Gus Mus dalam pembukaan pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2023).
“Selangnya Gusti Allah”
Butet Kartaredjasa melihat Gus Mus dari sisi seorang suami yang pantas diteladani. Butet menangkap keteladan itu dari puisi ”Sajak Cinta” karya Gus Mus. Kita nukilkan sepenggal bagian ”Sajak Cinta” yang mengekspresikan kesegalaan dan ketotalan seorang suami kepada istrinya.
”aku adalah ombak samuderamu/
yang lari datang bagimu/
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu/
aku adalah wangi bungamu/
luka berdarah-darah durimu/
semilir bagai badai anginmu/...”
Sebelum membacakan puisi tersebut, Butet memberi semacam testimoni tentang apa yang ia alami beberapa tahun silam. Bagi Butet pribadi, Gus Mus bukan hanya seorang ulama, negarawan, atau pun budayawan. ”Gus Mus ini dalam konteks saya: selangnya Gusti Allah yang memberi saya hidup,” kata Butet.
Butet menuturkan, suatu kali ia merasa ”saat”-nya akan tiba. Ia lalu meminta dipanggilkan dua tokoh, yaitu Romo Sindhunata dan Gus Mus. Dari kedua beliau itu, Butet memohon upaya demi pemulihan kondisinya.
”Apa yang terjadi, Yamadipati gagal mencabut saya. Kucing kami yang tidak sakit…mati,” kata Butet. Ia menyebut nama Yamadipati, yang dalam cerita pewayangan adalah dewa pencabut nyawa.

Butet Kartaredjasa duduk di samping Gus Mus sebelum membacakan puisi karya Gus Mus dalam pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2023).
Inul
Kemultidimensian Gus Mus yang diungkapkan Butet dan Leak itu dapat menjelaskan, mengapa Suwarno selaku kurator sempat tidak percaya diri untuk menghadirkan sosok Gus Mus dalam pameran seni rupa.
Terjelaskan pula, mengapa kemudian kurator memberi tajuk ”Bentang Gus Mus”. Ikut menjadi jelas, mengapa Sosiawan terinspirasi memberi judul puisinya, ”Lanskap Gus Mus”. Ia ”tercerahkan” untuk menulis puisi setelah membaca judul pameran Lanskap Gus Mus dari undangan yang ia terima.
Di OHD Museum, pengunjung bisa mengapresiasi karya-karya yang bercorak kaligrafi, karya-karya nonfiguratif atau nonrepresentasional, dan karya-karya figuratif. Selain itu ditampilkan pula beberapa puisi Gus Mus, juga karya audio visual yang terkait dengan Gus Mus.
Ada satu sosok yang di atas kepalanya tampak tanda panah bertuliskan ’Aku’.
Lewat tajuk ”Lanskap Gus Mus”, pameran ini juga ingin melihat keluasan dan kedalaman Gus Mus dalam melihat kehidupan di sekitarnya. Salah satunya, lukisan berjudul ”Berdzikir Bersama Inul”.
Karya ini dibuat menyusul heboh penyanyi dangdut Inul pada 2003. Penampilannya mendatangkan pro-kontra dan polemik di media massa. Inul dimaki dan dihujat, tetapi ia juga digemari dan dipuja.
Pada masa itu, Inul seperti diadili oleh banyak orang, tanpa bisa membela diri. Pada karya ini tampak sosok melenggok dikelilingi sejumlah sosok. Ada satu sosok yang di atas kepalanya tampak tanda panah bertuliskan ”Aku”.

Lukisan Gus Mus, Berdzikir Bersama Inul" (2003), yang dilukis dengan cat akrilik di atas kanvas berukuran 45 cm x 65 cm.
Banyak kepala melihat karya ini dengan mata pandang yang berbeda-beda. Gus Mus melihat kehebohan seputar Inul dengan ke-waskita-an atau mata batin yang tajam. Meminjam istilah kurator, lukisan itu menjadi sarkastik sekaligus humoristik. Ada unsur permenungan juga. Karya Gus Mus ini dapat dipandang bukan sekadar apa yang tampak, tapi ada sesuatu yang bisa ditarik ke dalam.
Berbeda lagi dengan ”Sendiri”(1999) yang dibuat dari kelet atau residu di atas kertas ukuran 26 cm x 24 cm. Tampak sosok yang bisa diinterpretasikan sebagai perempuan, tampak samar hampir seperti siluet tetapi masih terlihat garis-garis. Ia seperti bayang-bayang tetapi tidak gelap pekat. Ada unsur, katakanlah, agak eksperimental.
Manusia merdeka
Atas kebebasan pilihan tema dan medium yang digunakan Gus Mus, kurator menyebut Gus Mus sebagai penjelajah. Gus Mus sendiri menyebut dirinya sebagai manusia merdeka. Pada teks di dinding, Gus Mus menegaskan, ”Saya adalah manusia yang paling bersyukur karena menjadi manusia merdeka.”
Dalam membuat lukisan, juga dalam menulis puisi atau karya apa pun, Gus Mus tidak terikat dengan isme-isme yang ada. Ia juga tidak mempedulikan pendapat para kritikus atas karyanya. ”Saya menulis semau gue. Kritikus mengatakan itu puisi silakan, mengatakan itu prosa silakan, tidak ya, tidak apa-apa. Tak peduli saya, saya nulis saja,” kata Gus Mus pada pembukaan pameran karyanya.
Apakah sikapnya itu bentuk keangkuhan? Rasanya tidak karena dari sikapnya yang selalu ingin belajar dari orang lain, Gus Mus adalah seorang yang rendah hati. Ia menganggap orang lain adalah guru yang ia serap sisi baiknya. Kepada pelukis Nasirun, Butet, Oei Hong Djien, Suwarno Wisetrotomo, ia belajar dan mengakuinya sebagai guru.
Dengan sikap itu, Gus Mus leluasa berkarya, entah dalam melukis atau menulis. Ia tidak terkekang untuk mengungkapkan apa pun lewat karya. Rasa merdeka Gus Mus itu lahir sejak masa kecil. Gus Mus diperkenalkan dengan kesenian oleh sang ibu. Dari Ibu, ia belajar nilai-nilai dalam seni. Sang Ibu menjadi representasi dari nilai-nilai luhur.

Lukisan ”Perisai II” (2022) karya Gus Mus yang dibuat dengan cat akrilik di atas kanvas berukuran 42 cm x 60 cm.
”Saya merdeka karena dalam keyakinan agama saya ada kunci yang selalu saya pegang di dalam apa saja termasuk dalam berkarya, yaitu tidak boleh mendikte saya kecuali Allah...,” kata Gus Mus.
Tersebab oleh keyakinan tersebut, Gus Mus tidak terikat oleh standar-standar, patokan-patokan, dan pakem-pakem yang seakan diwajibkan dalam kesenian. Teori komposisi, isme-isme, ia abaikan. Begitu juga pilihan hidupnya, entah itu di ranah politik atau apapun ia lakoni dengan keyakinannya. ”Kalau yang di sana tidak melarang, ya saya lakukan apa saja,” kata Gus Mus.
Dengan keyakinan yang sama, Gus Mus bisa memilih tetapi juga menolak apa yang tidak berkenan di nuraninya. ”Saya pernah menjadi politisi, menjadi kiai juga pernah, jadi apa saja pernah. Melukis Inul juga pernah, dimarahi kiai-kiai juga pernah. Asal yang di sana tidak memarahi saya....”
Pertemuan
Dari segala yang dibicarakan tentang Ahmad Mustofa Bisri tadi, bagi Alissa Wahid, Gus Mus adalah pertemuan. ”Gus Mus adalah pertemuan. Maka, pameran ini mempunyai berlipat-lipat makna,” kata Alissa.
Memang benar ucapan Alissa, pembukaan pameran itu sendiri sudah merupakan pertemuan dalam arti yang sebenarnya. Hadir para penikmat seni, seniman, dua rektor, yakni dari Universitas Islam Negeri (UIN ) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan UIN Walisongo, Semarang.
Hadir pula Romo Kirjito, sampai Kapolresta Magelang Ajun Komisaris Besar Yolanda Evalyn Sebayang, yang dengan suara merdu menyanyikan lagu berbahasa Jawa, ”Gethuk”.
Baca juga: Pesan Keteladanan Lewat Pameran Seni Rupa

Alissa Wahid (kiri) diminta Gus Mus (tengah) membuka pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, 11 Maret 2023. Pembukaan disaksikan Oei Hong Djien (kiri) yang juga pemilik OHD Museum.
Oei Hong Djien, pemilik OHD Museum, ikut turun main biola bersama orkes Wira Swara yang musisinya adalah para polisi. Sebuah keguyuban hangat antarmanusia yang bersahabat dan bermartabat.
Pameran juga menjadi pertemuan antara pengunjung dengan karya Gus Mus. Alissa menyebut karya Gus Mus, baik lukisan maupun tulisan-tulisannya, merupakan jalan ninja atau perjuangan Gus Mus. Ada keresahan yang tersalurkan dalam karya-karyanya.
Keresahan Gus Mus itu, misalnya, dinyanyikan Enchik Krisna lewat lagu ciptaannya. Lirik lagu diambil dari puisi ”Guru” karya Gus Mus. Puisi Gus Mus ini bisa diinterpretasikan sebagai sindiran sosial atas sikap-sikap dan cara orang menghargai guru.
Gus Mus menyampaikannya tanpa amarah atau gaya menggurui. Puisi ini menjadi sebuah ajakan untuk introspeksi pengetuk kesadaran Nurani. Boleh jadi, itulah yang dimaksud Alissa sebagai cara Gus Mus mendidik pembaca dan pendengarnya. ”Walaupun saya tidak tahu apakah beliau mempunyai niat mendidik. Namun, kita semua merasa terdidik,” kata Alissa.
Kita simak puisinya yang dinyanyikan Enchik secara memikat.
”Ketika aku kecil dan menjadi muridnya/
Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar/
Ketika aku besar dan menjadi pintar/
Ku lihat dia begitu kecil dan lugu/
Aku menghargainya dulu/
Karena tak tahu harga guru/
Ataukah kini aku tak tahu/
Menghargai guru?/...”
Keresahan, mungkin juga ”kejengkelan” juga tampak dalam puisi ”Kau ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”. Puisi ini memang tidak dibacakan dalam pembukaan pameran, tetapi sekelumit kalimatnya ”mengintip” di puisi Sosiawan Leak.
Kita kutip sepotong puisi dengan gaya satirik dan humoristik khas Gus Mus. ”Kau ini bagaimana/Kau suruh aku taqwa/Tapi khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa/...”. Pada bagian lain tertulis: ”Kau bilang kau suka damai/Kau ajak aku setiap hari bertikai/...”
Baca juga: Deep Purple, Laskar Metal yang Tersisa

Lukisan karya Achmad Zainurrahman Naqie Usamah (cucu Gus Mus) berjudul Tuhan Yang Satu yang turut dipamerkan dalam pameran Lanskap Gus Mus di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, mulai 11 Maret 2023.
Gus Mus sebagai pertemuan, juga dilihat Alissa dalam karya kaligrafi. Gus Mus menunjukkan bahwa agama membawa nilai-nilai dan itu bisa dimunculkan melalui seni. Yang kemudian ditangkap Alissa dalam karya Gus Mus adalah keindahan.
Ketika keindahan dan kehalusan tersebut muncul, Alissa sebagai psikolog mengatakan, nantinya yang dibuka dari para apresiator adalah kehalusan mereka sebagai manusia.
”Moga-moga melalui karya beliau, kita bisa mendapatkan inspirasi. Kita diingatkan bahwa di balik kehidupan yang matematis, kehidupan yang penuh dengan logika, kehidupan yang penuh dengan kompetisi ini, ada sisi kemanusiaan, sisi spiritualitas,” kata Alissa.
Ia melanjutkan, sisi kemanusiaan dan sisi spiritualitas harus diberi makan dan dihidupkan kalau kita ingin maju sebagai bangsa.
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019