Melanjutkan pembahasan mengenai ”reparenting” pada dua pekan lalu, kali ini disampaikan langkah demi langkah melakukan ”self reparenting” (perbaikan pengasuhan oleh diri sendiri).
Oleh
AGUSTINE DWIPUTRI
·5 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Keluarga beristirahat di salah satu kamar di Rumah Susun Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/3/2023).
Dalam dunia psikologi, reparenting sering merujuk pada salah satu jenis psikoterapi yang dilakukan terapis. Namun, yang akan dibahas saat ini ialah bentuk reparenting yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan diri masa kecil yang tidak pernah kita dapatkan. Ini berarti memberikan diri sendiri sebagai orang dewasa, hal yang tidak diperoleh dari orangtua saat kita masih anak-anak.
Belajar menjadi orangtua bagi diri sendiri memungkinkan kita menyembuhkan pola asuh buruk yang mungkin pernah diterima di masa lalu, membantu menghindari keputusasaan. Berfokus untuk memahami diri dan pola perilaku kita, berlatih menerimanya dan dengan lembut mengubah pola-pola ini sampai membaik.
Self-reparenting dikembangkan di awal 1970-an oleh Muriel James, seorang terapis, yang menekankan bagian-bagian positif dari keadaan ego utama yang sudah ada pada diri seseorang.
"Self-reparenting"
Sharon Martin (2019), psikoterapis, mengatakan, kita dapat mulai mengasuh kembali diri sendiri dengan mengidentifikasi apa yang kita butuhkan. Apa yang tidak dipelajari di masa kecil? Manakah dari kebutuhan emosional kita yang belum terpenuhi? Terkadang jawaban atas pertanyaan ini jelas, tetapi acap kali kita tidak tahu apa-apa. Selain itu, cukup wajar untuk mengungkap kekurangan tambahan saat kita mulai memperbaiki diri dan justru belajar lebih banyak tentang kesehatan emosional dan relasional.
Berikut saya rangkumkan beberapa langkah, cara, dan hal yang perlu diperhatikan untuk melakukannya (Hopefulpanda.com diakses pada 14 Februari 2023, Jodi Clarke (2022), Maggie Holland (2023)).
Pelajari hal-hal yang terlewatkan sebagai anak dan bagaimana pengaruhnya saat ini.
Kebutuhan apa saja yang kita lewatkan sebagai seorang anak: fisik, emosional, sosial, atau psikologis? Pengalaman masa kecil akan menentukan citra diri dan persepsi kita. Hal tersebut memengaruhi harga diri, kepercayaan diri, dan membentuk cara kita memandang diri sendiri, relasi sosial, dan dunia.
Kita juga harus merasa bangga pada diri sendiri karena berusaha menjadi lebih baik.
Bagaimana kita mengelola emosi dan situasi sulit kemungkinan besar merupakan hasil dari cara kita diasuh. Apakah kita cenderung menyalahkan orang lain, diri sendiri, menekan/menyimpannya saja atau bertingkah laku lainnya? Semua reaksi ini adalah cara kita belajar menenangkan diri saat tumbuh dewasa. Namun, perlu disadari bahwa cara ini belum tentu sehat dan efektif.
Berbelas kasih pada diri sendiri
Aspek terpenting dari self-reparenting adalah melatih welas asih. Kita tak dapat memilih orangtua kita. Dalam proses ini, kita mungkin merasakan kebencian terhadap orangtua atau lainnya, atau bahkan perasaan bersalah dan malu. Mempertahankan rasa welas asih bisa menjadi kunci dalam kesediaan untuk meninggalkan yang lama dan menemukan yang baru. Karena itu, fokuslah untuk bersikap lembut pada diri sendiri saat kita mencoba mengubah apa yang tidak dapat kita kendalikan sebagai seorang anak
Hormati perasaan kita
Mengidentifikasi, memvalidasi, dan memenuhi kebutuhan emosional kita adalah salah satu bagian tersulit dalam reparenting. Orang sering diberikan bahasa emosional yang terbatas sebagai anak-anak, dan diajarkan untuk mengategorikan emosi sebagai ”baik” atau ”buruk” (atau beberapa variasi). Namun, kita perlu terus mengingatkan diri bahwa semua emosi itu dibutuhkan, terlepas dari bagaimana perasaan kita terhadapnya. Emosi akan muncul, yang penting ialah bagaimana kita menanggapi dan mengelolanya.
AGUS SUSANTO
Seorang memboncengkan anak saat sepedaan di hari libur akhir pekan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, awal Oktober 2020.
Misalnya, pengalaman dilecehkan menyebabkan trauma. Dengan kondisi tersebut kita seperti membeku dalam waktu. Karena mengalaminya ketika masih kecil, sebagian diri kita masih tertahan di masa itu. Untuk benar-benar menyembuhkan berarti perlu terhubung dengan anak batin kita. Akui diri semasa kecil dan beri tahu bahwa kita memang ada di sana. Perbaiki diri dengan memperlakukan diri sendiri penuh cinta, kebaikan, dan rasa hormat yang pantas kita dapatkan.
Pelajari apa yang orangtua kita tidak bisa ajarkan.
Terkadang, orangtua tidak dapat memberikan kebutuhan emosional anak. Mereka juga mungkin tidak mempersiapkan kita dengan keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup di dunia luar. Ini mungkin mengakibatkan kekurangan keterampilan sosial dan emosional penting yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan yang sehat dan memuaskan.
Beberapa keterampilan tersebut, antara lain, berkomunikasi, mengelola emosi, menoleransi frustrasi, mengembangkan ketangguhan, dan menyayangi diri.
Penuhi kebutuhan yang tak diberikan orangtua.
Penting untuk belajar mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan kita dengan tidak meminimalkan atau menjauhkannya dari diri. Kita telah mengalami masa sulit sehingga perlu untuk bersimpati dengan diri sendiri dan merasa tidak enak. Tetapi, kita juga harus merasa bangga pada diri sendiri karena berusaha menjadi lebih baik.
Kita perlu bersikap baik kepada diri sendiri. Biarkan diri kita pulih secara aktif, bahkan jika ada kekambuhan atau kemunduran, karena pemulihan adalah proses bolak-balik. Berhentilah meninggalkan, mengintimidasi, menyabotase, dan menyalahgunakan diri sendiri.
Fokus pada perawatan diri dan pertahankan kesabaran
Penting untuk memastikan bahwa kita secara konsisten berfokus untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional kita sendiri. Perawatan diri dapat mengambil banyak bentuk, termasuk menetapkan batasan, melepaskan diri dari hubungan beracun, meluangkan waktu untuk diri sendiri, memenuhi kebutuhan fisik, dan jika perlu berkonsultasi pada ahlinya.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Perempuan warga Desa Keseneng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, tengah beraktivitas, Sabtu (25/2/2023).
Perlu diingat bahwa perbaikan diri adalah sebuah proses. Saat menjalaninya, kita mungkin menemukan pengalaman yang menyulitkan atau menyakitkan yang muncul yang memengaruhi narasi atau pola lama dalam perilaku kita. Tetaplah bertahan dan terus mencoba meskipun pola lama sulit dipatahkan.
Izinkan diri kita untuk tetap konsisten dengan prosesnya dan ingatkan diri tentang cara kita tumbuh dan berkembang serta upaya yang sedang dilakukan. Melakukan kegiatan ini membutuhkan keberanian dan mungkin membantu untuk mengingatkan diri sendiri tentang betapa beraninya kita untuk terus menjadi seorang yang positif.
Menjadi diri sendiri
Kemungkinan, banyak dari siapa kita sekarang mencerminkan siapa yang diinginkan orangtua kita yang sifatnya tidak baik. Bisa pemarah, suka memaksa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya.
Kita perlu mencoba untuk memisahkan diri dari orangtua dengan tidak membiarkan pengalaman dan masa lalu menentukan siapa kita, jadi belajar menjadi diri sendiri. Orangtua yang positif memastikan anak-anaknya mampu menjadi diri sendiri. Jadi cobalah untuk menumbuhkan individualitas dalam diri sebagai orangtua yang seharusnya lakukan kepada anaknya.
Salam.
ARSIP PRIBADI
Agustine Dwiputri
Agustine Dwiputri, Psikolog; Dosen PTT di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia