Larangan bagi pejabat untuk pamer harta sesungguhnya belum menukik kepada akar permasalahan. Hal yang lebih krusial sesungguhnya adalah bagaimana pemerintah menerapkan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Oleh
MUHAMMAD EDY SUSILO
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Setelah tahun lalu masyarakat disuguhi oleh perilaku flexing para crazy rich, kini ramai dibicarakan mengenai pejabat yang pamer harta. Pada dasarnya, dua hal tersebut sama saja. Flex sendiri adalah istilah slank dalam bahasa Inggris yang berarti pamer, baik itu fisik, barang-barang, maupun hal lain yang dianggap lebih unggul dari pada orang lain.
Berbicara mengenai pamer, banyak orang yang melakukannya di media sosial. Pamer wajah glowing setelah memakai skincare, pamer makan di restoran sembari mukbang, pamer kemesraan dengan pasangan, dan sederet pamer lain yang mungkin tak ada habisnya.
Media sosial mengakomodasi semua hasrat manusia untuk pamer. Jika wajah kurang berseri, ada filter yang bisa mengatasi. Apabila pada foto liburan langit terlihat kurang biru, ada pengaturan saturasi yang bisa membantu.
Di media sosial, adakah wanita yang tidak cantik? Adakah foto liburan yang tidak estetik? Adakah foto makanan yang tak artistik? Media sosial menjelma menjadi panggung di mana tiap orang berlakon. Ia memilih sendiri citra seperti apa yang ingin ditampilkan.
Kenyataan ini seperti menghadirkan kembali pemikiran filsuf Perancis, Guy Debord, lebih dari 50 tahun lalu. Ia memang hidup sebelum zaman media sosial, tetapi pemikirannya telah melampaui zaman.
Menurut Debord, saat ini kita berada di dunia di mana segala sesuatu dipertontonkan. Ia menyebutnya sebagai the era of the society of spectacle. Tontonan adalah segalanya. Di media sosial kita harus menonton dan siap ditonton (to see and to be seen).
Debord menelusuri perkembangan masyarakat modern di mana kehidupan sosial yang autentik telah digantikan oleh representasi. Semua yang tadinya dihayati secara langsung kini menjadi representasi saja. Menurut dia, sejarah kehidupan sosial mengalami kemerosotan ”dari menjadi (being) ke memiliki (having), dan memiliki menjadi sekadar mempertontonkan (appearing)”.
Tontonan adalah gambaran terbalik dari masyarakat di mana hubungan antarkomoditas telah menggantikan hubungan antarmanusia. Identifikasi pasif dengan tontonan telah menggantikan aktivitas yang sesungguhnya. Tontonan bukanlah kumpulan gambar, tetapi sebuah relasi sosial di antara manusia, yang dimediasi oleh gambar.
Dengan memamerkan sesuatu, seseorang berusaha untuk merepresentasikan dirinya sekaligus membangun citra yang diinginkan. Crazy rich adalah sebuah pilihan citra karena ia akan menempatkan pelaku pada strata paling tinggi dari piramida sosial. Apalagi, dalam masyarakat yang masih gumunan, menjadi kaya akan menghasilkan sanjungan dan puja puji serta melahirkan banyak privilese.
Presiden Jokowi beberapa kali menyentil para pejabat yang gemar pamer harta dan memajangnya di media sosial. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menunjukkan reaksi yang sama.
Dilarang pamer harta?
Presiden Jokowi beberapa kali menyentil para pejabat yang gemar pamer harta dan memajangnya di media sosial. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menunjukkan reaksi yang sama. Apalagi, dalam kasus terakhir, anak buahnya di Direktorat Jendral Pajak yang tersandung kasus itu.
Pamer harta pejabat bisa memicu kecemburuan dan kemarahan sosial. Bahkan, di masyarakat sempat muncul ajakan untuk berhenti membayar pajak jika kasus di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak diselesaikan. Seruan ini mengingatkan kepada sindiran keras yang ditujukan kepada polisi beberapa waktu lalu dengan tagar populer #percumalaporpolisi.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Wartawan meliput konferensi pers terkait kasus harta kekayaan bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, dan pejabat eselon III Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Eko Darmanto, di Kementerian Keuangan, Rabu (1/3/2023). Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan, Kementerian Keuangan menolak pengunduran diri Rafael Alun Trisambodo sebagai aparatur sipil negara dan akan segera mencopot Eko Darmanto dari jabatannya.
Menyalahkan ”pamer harta” sesungguhnya belum menukik kepada akar permasalahan dan berpotensi mengalami sesat pikir. Pokok permasalahannya adalah pada bagaimana pemerintah menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), yakni seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam menjalankan fungsi melalui institusi yang dimilikinya.
Untuk itu, pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien dan didukung sistem pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Hal inilah yang tampaknya belum tertangani oleh pemerintah.
Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien dan didukung sistem pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang menjadi buah bibir karena tindakan brutal anaknya diketahui telah melakukan transaksi janggal senilai Rp 500 miliar melalui 40 rekening yang kemudian diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada kesempatan berikutnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa ada pergerakan uang mencurigakan di Kemenkeu sebanyak Rp 300 triliun.
Seolah mengantisipasi ketidakpercayaan publik terhadap bilangan tersebut, Mahfud menyatakan bahwa angka itu bukanlah hoaks. Namun, Menkeu mempertanyakan dari mana munculnya angka yang disebutkan.
PPATK kembali menambahkan informasi mengenai adanya 69 pegawai Kemenkeu yang diduga melakukan pencucian uang. Jumlah uang yang dimiliki oknum pegawai Kemenkeu itu bernilai fantastis. Mirisnya, laporan itu sudah disampaikan kepada Menkeu pada 2019. Apa tindak lanjut kementerian merespons masukan itu setelah empat tahun?
Jadi, akar permasalahan sesungguhnya bukanlah kepada pamer harta pejabat, melainkan pada penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, pencurian, penipuan, dan sebagainya. Saat ini, usia pemerintah Jokowi ini sudah tinggal beberapa bulan lagi sehingga semestinya momentum ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat akan sangat memberikan dukungan karena mereka melihat koruptor sebagai common enemy.
Pemerintah sebaiknya tak hanya menegur pejabat untuk tidak pamer harta. Sebab, jika para pejabat korup berhenti pamer harta dan mulai pamer kesederhanaan serta kesalehan, apakah persoalan menjadi selesai?