Menanamkan epistemologi rasionalitas-nilai guna menggantikan rasionalitas-tujuan jadi salah satu upaya memutus mata rantai kekerasan di masyarakat. Caranya, melalui pendidikan filsafat kritis, termasuk etika, sejak dini.
Oleh
SATRIO WAHONO
·3 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Negeri kita sedang tidak baik-baik saja! Itulah yang tebersit di benak banyak warga ketika melihat seorang pemuda MDS menganiaya secara sadis anak di bawah umur, CDO, hingga koma hanya karena urusan asmara. Sebelumnya, seorang anak muda lain, GR, viral karena dengan beringas menabrakkan mobilnya ke sebuah taksi daring dan bahkan melakukan aksi ancaman dengan senjata. Dua kasus ini saja seakan menjadi miniatur betapa kekerasan kerap terjadi di Indonesia tanpa sang pelaku merasa takut akan konsekuensi tindakannya.
Alhasil, kekerasan menjadi sesuatu yang banal, jika meminjam filsafat Hannah Arendt. Sebab, para pelaku aksi kekerasan seolah sudah mati rasa dan tak mampu lagi membedakan antara yang benar dan yang salah sehingga ia menganggap kekerasan sebagai hal biasa. Menurut Rieke Diah Pitaloka dalam tesis magister filsafatnya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Banalitas Kejahatan, 2004), inilah buah dari masyarakat pragmatis yang cenderung enggan memikul tanggung jawab sebagai warga negara.
Pragmatisme adalah sejenis aliran etika yang mengajarkan bahwa semua kebenaran bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis dan bermanfaat (Juhaya S Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Rajawali, 2003). Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa etika pragmatisme di Indonesia telah menjadi sebangun dengan etika banalitas kekerasan. Adapun etika banalitas kekerasan ini bisa dirunut akarnya pada suatu epistemologi kekerasan bernama epistemologi rasionalitas-tujuan.
Rasionalitas-tujuan
Menurut Ignas Kleden (Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, 1987), rasionalitas-tujuan (Zweckrationalitaet) adalah istilah temuan Max Weber untuk merujuk bentuk rasionalitas di mana tindakan seseorang akan berorientasikan kepada tujuan tindakan tersebut. Yang khas pada rasionalitas-tujuan adalah bahwa pedoman normatif dan ikatan afektif (perasaan, emosi) tidak diutamakan. Hal terpenting adalah tercapainya tujuan yang diinginkan berupa manfaat yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecil-kecilnya.
Jadi, suatu tindakan secara epistemologis disebut rasional apabila dalam mencapai tujuannya, seseorang bisa menggunakan cara yang menekan biaya serendah-rendahnya. Maka, tipe ideal bagi rasionalitas sejenis ini adalah gambaran akan manusia ekonomi atau homo economicus. Ini berbeda dari rasionalitas-nilai (Wertrationalitaet) yang menjadikan nilai-nilai atau norma-norma sebagai tolok ukur untuk membenarkan atau tidak membenarkan penggunaan suatu cara tertentu.
Yang khas pada rasionalitas-tujuan adalah bahwa pedoman normatif dan ikatan afektif (perasaan, emosi) tidak diutamakan. Hal terpenting adalah tercapainya tujuan yang diinginkan.
Di era saat ini, manusia ekonomi yang menggejala di Indonesia seiring era reformasi ekonomi pasca-krisis moneter 1997 dan kedatangan IMF (Dana Moneter Internasional) dalam proses pemulihan ekonomi adalah manusia neoliberal. Sebab, Cyrillus Harinowo dalam IMF (Gramedia, 2004) menjelaskan bahwa latar belakang dibentuknya IMF adalah untuk memuluskan liberalisasi perdagangan. Dalam perjalanan sejarah, liberalisasi ini kemudian berevolusi lebih jauh menjadi neoliberalisme.
Menurut B Herry Priyono dalam Manusia Ekonomi (Penerbit Buku Kompas, 2022), ada lima ciri sekaligus asumsi etika manusia ekonomi neoliberal. Pertama, perilaku manusia ekonomi digerakkan oleh kepentingan diri semata. Kedua, manusia ekonomi bersifat egois (self-centeredness) yang hanya fokus kepada konsekuensi tindakan bagi dirinya sendiri.
Ketiga, manusia neoliberal menjadikan kalkulasi rasional sebagai perangkat utama untuk memenuhi hasratnya. Tidak ada ruang bagi simpati atau sentimen emosional. Keempat, manusia ekonomi memiliki hasrat menggebu akan harga dan kegunaan material. Kelima, adanya penyebarluasan pola pikir ekonomi ke bidang lain, seperti hukum, politik, dan sebagainya.
Melihat kelima ciri etika manusia ekonomi neoliberal yang berasal dari epistemologi rasionalitas-tujuan di atas, kita bisa melihat dampak buruknya. Dua dampak paling utama adalah minimnya rasa empati terhadap sesama dan adanya totalitas pola pikir ekonomi ke segala bidang. Harkat manusia yang sejatinya multidimensional justru diciutkan menjadi unidimensional alias satu dimensi, yaitu ekonomi-material semata. Inilah yang disebut filsuf Herbert Marcuse sebagai tragedi One Dimensional Man (Beacon Press, 1964).
Manusia dinilai semata karena status finansial-ekonominya atau barang yang dimilikinya. Segala sesuatu dianggap punya harga yang bisa dibeli dengan uang, termasuk gengsi, hukum, keadilan, martabat, kedudukan sosial, dan sebagainya. Refleksi hal ini bisa terlihat dari arogansi individu untuk merasa berkedudukan di atas hukum seperti tersirat dalam pernyataan tersangka MDS dalam video viral yang tersebar luas, yakni bahwa dia tidak takut terhadap aparat dan konsekuensi hukum dari tindakannya.
Artinya, manusia neoliberal yang mengadopsi etika pragmatisme dan epistemologi rasionalitas-tujuan menjadi terdehumanisasi dan jauh dari panduan moralitas (nirmoral). Mereka hanya sibuk mengejar materi dunia dan segala simbol yang menyertainya tanpa peduli dengan nasib sesama.
Ketika materi sudah didapat, mereka pun tanpa ragu dan tanpa empati memamerkan harta benda mereka untuk meneguhkan status, eksistensi, dan identitas sosial mereka di depan masyarakat. Dan, ini dilakukan tanpa malu dan memikirkan apakah harta mereka didapatkan secara halal serta sesuai profil pekerjaan mereka. Persis seperti epistemologi rasionalitas-tujuan yang bercokol di pola pikir mereka.
Kemudian, kesibukan manusia akan materi membuat persepsi atau horizon waktu mereka menyempit dalam arti mereka ”kerasan” hidup di dunia ini dan di saat ini karena kenikmatan jasmani yang mereka reguk. Akibatnya, mereka abai terhadap adanya dunia akhirat ”nanti” sehingga melupakan pula norma-norma moral yang berasal dari keyakinan luhur agama. Terjadilah kemudian tindakan-tindakan seperti aksi kekerasan nekat yang tidak mengindahkan aturan-aturan etika dan moral yang lazim di masyarakat.
Maka itu, sudah saatnya kita semua mulai berikhtiar memutus salah satu mata rantai aksi kekerasan, yaitu dengan menanamkan epistemologi rasionalitas-nilai guna menggantikan rasionalitas-tujuan. Sebab, rasionalitas-tujuan terbukti hanya melahirkan etika pragmatisme-neoliberal beserta banalitas kekerasan terhadap sesama, yang justru membuat manusia kehilangan esensi kemanusiaannya.
Penanaman itu bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan filsafat kritis—termasuk etika—sejak dini kepada para anak bangsa. Kanalnya bisa melalui mata pelajaran di pendidikan formal, diseminasi konten di berbagai media (buku, televisi, radio, media sosial, dan sebagainya), keteladanan dari para tokoh, dan beraneka cara lainnya. Harapannya, itu lambat laun akan bisa memulihkan reputasi bangsa ini menjadi lebih bermartabat. Semoga.