Perusahaan ”holding” dari Silvergate Bank memutuskan untuk menutup operasional dan melikuidasi secara sukarela Silvergate Bank. Otoritas keuangan Indonesia perlu terus memantau potensi risiko bisnis aset kripto tersebut.
Oleh
ARDHIENUS
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Aset kripto kembali menelan korban. Kali ini yang terkena sebuah institusi keuangan yang berperan strategis dalam perekonomian, yakni Silvergate Bank (SB). Pada 8 Maret 2023, Silvergate Capital Corporation (SCC), perusahaan holding dari Silvergate Bank, memutuskan untuk menutup operasional dan melikuidasi secara sukarela Silvergate Bank.
Keputusan pahit ini diambil SCC setelah nasabah SB menarik dana secara masif (bank run) selama triwulan IV-2022 hingga lebih dari 8 miliar dollar AS. Untuk memenuhi penarikan dana itu, SB terpaksa menjual surat-surat berharga yang dimiliki dengan harga diskon.
Imbasnya, bank yang berbasis di California, AS, dan mulai masuk di aset kripto pada 2013 itu harus menderita kerugian sangat besar, mencapai 1,05 miliar dollar AS. Pada kuartal III-2022, SB masih memperoleh laba 40,6 juta dollar AS.
Bank run sendiri memang telah menjadi ancaman yang paling menakutkan bagi sebuah bank. Karena hampir pasti merontokkan bank. Tak hanya menimpa bank yang sakit, tetapi juga bank sehat sekalipun.
Apa kaitan aset kripto dengan keruntuhan SB? Berbeda dengan praktik bank umumnya, SB menerima dana pihak ketiga (DPK) dari pemegang aset kripto, terutama bursa kripto dan investor institusi. Tak heran, SB dianggap sebagai bank yang ramah dengan aset kripto.
Apa kaitan aset kripto dengan keruntuhan SB?
Menariknya, SB tak memberikan bunga atas simpanan itu. Untuk merangsang pemegang aset kripto menempatkan dananya, SB mengoperasionalkan sebuah layanan berbentuk platform perdagangan kripto, Silvergate Exchange Network (SEN). SEN ini berfungsi sebagai jaringan pembayaran bagi perusahaan kripto untuk menukar mata uang fiat (dollar AS dan euro) satu sama lain dan beroperasi sepanjang waktu.
SEN mengungguli sistem pembayaran eksisting yang butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan transaksi aset kripto. Alhasil, bisnis SEN mampu menangani transfer 117,1 miliar dollar AS selama triwulan IV-2022, meningkat 4 persen dari triwulan III-2022.
Pada sisi aset, dana dari nasabah itu ditempatkan mayoritas dalam bentuk surat berharga dan penempatan pada bank lain. Hanya sedikit alokasi dalam bentuk kredit. Dengan struktur neraca seperti itu, operasional SB memberikan keuntungan yang cukup besar. Pasalnya, beban bunga yang harus ditanggung SB cukup rendah karena deposito dari pemegang aset kripto tak dikenai bunga.
Model bisnis seperti itu menunjukkan adanya perkawinan antara industri kripto dan perbankan tradisional. Keterlibatan perbankan dalam aset kripto inilah yang menjadi perhatian serius otoritas keuangan dunia seperti IMF dan banyak bank sentral, karena dikhawatirkan menjadi pemicu krisis keuangan dunia model baru.
Adanya gejolak aset kripto, terutama di triwulan IV-2022, antara lain akibat imbas kenaikan suku bunga The Fed dan kejatuhan bursa kripto terbesar di dunia (FTX) pada November 2022, telah memicu krisis kepercayaan di seluruh ekosistem aset digital dan mendorong banyak pelaku industri beralih ke posisi risk off di seluruh platform perdagangan aset digital.
Kondisi ini kemudian merambat pada nasabah SB sehingga terjadi arus keluar deposito yang signifikan di triwulan tersebut. Untuk itu, SB mengambil beberapa tindakan untuk menjaga likuiditasnya. Diawali menggunakan pendanaan wholesale dari Federal Home Loan Bank of San Francisco sebesar 4,3 miliar dollar AS, tetapi karena tak bisa diperpanjang, SB terpaksa menjual surat berharga yang dimiliki senilai 5,2 miliar dollar AS untuk memenuhi penarikan dana nasabah sekaligus mempertahankan likuditasnya.
Kebutuhan dana dalam jumlah besar dan mendesak membuat SB harus segera menjual surat-surat berharga dengan harga rugi (fire sales) di tengah kondisi pasar surat utang yang sedang redup, akibat pengetatan kebijakan moneter The Fed. Awal Maret 2023, platform SEN juga kehilangan pemain bisnis di industri aset digital seperti Coinbase Global Inc, Galaxy Digital Holdings Ltd, dan Paxos Trust Co, sehingga operasional SEN terhenti. Ini menambah suram masa depan SB.
Sebuah pelajaran
Apa yang dialami SB sejatinya bukan hal baru. Peristiwa ini buah dari pelanggaran prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko yang kurang memadai. Pertama, manajemen bank terlalu bergantung pada simpanan jangka pendek dan menempatkannya dalam bentuk aset yang berdurasi lebih lama. Ada ketidaksesuaian jangka waktu (maturity mismatch) antara sisi kewajiban dan aset.
Kedua, simpanan pihak ketiga mayoritas terutama berasal dari bursa kripto dan investor kripto institusi. Pada triwulan III-2022, jumlah deposan SB mencapai 1.677 dengan total nilai simpanan 11,87 miliar dollar AS. Triwulan IV-2022, jumlah deposan mencapai 1.620 dengan total nilai simpanan 3,83 miliar dollar AS. Artinya, jumlah deposan yang menarik dananya hanya 57 deposan dengan nilai simpanan 8,04 miliar dollar AS.
Meski tampak menguntungkan karena tak dikenai bunga, nilai aset kripto sangat bergejolak sehingga rentan terhadap penarikan jika pasar aset kripto terguncang. Terlebih aset digital ini tak memiliki aset yang mendasarinya dengan nilai yang hanya ditentukan oleh kekuatan antara permintaan dan penawaran. Satu hal yang sedikit menenangkan terkait risiko menyebarnya yang dinilai minimal, SB akan membayar seluruh dana nasabahnya.
Kendati begitu, kejadian ini tetap perlu diwaspadai otoritas keuangan dunia. Pasalnya, ada bank yang juga melayani industri aset kripto terbesar, yaitu Signature Bank yang memiliki aset 110,36 miliar dollar AS pada 2022, atau 10 kali lipat SB.
Otoritas keuangan Indonesia juga perlu terus memantau potensi risiko ini. Untuk mencegah kejadian serupa, perlu regulasi ketat bisnis aset kripto dan kaitannya dengan perbankan.
Ardhienus,Deputi Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia
ARSIP PRIBADI
Ardhienus, Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan