Perlu komitmen dan ikhtiar bersama membenahi mutu demokrasi kita yang tertawan dalam kemandekan. Apabila situasi ini tak hendak dibenahi, tak menutup kemungkinan kualitas demokrasi kita tersungkur pada titik terparahnya.
Oleh
JOKO ARIZAL
·4 menit baca
Baru-baru ini, The Economist Intelligent Unit atau EUI, divisi riset dan analisis majalah tersohor di Inggris, The Economist, merilis laporan Indeks Demokrasi tahun 2022. Dalam laporan itu, kondisi demokrasi global secara umum tak memberikan perbaikan yang terlalu berarti meskipun beberapa negara sedikit menunjukkan tren kenaikan.
Menurut EUI, kurang setengah atau tepatnya 45,3 persen masyarakat dunia bermukim di negara yang beriklim demokratis. Persentase itu tak begitu jauh berkurang apabila kita menengok pada tahun sebelumnya, yaitu 45,7 persen.
Pun pada sisi skor rata-rata, indeks demokrasi global tidak mengalami perubahan yang signifikan, dari 5,28 pada 2021 ke 5,29 di 2022. Sementara dari sisi tren demokrasi, dari 167 negara yang diukur, terdapat 92 negara yang mengalami stagnasi dan regresi, serta 75 negara menampakkan tren kenaikan.
Dari 167 negara tersebut, bagaimana kondisi demokrasi Indonesia? Sealun dan seirama dengan kondisi demokrasi global, Indonesia juga diterpa kelesuan demokrasi. Dalam laporan EUI itu, posisi Indonesia sama sekali tak bergeser dari skor tahun 2021, yaitu 6,71, meskipun peringkatnya sedikit menurun dari ke-52 (2021) dan ke-54 (2022) dengan status demokrasi cacat (flawed democracy).
Dibandingkan dengan tahun 2020, indeks demokrasi Indonesia saat itu berada pada skor 6,30 dan peringkat ke-64. Skor tahun 2020 itu merupakan skor terendah dan terburuk sepanjang The Economist, sejak 2006, mengukur indeks demokrasi negara-negara dunia.
Sementara skor terkini, Indonesia berada pada posisi tertinggi selama enam tahun terakhir. Akan tetapi, meski tertinggi, kita hendaknya tak lekas-lekas bersorak riang. Sebab, skor yang berubah ini tak serta-merta mengindikasikan kualitas demokrasi yang terbaik.
Agaknya kita patut meneroka skor demokrasi kita secara detail. Tujuannya ialah untuk memastikan pada aspek apa mutu demokrasi kita begitu sulit diperbaiki. Melihat laporan EUI, memang tak bisa dimungkiri bahwa skor demokrasi Indonesia tampak agak timpang.
Hal ini bisa dipantau pada skor masing-masing aspek dalam mengukur demokrasi, yakni proses elektoral dan pluralisme sebesar 7,92, keberfungsian pemerintahan sebesar 7,86, partisipasi politik sebesar 7,22, budaya politik dengan skor 4,38, dan kebebasan sipil sebesar 6,18 dengan skala 0-10. Sedihnya, semua angka-angka ini persis sama dengan angka tahun 2021. Itu artinya tak ada sama sekali perubahan dalam perbaikan mutu demokrasi kita.
Dari lima aspek tersebut, dua aspek terakhir, budaya politik dan kebebasan sipil, secara mencolok dan konsisten memosisikan Indonesia dalam stagnasi dan mungkin juga regresi demokrasi. Pada 2020, dua aspek ini juga sangat rendah dibandingkan dengan aspek lainnya, yaitu masing-masing 4,38 dan 5,59. Perlu ditegaskan, meski dua aspek ini menonjol, bukan berarti tiga aspek lainnya tidak menyumbang kemandekan demokrasi.
Tampaknya, aspek kebebasan sipil dan budaya politik selalu rendah dari waktu ke waktu. Dua aspek ini juga sangat signifikan menghambat perbaikan mutu demokrasi kita.
Rendahnya skor budaya politik dan kebebasan sipil ini terkonfirmasi pula dengan laporan Freedom House, salah satu think tank di Amerika Serikat yang mengukur status kebebasan global. Status Indonesia belum mampu beranjak dari setengah bebas (partly free), bahkan kian merosot dari tahun ke tahun. Hanya saja, pada 2022, sebagaimana indeks demokrasi dari laporan EUI, kondisi kebebasan kita juga tak jauh berbeda dari tahun 2021, yaitu berada pada skor 59, dengan skala 0-100. Skor ini lebih rendah dari skor beberapa tahun sebelumnya, yaitu 61 (2020), 62 (2019), 64 (2018), dan 65 (2017).
Dari laporan EUI dan Freedom House ini, aspek kebebasan sipil dan budaya politik tampaknya selalu rendah dari waktu ke waktu. Dua aspek ini juga sangat signifikan menghambat perbaikan mutu demokrasi kita. Karena itu, dua hal ini mesti mendapatkan perhatian tersendiri.
Kebebasan sipil yang terancam
Setidaknya terdapat dua sumber ancaman kebebasan sipil, yaitu ancaman vertikal dari pemerintah dan ancaman horizontal dari warga sipil. Ancaman vertikal ini terpotret pada sikap represif dan despotik terhadap kelompok warga dan aktivis yang berseberangan dengan program pemerintah.
Warga sipil kerap menjadi korban kekerasan aparat negara, seperti kasus Desa Wadas, Purworejo. Lebih-lebih di era digital ini, para pengkritik kerap mendapat serangan siber, seperti peretasan alat komunikasi, ancaman, dan penangkapan.
Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—yang tak kunjung rampung direvisi—juga cenderung digunakan secara serampangan untuk membungkam suara-suara lantang yang menggugat kekuasaan. Di samping itu, merujuk kepada laporan terbaru mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan dari Setara Institute, sepanjang 2022 dari 333 tindakan pelanggaran, 168 di antaranya dilakukan oleh aktor negara, yaitu pemerintah daerah, polisi, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Sementara dari sisi horizontal, ancaman ini mengejawantah pada pola laku diskriminatif dan menabur virus kebencian, baik secara konvensional maupun digital, antarsesama warga, lebih-lebih saat pilkada dan pilpres. Bahkan, pada titik terparah, sikap itu bermuara pada tindakan kekerasan yang memungkinkan lenyapnya nyawa seseorang.
Jika dicermati, problem keagamaan bisa dikatakan cukup dominan di sini. Hal ini terpantau pada laporan Setara Institute yang menunjukkan 165 pelanggaran dilakukan aktor non-negara dalam bentuk gangguan rumah ibadah, penolakan ceramah, dan penodaan agama, seperti penolakan pendirian gereja di Cilegon, ustaz dihadang untuk ceramah, pembakaran pesantren di Lombok, dan lainnya. Tak jauh berbeda dengan pemerintah, di level masyarakat sipil ini pun UU ITE juga dipakai untuk menjerat antar-individu/kelompok satu dengan lainnya.
Kondisi tersebut dapat kita tangkap sebagai simtom dari persoalan yang jauh lebih mengakar di masyarakat. Akar persoalan itu bertolak dari ekonomi yang timpang atau ketidakadilan, rendahnya rekognisi sosial atas pluralitas masyarakat dan tiadanya representasi kelompok di ranah politik dan ekonomi. Dengan demikian, akar persoalan ini memantul dalam sikap-sikap warga yang jauh dari nilai demokrasi.
Potret runyam ini di saat bersamaan menegaskan betapa suramnya kondisi kebebasan sipil dan budaya politik kita. Interaksi dan ekspresi warga nyaris tiada lagi berpijak pada dimensi etika yang mengedepankan kebebasan dan kesetaraan.
Alhasil antarwarga yang berbeda memandang satu sama lain secara eliminatif. Dengan kata lain, yang berbeda dianggap sebagai musuh yang mesti ditundukkan, bahkan dilenyapkan. Demikian juga pada sisi pemerintah, pelanggengan kekuasaan melalui sikap represif dan despotik terhadap warga hanya akan memupuk perlawanan yang tiada berkesudahan.
Kesuraman kondisi ini menuntut adanya komitmen dan ikhtiar bersama membenahi mutu demokrasi kita yang tertawan dalam kemandekan. Apabila situasi ini tak hendak dibenahi, tak menutup kemungkinan kualitas demokrasi kita—lebih-lebih menjelang dan pascapemilu, pilpres, dan pilkada 2024—tersungkur pada titik terparahnya.
Karena itu, pengikisan kesuraman budaya politik dan kebebasan sipil yang kian runyam ini dapat melalui kebijakan yang inklusif, experiencing diversity, pendidikan demokrasi warga, akses ke sumber daya alam yang berkeadilan dan program yang mendorong laku politik yang berkeadaban.