Arab Saudi dan Iran sepakat membuka kembali hubungan diplomatik yang terputus sejak 2016. Ini dimungkinkan karena kebaikan China yang layak dipuji.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AFP/NOEL CELIS
Presiden Xi Jinping (tengah) melintas di antara para anggota delegasi dalam sidang pleno Kongres Rakyat China di gedung Balai Agung Rakyat, Beijing, Minggu (12/3/2023).
Kekuatan global bisa merujukkan, bukan mengeksploitasi. Kesepakatan dicapai di Beijing, Jumat (10/3/2023), dihadiri Menteri Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani, Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban, dan Direktur Komisi Urusan Luar Negeri Komite Pusat Partai Komunis China Wang Yi.
Delegasi tiga negara gembira dan segera membuka kedutaan besar masing. ”Visi masa depan dan penyingkiran sikap salah pengertian mengarahkan kestabilan kawasan dan mendorong dunia Islam mengatasi tantangan,” demikian Shamkhani. Kantor berita Arab Saudi menyebutkan dua negara sepakat menghargai kedaulatan dan tidak mencampuri.
”Inisiatif luhur Presiden Xi Jinping mendukung pengembangan relasi Arab Saudi dan Iran,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri China. Inisiatif bersambut dan China menjadi tuan rumah dan penopang dialog. Langkah itu mengakhiri perseteruan pada 2016 karena masalah bilateral.
AFP/ATTA KENARE
Koran di Teheran, Iran, Sabtu (11/3/2023), melaporkan di halaman depan mengenai perjanjian yang difasilitasi China sehingga Iran dan Arab Saudi kembali menjalin hubungan diplomatik.
”Sebuah kesepakatan signifikan dan menunjukkan China dapat merajut perdamaian di kawasan dengan tradisi konflik dan jual beli senjata,” demikian Annelle Sheline, peneliti di Quincy Institute for Responsible Statecraft, AS (Business Insider, 10 Maret).
Wang Yi sadar sepak terjang China akan selalu dicurigai, bahwa udang di balik batu, hegemoni di Asia hingga mengisi peran kosong AS di Timteng. ”Bukan menggantikan AS, bukan hendak mendikte, tetapi memulihkan harkat Timteng, yang lama menderita karena konflik berkepanjangan akibat campur tangan internasional,” kata Wang (Global Times, 16 Januari). Masalah di dunia ini bukan hanya Ukraina. Banyak masalah yang butuh perhatian. Wang menyampaikan, seberat apa pun masalah, jika niat mendamaikan kuat dan bersedia mendengar semua pihak, perdamaian pasti bisa diraih.
KOMPAS/AGNES THEODORA
Wartawan lokal dan asing memenuhi halaman gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, tempat Kongres Rakyat China berlangsung, 4 Maret 2023.
John Kirby, juru bicara Dewan Keamanan Nasional, mendukung aksi peredaan ketegangan di kawasan. Pertanyaannya, mengapa AS tidak menjadi pendamai? Aaron David Miller, mantan diplomat AS, menyebutkan, ”Ini sebuah ‘telunjuk tengah’ bagi Presiden Joe Biden.” Frasa 'telunjuk tengah' pertanda tak respek. Biden menabuh kegaduhan di Taiwan, dan tidak mampu menegosiasikan perdamaian di Ukraina.
Kegaduhan di Timur Tengah, menurut pakar geopolitik Universitas Chicago, John Mearsheimer, adalah buah pemihakan AS pada Arab Saudi dan Israel diiringi tekanan terhadap Iran dengan alasan demokratisasi dengan cara tidak demokratis (Kantor Berita Mehr, 24 Maret 2019).
Hegemoni liberal telah gagal. China menawarkan dengan sendirinya hal sederhana, perdamaian tanpa embel-embel. Kekuatan ekonomi China dan minyak Arab turut memainkan peran, tetapi damai adalah inti. Kemakmuran bersama bisa diraih jika ada situasi stabil dan damai. Salut pada China.