Ibarat vaksin penguat (booster) di pengujung pandemi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) diharapkan jadi salah satu solusi menuju sektor keuangan yang kuat dan dipercaya publik.
Perubahannya meliputi 16 UU, terdiri dari 27 bab, 341 pasal, dan mencakupi 20 pokok sistem keuangan. UU P2SK adalah produk hukum luar biasa, opus magnum! UU P2SK mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi suatu lembaga yang supreme di sektor jasa keuangan. Posisinya semakin terang dengan dimasukkannya prinsip una via dan keadilan restoratif.
Suatu cita-cita yang progresif dan mulia, tetapi di balik itu terdapat kekhawatiran apakah penerapan kedua prinsip tersebut efektif ketika melibatkan banyak korban?
”Una via”
Gagasan una via muncul sebagai perluasan dari prinsip ne bis in idem, yang berarti tidak dua kali atas hal yang sama. Prinsip ini telah dikenal luas, seperti AS dengan double jeopardy atau Perancis dengan principe de non cumul des peines. Sederhananya, una via menghindari pengenaan sanksi ganda atas satu kejahatan.
Dengan una via, OJK dapat menentukan apakah pelaku akan dikenai sanksi administratif atau diteruskan prosesnya guna dikenai sanksi pidana. Sanksi administratif oleh OJK dapat dibarengi dengan pengenaan denda dan ganti rugi. Sanksi yang demikian sebaiknya disikapi lebih bijak, jangan sampai disalahartikan sebagai pengenaan sanksi ganda.
Baca juga : OJK Siapkan 53 Peraturan Turunan UU P2SK
Penerapan una via sebaiknya memperhatikan beberapa hal. Pertama, pemahaman dan harmonisasi mengenai hukum pidana dan hukum administrasi. Kedua, memastikan jenis sanksi (apakah pidana atau administrasi) yang akan dikenakan adalah proporsional terhadap kejahatan yang dilakukan. Ketiga, sosialisasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat dan menghindarkan distorsi penegakan hukum. Keempat, pengawasan dan evaluasi atas efektivitas penerapan una via.
Keadilan restoratif
Pendekatan keadilan restoratif sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian krisis perbankan 1998 hingga diadopsi dalam hukum peradilan pidana anak pada 2012. Penyebutan keadilan restoratif secara tegas dalam penjelasan UU P2SK adalah sesuatu yang progresif.
Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2023 bahkan tak menyebutkan keadilan restoratif walaupun secara implisit beberapa pasalnya menganut prinsip tersebut. Secara garis besar, keadilan restoratif adalah gagasan menegakkan keadilan melalui pemulihan atas kerugian yang diderita oleh siapa pun akibat pelanggaran atau tindak pidana. Prosesnya mengedepankan musyawarah dan melibatkan semua korban terdampak.
Di balik gagasan positif una via dan keadilan restoratif, terdapat beberapa hal yang harus disikapi secara hati-hati oleh OJK. Pertama, dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan nasabah. Terutama respons nasabah yang cenderung irasional dan mudah percaya terhadap informasi asimetris.
Mempertimbangkan dampak berarti juga mempertimbangkan risiko ancaman bahaya dan ketidakpastian.
Kedua, potensi timbulnya moral hazard dari pelaku. Moral hazard mungkin saja timbul karena mungkin pelaku tak akan menanggung konsekuensi penuh atas tindakannya. Pelaku bisa terhindar dari sanksi pidana dengan hanya menebus kesalahan melalui proses keadilan restoratif.
Ketiga, kemungkinan terjadinya pergeseran proses keadilan restoratif menjadi proses kesepakatan dalam lingkup perdata. Dari perspektif pelaku, musyawarah dengan korban dapat dipahami sebagai proses restrukturisasi kewajiban dalam lingkup hukum perdata, bukan pidana. Yang harus ditekankan, pelaksanaan proses kesepakatan dimaksud bertujuan untuk memulihkan keadaan korban.
Keempat, OJK harus memperhatikan kepentingan semua korban yang terlibat. Dalam hal upaya penyelesaian melibatkan banyak nasabah, akan menjadi tantangan tersendiri bagi OJK.
Hal ini mengingat disyaratkan adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat, baik korban maupun pelaku, untuk tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum. Perlu adanya instrumen dan kerangka kerja yang tepat guna terpenuhinya proses penyelesaian yang efisien serta memenuhi kepastian dan rasa keadilan hukum.
OJK harus cermat dalam mengawal proses musyawarah antara pelaku dan korban, sebisa mungkin memberikan perlindungan serta memastikan rasa keadilan terpenuhi bagi korban.
Kelima, harus terdapat konsep yang jelas terkait konteks pemulihan keadaan korban terdampak. Maksudnya, apakah penerapan gagasan una via dan keadilan restoratif dapat dipahami sebagai pemulihan keadaan yang harus benar-benar kembali sama pada posisi sebelumnya (restitutio in integrum) atau tidak.
OJK hendaknya tak hanya bertindak sebagai fasilitator, tetapi juga berperan lebih aktif sebagai arbiter yang mampu mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakan dan menebus kesalahan.
OJK harus cermat dalam mengawal proses musyawarah antara pelaku dan korban, sebisa mungkin memberikan pelindungan serta memastikan rasa keadilan terpenuhi bagi korban. Pada akhirnya, una via dan keadilan restoratif akan benar-benar diuji apakah akan memenuhi rasa keadilan bagi para korban atau tidak.
Kukuh Komandoko,Praktisi Hukum HWMA Law Firm