Surat Edaran Badan Pangan Nasional tentang harga gabah atau beras menuai protes. Ada perbedaan dalam perhitungan harga gabah petani antara pemerintah dan pelaku usaha dengan organisasi petani. Petani perlu dilibatkan.
Oleh
GUNAWAN
·3 menit baca
Surat Edaran Badan Pangan Nasional Nomor 47/T S.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras menuai protes dari organisasi petani, seperti Serikat Petani Indonesia serta Aliansi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, karena dinilai tak akan menyejahterakan petani (Kompas.id, 22/2/2023).
Protes itu menunjukkan ada perbedaan dalam memperhitungkan harga gabah petani antara pemerintah dan pelaku usaha dengan organisasi petani. Jurang perbedaan itu semakin menganga akibat ketiadaan partisipasi petani secara lebih bermakna dalam pembentukan surat edaran tersebut.
Transparansi dan akuntabilitas perhitungan atau perumusan harga batas atas gabah atau beras oleh pemerintah diperlukan karena sebagai produk hukum, seharusnya pembentukan surat edaran (SE) itu prosesnya terbuka, partisipatif, dan disertai kajian (naskah akademik) yang menjelaskan perhitungan atau perumusan penetapan harga oleh pemerintah.
Meskipun SE Badan Pangan Nasional mengatur pembelian harga gabah petani, di dalam pertimbangannya sama sekali tak menyebutkan dalam rangka melindungi harga untuk petani. Padahal, SE itu merujuk ke Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras, di mana Permendag tersebut menjadikan UU No 19/ 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagai landasan hukumnya.
Dengan demikian, seharusnya pembentukan SE tersebut melibatkan partisipasi petani secara lebih bermakna, dan dalam rangka perlindungan harga yang menguntungkan petani.
Dalam hal partisipasi petani, meskipun kepala Badan Pangan Nasional menyebutkan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) dilibatkan dalam perumusan penetapan harga gabah atau beras di SE ini (Kompas.id, 22/2/2023), faktanya hanya pelaku usaha skala besar yang turut menandatangani SE itu.
Terkait perlindungan harga yang menguntungkan petani, fakta di lapangan, berdasarkan pemantauan SPI dan Aliansi Petani Indonesia (API), menunjukkan terjadinya penurunan harga gabah petani setelah SE tersebut diumumkan.
Mengakhiri kontradiksi
Penetapan harga gabah atau beras oleh Badan Pangan Nasional adalah fenomena baru dalam kebijakan pangan, khususnya di bidang perberasan. Badan Pangan Nasional adalah kelembagaan pangan yang dimandatkan oleh UU No 18/2012 tentang Pangan.
Berdasarkan Perpres No 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional, lembaga pemerintah di bidang pangan ini menerima pendelegasian kewenangan dari Menteri Pertanian dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola BUMN di bidang pangan, dan perumusan kebijakan dan penetapan harga pembelian pemerintah.
Selain itu, Badan Pangan Nasional juga menerima pendelegasian kewenangan dari Menteri Perdagangan dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan, serta mendapat kuasa dari Menteri BUMN untuk memutuskan penugasan Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Atas dasar pendelegasian kewenangan dan pemberian kuasa ini—di mana kebijakan harga gabah atau beras juga terkait kebijakan cadangan pangan nasional berupa beras, impor beras, dan penugasan kepada Bulog terkait pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian beras—seharusnya dilakukan evaluasi atas kebijakan perberasan.
Hal itu untuk mengakhiri pengaturan yang melanggengkan kesenjangan harga antara harga gabah petani dan harga beras medium. Kesenjangan itu akan menyebabkan petani yang menjual gabah justru akan sulit membeli beras sehingga kontradiktif tidak hanya dengan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani, tetapi juga kontradiktif dengan upaya mengatasi kerawanan pangan dan kemiskinan di perdesaan.
Meskipun SE Badan Pangan Nasional mengatur pembelian harga gabah petani, di dalam pertimbangannya sama sekali tak menyebutkan dalam rangka melindungi harga untuk petani.
Partisipasi petani
Langkah-langkah yang diperlukan, pertama, mengakhiri dualisme aturan penetapan harga gabah/beras antara Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah dengan Permendag No 24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras, serta mengakhiri dualisme kewenangan impor pangan, antara Perpres No 32/2022 tentang Neraca Komoditas dengan perpres Badan Pangan Nasional.
Kedua, menciptakan akuntabilitas Badan Pangan Nasional dalam perumusan impor pangan, besaran cadangan pangan pemerintah, dan penetapan harga gabah/beras, melalui pembentukan kebijakan yang melibatkan partisipasi petani secara lebih bermakna.
Khususnya, kelembagaan petani yang didirikan sendiri oleh petani, sebagai kelembagaan yang telah diberikan pengakuan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Bagi Badan Pangan Nasional, partisipasi itu sangatlah penting mengingat peran gerakan petani dan pembela hak atas pangan yang turut mengusulkan kelembagaan pangan di dalam UU Pangan, melakukan advokasi ketika kelembagaan pangan tak segera terbentuk setelah UU Pangan disahkan. Juga melakukan advokasi kebijakan ketika terjadi tumpang tindih aturan yang mereduksi kewenangan Badan Pangan Nasional untuk merealisasikan secara progresif pemenuhan hak atas pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Partisipasi petani semakin menemukan konteksnya ketika FAO merekomendasikan transformasi sistem pertanian pangan berbasis petani yang diartikan juga sebagai transformasi perdesaan sebagai jawaban atas krisis pangan tahun 2012.
Untuk menjadikan petani sebagai pusat transformasi sistem pertanian pangan, diperlukan peningkatan akses dan partisipasi petani dalam pembentukan kebijakan penetapan harga, insentif, redistribusi tanah, benih, dan jaminan atau perlindungan sosial.
GunawanPenasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Dewan Pengawas Bina Desa