Gebrakan Indonesia untuk Presidensi ASEAN 2023
Indonesia dapat menawarkan formula alternatif khas Indonesia untuk mengatasi krisis di Myanmar. Ada sejumlah tokoh militer yang bisa diutus sebagai perunding untuk mendorong solusi damai dengan junta Myanmar.

Ilustrasi
Perkembangan Myanmar kian mengarah kepada ketakpastian. Solusi Lima Butir Rekomendasi ASEAN masih menunggu respons junta militer, dengan pertanyaan, masih adakah wibawa ”Komunitas Kawasan” itu? Sebab, anggota barunya justru bukan saja telah berani menampar wajahnya, tetapi telah menghadang aktivitasnya.
Organisasi regional yang semula sangat dicari untuk dikawani di era 1970-1990 kini tak menjadi harapan sebagai penyelesai masalah. Apa sesungguhnya masalah mendasar dari pembangkangan junta atas tekanan internasional, termasuk Uni Eropa yang belakangan menjatuhkan sanksi ekonomi?
Harus dakui, transisi demokratik di Myanmar sudah gagal. Berbeda dengan jalan Indonesia, waktu satu dasawarsa (2010-2020) berakhir antiklimaks. Kudeta militer mengabaikan kemenangan Liga Demokrasi Nasional (NLD) dan menyingkirkan Aung San Suu Kyi dari peluang memerintah yang telah ditunggunya sejak 1990. Saat itu, lewat pemilu terbuka pertama, NLD kuasai 392/135 dari 492/224 kursi Majelis Rendah dan Tinggi. Militer dapat jatah 25 kursi di masing-masing kamar, dijamin aman di konstitusi. Namun, junta membatalkan kemenangan NLD, dan Suu Kyi dikenakan tahanan rumah.
Baca juga: Myanmar Kembali ke Titik Nol
Pada pemilu 2015, NLD memenangi 255/135 dari 440/224 di kedua kursi parlemen. Untuk meraih kursi kepresidenan masih ada masalah mengganjal. Pasal 59 F melarang pihak yang berkoneksi dengan orang asing untuk dipilih. NLD dan Suu Kyi terhadang faksi militer dan partai pendukungnya, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP). Mereka harus mengurangi kuota kursi militer di parlemen secara drastis demi mengamankan suara.
Tahun 2019, NLD meluncurkan sipilisasi Departemen Administrasi Umum yang selama ini di bawah departemen dalam negeri/militer. Amendemen konstitusi pun dilakukan Suu Kyi untuk mengurangi kuota junta di parlemen dari 75 persen ke 2/3 anggota hasil pemilu. Lalu, dari 25 persen ke 15 persen pasca-pemilu 2020 sehingga tinggal 10 persen pasca-2025 dan 5 persen pasca-2030 (Banerjee, 2022).
LND mau menghapus ketentuan konstitusi yang melarang Suu Kyi maju sebagai presiden karena menikah dengan orang asing. Ia lalu mendorong amendemen konstitusi untuk mendukung federalisme, yang junta khawatirkan akan menciptakan disintegrasi nasional. Mereka mau melakukan demokratisasi secara luas dengan menerapkan multiparty system, yang tidak disukai militer karena rawan instabilitas.

Demonstran membawa poster pemimpin Myanmar yang ditahan Aung San Suu Kyi dan poster bertuliskan untuk menghormati hasil pemilu dalam aksi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar Selasa (16/2/2021).
Reformasi keamanan
Sayangnya, Indonesia dan ASEAN, walau telah dideklarasikan sebagai ”Komunitas Kawasan” pada 2015, tak berbagi pengalaman. NLD langka kader yang mampu membangun rekonsiliasi dan power sharing secara demokratis dengan junta. Suu Kyi tak paham betapa pentingnya Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform/SSR) untuk bisa bernegosiasi dengan junta agar transisi demokratik bisa diintroduksi dengan mulus dan elegan.
Suu Kyi tak mendorong partainya, NLD, melakukan kerja berjejaring dengan mitranya di ASEAN dalam melakukan demokratisasi dengan amendemen konstitusi secara cermat. Ia tak mendengar pendapat para ahli yang telah menyiapkan pelatihan yang disponsori lembaga swadaya masyarakat (LSM) pro-transisi. Indonesia telah mencontohkan amendemen konstitusi tanpa blokade militer dalam beberapa periode dan, khususnya, mendorong SSR tanpa chaos, kecuali resistensi dan kerusuhan terbatas di tingkat pusat dan daerah.
Walaupun sempat memunculkan kontestasi kekuatan sipil-militer, TNI bersedia keluar dari panggung politik secara elegan. Sementara beberapa LSM asing, seperti USAID, Konrad Adenauer Stiftung, dan Hanss Seidel Stiftung, telah menyiapkan program dan pelatihan untuk itu. Suu Kyi dan NLD lalai bahwa yang dibutuhkan Myanmar lebih dari cara menggiat demokrasi seperti didiskusikan Przeworski (2000) dan Sartori (1994).
Sayangnya, Indonesia dan ASEAN, walau telah dideklarasikan sebagai ”Komunitas Kawasan” pada 2015, tak berbagi pengalaman.
Indonesia adalah contoh baik dalam amendemen konstitusi dengan mengoreksi posisi militer, memisahkannya dengan peran sipil, dengan membuat Undang-Undang TNI dan UU Polri secara terpisah. Juga, UU Pertahanan dan UU Pengadilan Militer yang memisahkan peran dan posisi militer dan sipil, walaupun menyisakan soal harus tunduknya militer kepada peradilan umum jika mereka melakukan perbuatan kriminal.
Pembagian peran yang memuaskan menstimulasi TNI untuk mundur dari parlemen lebih cepat, kecuali di jabatan strategis yang masih dibutuhkan, yang diatur dalam Pasal 7 Ayat 2, UU TNI. Militer pun kembali ke barak pada akhir 2004, bukan lagi di batas akhir 2009. Jadi, jika tentara mau masuk ke parlemen, harus mundur dari TNI, sebagaimana jika mau menduduki jabatan sipil lainnya.
Adapun alasan yang masih bisa dijadikan pintu masuk bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil tertentu tetap tak bisa leluasa ditafsirkan sehingga TNI tinggal di barak dan terhalang untuk kembali berdwifungsi. Demokrasi di Indonesia sudah bisa dibilang the only game in town, sekalipun secara akademik debatable. Memang ada yang berupaya kembali ke ranah sipil akibat kapasitas TNI yang berlebih karena proses rekruitmen yang sering melampaui perencanaan.
Baca juga: 75 Tahun TNI: Militer Profesional, Demokrasi, Diskriminasi
Pelajaran berharga lain untuk Myanmar, yang bisa dikontribusikan Indonesia sebagai Ketua ASEAN sekarang, adalah pengalaman militer dalam berunding atau melakukan diplomasi untuk resolusi konflik. RI memiliki warisan Orba, berupa pengalaman dwifungsi yang berharga, dengan memiliki perwira perunding, yang telah berperan signifikan dalam meredam konflik.
Era perang 4.0 memerlukan kehadiran perwira militer sebagai perunding, di luar Special Envoy, yang mampu memecah kebuntuan demi mengakhiri konflik. Eksistensi diplomat berlatar belakang perwira intelijen yang memiliki kemampuan, seperti Benny Moerdani dan Kivlan Zein, dua panglima tinggi dari kelompok yang berseberangan, penting. Mereka telah berperan sebagai perunding di balik layar dalam konflik Malaysia-Indonesia dan separatisme di Filipina Selatan. Pasca-Moerdani dan Zein, serta Samsudin yang mampu berunding dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), eksistensi perwira militer dengan kemampuan intelijen dan diplomasi melintas batas semakin langka.
Figur kepemimpinan TNI dewasa ini belum memberikan perhatian kepada kaderisasi perwira intelijen untuk berperan strategis dalam resolusi konflik damai dengan kemampuan tinggi. Perbaikan kurikulum pendidikan dan pelatihan sekolah militer dan intelijen menjadi penting untuk meningkatkan kinerja TNI dan BIN di era industri dan TI serta perang 4.0. Untuk penguatan pilar politik dan keamanan ASEAN, institusi pendidikan TNI, terutama Sesko, dan kepemimpinan nasional, yaitu Lemhannas, perlu didorong merekrut siswa-siswa asal Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand, termasuk dalam agenda kerja sama anti-terorisme.

Memperkuat Indo-Pasifik
Di luar absennya SSR, sikap pembangkangan junta Myanmar disebabkan perkembangan geopolitik regional yang tak dapat direspons dengan memadai. Menguatnya peran China yang tak terbendung berdampak lurus dengan menguatnya rezim antidemokrasi di negara pendatang baru ASEAN, tak hanya Myanmar, tetapi juga Kamboja dan Laos, yang muncul kembali di Thailand karena adanya kepentingan yang terkoneksi.
Sebaliknya, menyurutnya peran AS di kawasan berimplikasi kepada menyusutnya aktivitas LSM internasional yang memberikan pelatihan sumber daya manusia untuk membantu transisi demokratik dan penguatan demokrasi menuju konsolidasi. Kontestasi kekuatan yang kian bereskalasi, antara China, yang menarik Rusia, vis a vis AS, yang menarik Inggris ke dalam AUKUS, menambah kompleks konfigurasi kekuatan. Karena itu, dalam perspektif hubungan internasional, solusi Indo-Pasifik menjadi semakin relevan untuk ditawarkan, dengan pentingnya gelar diplomasi intelijen militer walaupun dijalankan lewat pintu belakang atau melalui jalur 1 1/2.
Menunggu terjadinya complex emergencies di Myanmar untuk memaksa perubahan sikap junta adalah pilihan konyol dan mengenaskan. Sementara jika pesan-pesan untuk power sharing bisa diterima dan menciptakan trust di kalangan pimpinan junta, kondisi awal solusi damai yang kondusif menuju pemilu bisa diciptakan. Selanjutnya, jika kesepakatan pembagian kekuasaan antara militer-sipil yang cukup fair bisa diciptakan, eskalasi kekerasan baru dapat dihindari sehingga bisa disusul dengan pelepasan para tahanan politik, seperti direkomendasikan ASEAN.
Baca juga: Indonesia dan Masalah Myanmar
Jadi, Indonesia dapat menawarkan formula alternatif khas Indonesia dengan modal sosial yang dimilikinya, yakni pengalaman melakukan SSR. ASEAN lalu bisa dilanjutkan dengan mengevaluasi secara menyeluruh capaian Lima Butir Rekomendasi, dan segera mengambil keputusan tegas, berpegangan kepada Piagam ASEAN 2007. Selama ini, selama tujuh dasawarsa, the ASEAN way ini tanpa parameter capaian karena semua tergantung kepada konsensus dengan absennya sanksi.
Mengenai siapkah tokoh militer yang bisa diutus untuk lakukan terobosan mendorong solusi damai dengan junta Myanmar, nama Letjen (Purn) Agus Widjojo, yang sekarang dubes di Filipina, dan Menhan Letjen (Purn) Prabowo Subianto boleh diusulkan. Mereka punya kapasitas dan pengaruh kuat di kalangan militer di kawasan mengingat aktivitas mereka di fora internasional, terutama program-program kerja sama dan diklat. Peran mereka akan memberikan kontribusi berharga RI di Presidensi ASEAN 2023.
Poltak Partogi Nainggolan, Peneliti Tata Kelola dan Konflik di BRIN
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F09%2F06%2F235ac7f0-f7bb-4d9a-a81c-73fc7a694451_jpeg.jpg)
Poltak Partogi Nainggolan