Salah satu anomali besar dalam negara demokrasi adalah lahirnya dinasti berbasis keluarga. Mereka mengisolasi diri dari politik dan melakukan penumpukan aset secara rapi, tetapi memiliki obsesi menunjukkan pengaruh.
Oleh
RENDY PAHRUN WADIPALAPA
·3 menit baca
Ketakwajaran gelimang aset dan harta dari keluarga para pejabat adalah ilustrasi dari fakta yang telanjur mengakar dan tua. Kecamuk atas pendapatan fantastis pejabat publik dan pamer harta keluarga, sebagaimana baru-baru ini terjadi, mudah dicari dalam referensi sejarah politik Indonesia.
Deret kasus korupsi dan pencucian uang melibatkan keluarga yang telah tercatat sebelumnya, dalam spektrum yang lebih luas, tidak lagi pantas untuk sekadar disederhanakan sebagai sebuah nepotisme. Ia adalah gejala lain dari terus tumbuhnya salah satu anomali besar dalam negara demokrasi, yakni lahirnya dinasti berbasis keluarga. Kita melihat metamorfosis penting bahwa lema dinasti bukanlah lagi milik keluarga-keluarga kuat yang lahir dari suksesi kepemimpinan atau krisis politik, semisal keluarga Soekarno atau keluarga Cendana.
Dalam konteks kontemporer, dinasti itu telah menyempit menjadi ruang yang jauh lebih privat, tak terekam dan mengisolasi diri dari politik praktis. Ia dilahirkan dari kombinasi beracun antara birokratisme nepotis dan keleluasaan kewenangan yang eksesif, yang lalu menghasilkan akumulasi modal yang sangat agresif. Tontonan pamer harta dari keluarga-keluarga pejabat publik adalah buah langsung dari proses kapitalisasi privilese.
Dinasti-dinasti kecil ini beregenerasi untuk menurunkan privilese itu, bahkan jika seluruh anggota keluarga tidak lagi menyandang predikat pejabat. Dengan kepiawaian dalam melipatgandakan aset, mereka mampu bertengger di puncak status sebagai elite.
Para peneliti politik mutakhir telah membunyikan alarm atas keanehan ini. Schafferer (2023), misalnya, mengulang kembali fakta paradoksal dari negara-negara demokrasi di mana nilai-nilai kebebasan, menguatnya kontrol rakyat, dan transparansi kebijakan publik yang diatur oleh hukum demokratis tidak berhasil mencegah datangnya gelombang dinasti keluarga beberapa tahun terakhir ini.
Justru yang terjadi sebaliknya, seolah-olah sistem demokrasi secara tak sengaja memberi ruang baru bagi elite untuk mengeksploitasi kekhususan posisi yang ia nikmati. Lebih jauh, riset-riset kontemporer tidak lagi membatasi dinasti sebagai satu kelompok tertutup yang berpusat dari figur politik yang kuat, karismatik, dan supreme, melainkan juga kelompok lain yang lebih kecil dan tak terhubung secara langsung dengan politik praktis.
Sentimen keluarga
Fenomena pejabat eselon tiga dengan total harta berpuluh miliar tidak memberi kejutan apa pun, kecuali hanya menguatkan paradoks sekaligus celah dari sistem demokrasi kita. Dalam karya klasik, seminalnya The Moral Basis of a Backward Society (1958), Edward Banfield menjelaskan akumulasi kekayaan tak wajar para elite negara dengan melacaknya hingga ke ranah keluarga.
Menurut dia, korupsi menggemuk terutama karena masih kuatnya solidaritas internal anggota keluarga yang memantik semacam emosi sentimental satu sama lain. Akumulasi dari rasa bakti itulah yang menciptakan alasan-alasan terjadinya nepotisme.
Banfield memulai dengan mengidentifikasi teori kesetiaan keluarga yang ia pinjam dari Plato, menghubungkannya dengan fenomena korupsi dan menemukan padanannya dengan contoh kasus seperti di Italia selatan ataupun Sisilia. Di sana, laku korup tak lebih representasi dari ekspresi saling membantu, memberikan akses-akses dan kemudahan bagi mereka yang memiliki ikatan darah ataupun orang-orang yang masih punya piutang budi sehingga wajib dibalas.
Mereka memilih untuk mengisolasi diri dari politik dan melakukan penumpukan dan distribusi aset secara rapi.
Dalam konteks sekarang, akumulasi kekayaan diolah dari birokratisme yang tak lagi berkewajiban untuk terhubung secara langsung dengan ruang politik. Distribusi privilese tidak digunakan untuk menempatkan sanak keluarga di posisi-posisi penting partai politik, organisasi publik, atau pos-pos politik lain. Mereka memilih untuk mengisolasi diri dari politik dan melakukan penumpukan dan distribusi aset secara rapi.
Lambat laun, ambisi tersebut secara otomatis akan menciptakan dinasti-dinasti yang berakar dari perasaan sekerabat dan sejawat. Korupsi justru menjadi sebuah lem perekat sendi-sendi di lingkaran dinasti yang menunjukkan rasa kesetiaan dan pengorbanan, melalui penyediaan sumber-sumber yang mencukupi kebutuhan, keinginan, atau mimpi-mimpi keluarga. Seperti dalam sejarah kedinastian Marcos di Filipina yang termasyhur, korupsi dan akumulasi kapital dikerjakan dengan membagi-bagikan dana-dana gelap dan bermasalah kepada relasi dan keluarga dekat, mengguyur mereka dan menghabiskannya lewat berbelanja barang-barang mewah.
Obsesi pamer
Namun, sifat alamiah dari dinasti yang eksesif menuntut satu laku demonstratif, sebuah obsesi untuk menunjukkan keberhasilan dan pengaruh. Aksi pamer adalah sebuah keharusan di sini. Pamer bukan saja hasil atas bagaimana sebuah kesuksesan dirayakan, melainkan menjadi hasrat instingtual hewani yang selalu menuntut untuk ditunaikan.
Itu sebabnya terjadi kontradiksi di sini: orang mati-matian menyembunyikan aset-asetnya, mengatasnamakannya dengan keluarga jauh atau sopir atau asisten rumah tangga, tetapi pada saat yang sama mereka selalu didorong oleh hasrat untuk menggunakan, menikmatinya, dan memberitahukannya ke seluas-luasnya khalayak. Para penyeleweng harta mungkin piawai dalam menyilap kepemilikan motor gede, tetapi ia tak bisa menghindar dari dorongan akut untuk menggunakannya dan mengabarkannya ke orang-orang lain lewat komunitas dan lain sebagainya.
Kontradiksi ini melahirkan irasionalitas modal yang sangat fatal. Pada akhirnya proses akumulasi kapital akan melahap pelakunya, menguasainya dengan keserakahan tak tahu batas. Motivasi ini melandasi kerangka berpikir sebagian besar elite yang sangat berkuasa, tetapi sekaligus juga sangat rapuh. Mereka berkuasa amat kuat hingga mampu menumpuk uang sebanyak yang mereka mau, tetapi begitu rentan oleh emosi kehilangan, yang menuntutnya untuk serba bersegera menikmati hasil-hasil itu.
Menyergap mereka tampak tidaklah sesulit kelihatannya. Dengan sedikit kesabaran saja, kita bisa melihat laku pamer dari figur-figur dinasti keluarga ini di sekitar kita, di jalan-jalan raya, di pusat-pusat belanja—dengan amat terang dan telanjang.
Satu hal yang menghubungkan ini semua adalah motivasi yang bulat untuk menciptakan jarak sesenjang-senjangnya dengan yang lain, yakni rakyat kebanyakan. Kecemburuan sosial akut tidak mampir dalam pikiran mereka. Potensi amuk rakyat atas obsesi pamer tidak menakutkan untuk mereka. Instingtual hewani mereka lebih menakuti sebuah masa di mana yang dipunya tak lagi bisa dinikmati.