Mekanisme kontrol yang tak efektif dan lemahnya pengawasan pemerintah menyuburkan tindakan pamer. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa mekanisme pendidikan karakter selama ini dihasilkan dari pola pendidikan yang rumpang.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·4 menit baca
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 24 Februari 2023, mencopot jabatan Rafael Alun Trisambodo (RAT) sebagai Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak atau DJP Kantor Wilayah Jakarta Selatan.
Keputusan itu menyusul viralnya gaya hidup yang dipertontonkan sang anak, Mario Dandy Satriyo (20), dengan memamerkan mobil dan motor mewah, serta kasus penganiayaan yang dilakukan Mario terhadap David, anak pengurus pusat GP Ansor, hingga koma.
Selain pembebastugasan, Sri Mulyani juga meminta agar harta kekayaan RAT diaudit karena dinilai tak lazim dan melanggar asas kepatutan sebagai pejabat publik. Komunitas motor gede, Klub Blasting Rijder DJP, turut serta dibubarkan.
Merujuk pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), harta kekayaan RAT adalah Rp 56 miliar, belum termasuk mobil dan motor yang dipamerkan oleh anaknya.
Keputusan tersebut hanya mengacu pada kasus yang mencuat di tengah-tengah publik. Bagaimana penanganan kasus serupa yang tidak mendapatkan perhatian luas? Bagaimana sebaiknya pejabat berperilaku? Apakah yang dimaksud asas kepatutan di depan publik?
Dalam media sosial, tak sulit untuk mencari perilaku para istri pejabat yang memamerkan barang-barang mewah. Hal itu merupakan bagian dari perilaku pamer (flexing) yang menjadi tren di tengah-tengah publik.
Contoh, sejumlah sosok publik membuat tayangan yang berisi kepemilikan harta kekayaan yang jauh di atas normal. Ada pula tayangan hadiah kepada istri berupa mobil mewah supaya kaget ketika bangun tidur, pamer saldo di rekening, pemakaian jet pribadi, hingga gaya hidup sehari-hari dalam berbelanja di toko swalayan.
Tayangan semacam itu memicu dua hal. Pertama, menimbulkan persoalan sosial, seperti kecemburuan sosial, sesat logika, hingga kejahatan.
Kedua, pelanggaran etika sosial. Dalam etika sosial terdapat norma perilaku pantas dan tidak pantas diperlihatkan di tengah publik. Salah satunya adalah nilai kepatutan yang memuat sikap rendah hati.
Kebajikan para leluhur ialah menghindari perilaku adigang (merasa berkuasa), adigung (merasa terbaik), dan adiguna (merasa pintar). Perilaku pamer bukan hanya tak pantas untuk pejabat publik, tetapi bagi siapa pun yang memang memiliki harta kekayaan berlimpah.
Contoh untuk soal sok kuasa, belum lama ini ada seorang anak muda yang mengendarai mobil Fortuner berani melakukan perusakan terhadap mobil Brio di Senopati, Jakarta (13/2/2023). Hal itu dipicu oleh peringatan sopir Brio kepada pengemudi Fortuner agar tidak melawan arus. Setelah diperika, polisi memutuskan untuk ”memulangkan” pelaku karena pelaku perusakan dinilai kooperatif dan datang sendiri.
Hasil penyelidikan kepolisian tak menyebutkan keluarga pelaku, tetapi cukup menyatakan bahwa sopir Fortuner adalah ”karyawan magang” di sebuah kantor pengacara. Kasus itu menunjukkan sikap sok kuasa sehingga berani melanggar norma hukum dan norma sosial.
Terkuaknya kasus ”merasa berkuasa” karena perilaku itu telah membuat orang lain celaka. Dalam kasus keluarga pejabat pajak, hal itu dimulai dari kasus penganiayaan yang dilakukan Mario terhadap Cristalino David Ozora (17) pada pukul 20.30 WIB, Senin (20/2/2023).
Akibat penganiayaan itu, korban mengalami koma. Tiga hari kemudian, rekaman video penganiayaan itu viral. Tampak pelaku melakukan penganiayaan lalu melakukan selebrasi ketika korban tergeletak. Warganet menelusuri perilaku pamer dari pelaku penganiayaan yang juga berstatus mahasiswa.
Buntut dari kasus itu, Rektor Universitas Prasetiya Mulya mengeluarkan pelaku penganiayaan terhitung sejak 23 Februari 2023. Menteri Keuangan sendiri sudah menjenguk korban di rumah sakit, Sabtu (25/2/2023).
Jika dipercayai sebagai gunung es, ada tiga fakta penting yang membuat kasus itu akan muncul pada masa depan.
Terus bermunculan
Tindakan Sri Mulyani mencerminkan penyesalan secara pribadi sebagai pejabat publik. Kasus itu memperlihatkan efek sosial atas perilaku pamer kekayaan dan kekuasaan. Jika dipercayai sebagai gunung es, ada tiga fakta penting yang membuat kasus itu akan muncul pada masa depan.
Pertama, publik mengawasi melalui media sosial secara spontan. Hasil kesaksian yang dilakukan warganet membuat kasus penganiayaan ini melebar pada perilaku pamer oleh pelaku, jumlah kekayaan orangtua pelaku, hingga pencopotan jabatan orangtuanya.
Bola salju ini membuat pelaku kebijakan merepons dengan cepat. Namun, perilaku warganet bersifat sporadis. Karena itu, perlu adanya kebijakan yang bisa melakukan pengawasan secara berkesinambungan.
Kedua, di lain pihak, mekanisme kontrol yang tak efektif. Pemerintah memiliki mekanisme kontrol terhadap kekayaan melalui formulir LHKPN. LHKPN ini dikelola Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui situs elhkpn. Meski demikian, mekanisme kontrol ini tidak efektif karena didasarkan pada pengakuan dari pejabat secara subyektif tanpa disertai pengecekan secara mendalam.
Ketiga, kontrol sosial yang spontan dan lemahnya pengawasan pemerintah menyuburkan tindakan pamer. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa mekanisme pendidikan karakter selama ini dihasilkan dari pola pendidikan yang rumpang.
Apabila mengacu pada Kurikulum Merdeka, pendidikan karakter hanya diserahkan pada paradigma Profil Pelajar Pancasila, yakni beriman, mandiri, bergotong royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif.
Suka atau tidak, pendidikan karakter hanya membuat peserta didik terbiasa melakukan sesuatu tanpa memahami maksudnya. Mengucapkan tanpa memahami. Fakta bahwa internalisasi nilai merupakan praktik kurikulum tersembunyi yang tidak sekadar dihafalkan, seperti pola kepemimpinan, keteladanan, serta pemahaman tentang perbedaan gaya hidup dan kebutuhan hidup.
Oleh karena itu, selama tidak ada perhatian atas pentingnya etika sosial melalui kebijakan yang menyeluruh, perilaku pamer kekuasaan dan kekayaan ini pada masa depan akan terus bermunculan.
Saifur Rohman,Pengajar Program Doktor Bidang Filsafat Universitas Negeri Jakarta