Kalau dipikir-pikir, sebenarnya cukup banyak alasan mengapa belum ada museum foto di Indonesia. Foto muncul pada zaman Belanda, dan seperti seni lukis Mooi Indie, mendokumentasikan sambil merayakan kejayaan Belanda.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau, Penulis Udar Rasa
Ketika saya menyadari kebodohan saya itu, saya malu. Adapun menteri pariwisata mestinya pipinya panas juga. Kenapa? Karena baik saya, yang ngaku pinter ini, maupun dia dan bermacam-macam orang yang berembel aneka gelar ini dan titel itu, belum pernah memikirkan dan merencanakan pembuatan sebuah museum fotografi di Bali, bahkan di Indonesia. Begitulah nasib pariwisata budaya.
Saya menyadari kebodohan-kebodohan kita semua ini ketika nyeruput seteguk kopi di sebuah kafe keren di daerah Renon dengan sobat Gustra, fotografer Bali terkemuka. Tiba-tiba muncul kenyataan itu di tengah gelak tawa kita.
Ya, budaya Bali, budaya yang paling visual di dunia, yang paling banyak difoto, bahkan yang seratus tahun lalu jadi tersohor karena kesempurnaan foto payudara perempuannya! Kebudayaan itu sampai sekarang ini belum dirayakan melalui sebuah museum.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya cukup banyak alasan mengapa belum ada museum foto. Foto muncul pada zaman Belanda, dan seperti seni lukis Mooi Indie, mendokumentasikan sambil merayakan kejayaan Belanda.
Ada berbagai ambiguitas yang belum tentu diminati orang Indonesia masa kini: orang Indonesia bisa jadi tampil ”primitif” atau tidak senonoh untuk orang tertentu. Misalnya belum tentu wanita Sunda masa sekarang merasa terwakili oleh foto Cephias akhir abad ke-19 yang memperlihatkan ibu zaman ini menyusui anak secara terbuka. Etika tubuh berubah selaras zaman.
Faktor ekonomi juga berperan penting. Kegiatan berfotografi lama dan lama sekali merupakan kegiatan yang mahal, di luar jangkauan sebagian besar masyarakat. Biasanya yang aktif berfoto adalah orang yang dikarunai titel Tuan, Encik atau Raden. Di luar jangkauan Si Somprong di Bali atau Narto di Jawa.
Alat-alatnya sangat mahal. Dan kemahalan ini membatasi jumlah peminat. Maka, membuat foto lebih sering menjadi bisnis daripada seni. Yang difoto adalah acara pernikahan, murid kelas sekolah atau anggota regu sepak bola. Dokumentasi kenangan pribadi atau kolektif. Yang diutamakan ialah ”ketepatan” figurasi bukan keindahan foto sendiri.
Dengan berulurnya waktu, datanglah pariwisata, tetapi hal ini tidak serta merta menguntungkan orang yang merasa tertarik oleh foto sebagai kegiatan yang lebih dari sekadar bisnis.
Pada awalnya, katakanlah tahun 1960an-1980-an, fotografer pariwisata yang mengangkat foto karena keindahannya, untuk sebagian terbesar adalah orang asing, bule pada umumnya.
Ketika mereka datang ke Bali atau ke mana pun di Indonesia, mereka membawa peralatan yang sangat wah: lensa maha-panjang yang mirip senjata. Penglihatannya tak jauh beda dengan KNIL tiga puluh tahun sebelumnya. Dan mereka sering lupa diri.
Masuk ke medan acara bak jagoan, menyuruh orang entah mundur agar tidak menutupi angle foto yang dihendaki, atau sebaliknya tampil ke depan bila eksotis. Adapun anak-anak biasanya disuruh pergi dengan suara keras kalau tidak digoda dengan diberikan 100 rupiah.
Fotografer bule ini kerap ”diservis” fotografer lokal yang tak mampu membeli lensa dan disuruh berfungsi sebagai asisten merangkap bodyguard.…
Apakah sejarah di atas ini menyenangkan. Tidak. Maka bisa dipahami bila orang Indonesia lama enggan mengangkat foto sebagai daya tarik sebagaimana dapat disajikan di dalam sebuah museum.
Tetapi, zaman telah berubah. Indonesia, dan Bali, mempunyai kekayaan visual yang tak terhingga. Krause, Cartier Bresson, dan ratusan fotografer lain tidak salah mengidentifikasi negeri ini sebagai negeri dengan pemandangan dan keragaman budaya yang tergolong terkaya di dunia.
Indonesia dan Bali membutuhkan museum fotografi sebagaimana hadir di banyak tempat di dunia. Tidak akan rugi dari sudut bisnis karena foto bisa diubah menjadi merchandise dengan seizin pemilik haknya. Lebih-lebih sebuah museum yang lengkap bisa mengandung ruang pameran yang memperkenalkan sejarah foto wilayah setempat, sejarah politiknya, aneka acara kebudayaan dengan penjelasannya, misalnya pengabenan dan temple festival di Bali.
Museum foto diperlukan untuk mengiklankan kecantikan daerah bagi para wisatawan, dan untuk untuk memperkokoh identitas dan kebanggaan kultural masyarakat yang bersangkutan.
Maka, saya bertanya, apakah menteri pariwisata, para pejabat daerah, dan kita semua perlu ”terus bodoh” dengan terus tidak membangun museum foto yang memang dibutuhkan oleh pariwisata dan bangsa ini.