Setahun Perang Ukraina dan Wajah Netral Timur Tengah
Sebagian besar negara utama di kawasan Timur Tengah memilih bersikap abu-abu dan netral dalam perang Ukraina-Rusia. Posisi itu diambil sesuai kepentingan masing-masing negara yang berbeda satu sama lain.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
ILHAM KHOIRI
Musthafa Abd Rahman
Perang Ukraina-Rusia, yang meletus sejak 24 Februari 2022, saat ini telah memasuki tahun kedua. Bagi negara-negara utama di Timur Tengah, perang itu akan terus menjadi beban berat. Negara-negara utama di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, Israel, Mesir, dan Turki, memiliki dinamika masing-masing dalam kebijakan geopolitiknya setelah satu tahun perang Ukraina-Rusia.
Faktor hubungan negara-negara utama Timur Tengah itu dengan Amerika Serikat (AS) dan Barat, serta Rusia, sangat memengaruhi sikap geopolitik negara-negara tersebut terhadap perang Ukraina-Rusia. Mesir, Turki, Israel, dan Arab Saudi dikenal sebagai sahabat strategis AS di Timur Tengah, tetapi secara mengejutkan sampai saat ini memilih mengambil sikap abu-abu atau netral dalam perang Ukraina-Rusia itu. Adapun Iran, yang menjadi musuh bebuyutan AS, semakin berpihak ke Rusia.
Sikap abu-abu yang diambil negara-negara sahabat AS tersebut menunjukkan gagalnya AS membujuk dan bahkan menekan negara-negara sahabatnya untuk lebih memihak Ukraina dan Barat. AS tampak sudah berusaha maksimal ingin menyeret negara-negara sahabatnya di Timur Tengah agar mengikuti jejak AS dengan memihak kepada Ukraina.
Puncak upaya AS adalah ketika Presiden AS Joe Biden mengunjungi Arab Saudi pada Juli 2022 untuk menemui Raja Salman dan Putra Mahkotanya, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), serta sejumlah pemimpin negara Arab lain. Biden menggelar pertemuan puncak di Jeddah, Arab Saudi, dengan pemimpin Arab dari Mesir, Jordania, Irak, Qatar, Kuwait, Bahrain, Kesultanan Oman, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
AFP/MANDEL NGAN
Presien AS Joe Biden (keempat dari kiri) dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (kanan) menghadiri Pertemuan Puncak Keamanan dan Pembangunan atau Jeddah Security and Development Summit (GCC+3) di sebuah hotel di Jeddah, Arab Saudi, 16 Juli 2022.
Namun, pascapertemuan puncak tersebut, sikap sejumlah negara Arab itu, khususnya Mesir dan Arab Saudi, tidak berubah atas isu perang Ukraina-Rusia. Mereka tetap memilih netral. Sikap abu-abu atau netral negara-negara utama Timur Tengah tentu dilatar belakangi kepentingan masing-masing negara yang berbeda satu sama lain.
Mesir, misalnya, dalam posisi sulit terkait isu perang Ukraina-Rusia. Mesir sama-sama memiliki kepentingan strategis dengan AS dan Rusia. Mesir sampai saat ini masih mendapat bantuan rutin tahunan dari AS sejak tercapainya kesepakatan damai dengan Israel di Camp David tahun 1979. Semula Mesir mendapat bantuan 2,1 miliar dollar AS per tahun dari AS. Kini, bantuan yang diterima Mesir dari AS sebesar 1,3 miliar dollar AS per tahun. Alutsista utama Mesir sampai saat ini masih dipasok AS dan negara-negara Barat lainnya, seperti Perancis dan Jerman.
Sikap abu-abu yang diambil negara-negara sahabat AS tersebut menunjukkan gagalnya AS membujuk dan bahkan menekan negara-negara sahabatnya tersebut untuk lebih memihak Ukraina dan Barat.
Dalam waktu yang sama, ketergantungan Mesir terhadap Rusia cukup tinggi, terutama dalam pengadaan pangannya, yakni gandum. Sekitar 80 persen kebutuhan gandum Mesir diimpor dari mancanegara, yang sebagian besar dari Rusia dan Ukraina. Mesir pun telah menderita krisis ekonomi cukup berat akibat perang Ukraina-Rusia.
Meskipun pada awal meletusnya perang mereka tidak bisa mengimpor gandum dari Rusia dan Ukraina, Mesir tetap berharap suatu saat dapat mengimpor gandum lagi dari Rusia dan Ukraina. Ini karena harga gandum dari Rusia dan Ukraina dikenal kompetitif. Selain itu, dua negara tersebut secara geografis juga tidak terlalu jauh dari Mesir. Karena itu, Mesir tetap menjaga hubungan baik dengan Rusia ataupun Ukraina.
REUTERS/SERGEI CHIRIKOV/POOL
Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi (kiri) mendengarkan Presiden Rusia Vladimir Putin saat memberi pernyataan kepada pers seusai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Rusia-Afrika di Sochi, Rusia, 24 Oktober 2019.
Harapan Mesir itu ternyata tidak sia-sia. Harian Mesir, Al-Ahram, edisi Jumat, 24 Februari 2023, memberitakan bahwa Mesir berhasil mencapai transaksi baru untuk mengimpor 240.000 ton gandum dari Rusia dengan pendanaan impor dari Bank Dunia. Impor baru gandum dari Rusia tersebut akan tiba di Mesir pada April nanti.
Mesir juga tergantung kepada Rusia terkait pariwisata. Hampir 30 persen turis asing yang datang ke Mesir adalah turis asal Rusia. Mesir sangat berharap turis Rusia bisa datang lagi ke Mesir, cepat atau lambat.
Selain itu, Mesir pada era Presiden Abdel Fattah el-Sisi cenderung melakukan diversifikasi dalam pengadaan alutsistanya. Dalam hal ini, Mesir mencoba lagi memperoleh pasokan alutsistanya dari Rusia, seperti era tahun 1950-an dan 1960-an. Mesir saat ini masih terus berunding dengan Moskwa untuk mendapatkan pesawat pengebom strategis buatan Rusia, Sukhoi-35. Itulah faktor-faktor yang memaksa Mesir sampai saat ini masih bersikap netral dalam isu perang Ukraina-Rusia.
Tentu yang mengejutkan adalah sikap Israel. Sebagai sekutu strategis AS, Israel juga memilih bersikap netral. Israel ternyata memiliki kepentingan strategis untuk menjaga hubungan baik dengan Rusia, yakni terkait isu Suriah. Israel sampai saat ini bisa bebas membombardir sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah berkat adanya kesepahaman antara Israel dan Rusia.
Seperti diketahui, Iran adalah musuh bebuyutan Israel di Timur Tengah saat ini. Itu yang membuat Israel menolak tekanan AS agar memihak Ukraina.
AFP/JALAA MAREY
Tentara Israel menggelar latihan militer di wilayah pendudukan Dataran Tinggi Golan, yang berbatasan langsung dengan Suriah, 13 Januari 2021.
Sikap seperti Israel juga diambil Turki. Ankara memilih bersikap netral demi menjaga hubungan baik dengan Rusia untuk kepentingan strategis Turki di Suriah. Pasukan Turki yang bercokol di Suriah utara dan Suriah barat laut bisa lebih aman berkat kesepahaman Turki-Rusia selama ini.
Selain itu, Turki bersama Rusia dan Iran terlibat dalam satu forum, yakni Forum Astana, dalam upaya mencari solusi politik di Suriah. Maka, Turki memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan Rusia terkait isu Suriah.
Adapun Arab Saudi mengambil sikap netral terkait kepentingan Arab Saudi dalam menjaga stabilitas harga minyak dunia. Di sini, Arab Saudi dan Rusia memiliki titik temu kepentingan strategis, yakni menjaga keutuhan lembaga OPEC Plus, yang selama ini berjasa menjaga stabilitas harga minyak dunia. Arab Saudi dan Rusia adalah sama-sama anggota OPEC Plus.
Kisah Iran berbeda sama sekali. Iran terakhir ini semakin menunjukkan keberpihakannya kepada Rusia. Iran memasok pesawat tanpa awak (drone) ke Rusia untuk digunakan dalam perang melawan Ukraina. Bahkan, Iran diberitakan akan membuat pabrik drone di Rusia.
Keberpihakan Iran kepada Rusia tersebut diperkirakan sebagai ungkapan kekecewaan Iran kepada AS dan Barat yang sampai saat ini enggan mencapai transaksi kesepakatan nuklir baru dengan Teheran. Nasib perundingan nuklir Iran sampai saat ini masih terkatung-katung tanpa ada kejelasan masa depan.
Itulah latar belakang sikap negara-negara utama di Timur Tengah terkait isu perang Ukraina-Rusia. Namun, seperti harapan banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang ikut memikul dampak perang tersebut, negara-negara Timur Tengah juga berharap perang Ukraina-Rusia segera berakhir. Bagaimana caranya dan kapan perang tersebut bisa dihentikan, secara pahit harus dikatakan: belum ada titik terang menuju arah itu.