Ganti Rugi Lahir Batin Masyarakat Lokal Terdampak IKN
Pembangunan IKN tidak boleh menjadi sarana ”social exclusionary” atau sarana penyaringan masyarakat. Semua berhak hidup dan tinggal di IKN, termasuk masyarakat asli yang terdampak pembangunan. Ganti rugi harus memadai.
Oleh
ZAMZAM MUHAMMAD FUAD
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Kisah Hamidah (60) membuat hati nurani dan keprihatinan kita tergugah (Kompas.com 15/2/2023). Hamidah merupakan salah satu warga yang tergusur oleh proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun sudah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah, Hamidah masih kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman sama seperti sebelum digusur IKN. Kisah Hamidah menjadi bukti bahwa skema mitigasi masyarakat terdampak IKN belum memenuhi harapan masyarakat.
Strategi pemerintah dalam membangun tempat tinggal di IKN memang masih banyak yang perlu dikoreksi. Pemerintah belum menunjukkan keberpihakannya terhadap masyarakat lokal yang tanahnya tergusur IKN. Sementara itu, dalam hal menyiapkan hunian untuk aparat sipil negara (ASN) dan komersial di lokasi sekitar IKN, pemerintah malah menunjukkan semangat yang berapi-api.
Sebagai contoh, pada pertengahan 2022, Pemerintah Kota Balikpapan menggelar pameran perumahan bertajuk ”IKN Properti Expo”. Pameran perumahan terbesar yang pernah ada di Balikpapan ini diikuti 62 pengembang perumahan dan dibuka oleh pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang membacakan sambutan Menteri PUPR.
Kalau ditilik dari wacana yang berkembang, perumahan-perumahan itu bersifat komersial alias diperuntukkan bagi yang kuat membayar. Meskipun ada juga perumahan subsidi, itu tidak menjamin masyarakat menengah ke bawah bisa membelinya. Penelitian Abidin Kusno tentang rumah subsidi, 2012, menunjukkan demikian. Perumahan dalam pameran properti itu juga tidak dibangun untuk masyarakat yang tanahnya terdampak oleh pembangunan IKN.
Hingga tulisan ini dibuat belum ada wacana atau peraturan perundangan yang mengatur di mana masyarakat yang terdampak IKN direlokasi. Bahkan, sampai saat ini pemerintah hanya gencar mewacanakan membangun perumahan untuk pejabat negara yang nanti akan bekerja dan menghuni IKN. Dengan kata lain, hunian yang ditawarkan pengembang perumahan dan negara jelas bukan untuk masyarakat lokal yang terdampak pembangunan IKN.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Rania (57) berada di samping rumahnya di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (26/7/2022). Rania mengkhawatirkan pembangunan IKN Nusantara yang saat ini dilakukan memaksanya pindah dari tempat tinggalnya. Ia berharap pembangunan dilakukan tanpa memindahkan pemukiman warga setempat.
Masyarakat lokal khawatir
Di atas kertas, pemerintah berkomitmen tidak akan mengabaikan nasib masyarakat setempat yang telah tinggal terlebih dahulu di Sepaku, daerah calon IKN. Pemerintah telah menyiapkan beberapa skema yang akan ditawarkan kepada mereka. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Opsi-opsinya adalah pemberian ganti rugi berupa uang, opsi tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Beberapa masyarakat juga mengakui bahwa pemerintah telah mendata dan mengukur luas lahan kepemilikan warga. Namun, masyarakat tetap saja khawatir karena sampai tulisan ini ditulis belum ada kejelasan dari pemerintah di mana zona pemukiman yang akan dialokasikan untuk masyarakat setempat yang terdampak IKN.
Skema penggantian ganti rugi juga berpotensi tidak menyelesaikan masalah.
Kekhawatiran masyarakat ini bisa dimaklumi. Rilis pemerintah terkait zonasi IKN memang tidak menyebutkan secara eksplisit di mana tanah mereka setelah digusur IKN. Menurut Bappenas, ada empat zonasi IKN, yaitu kawasan inti pemerintahan (perkantoran dan perumahan ASN); kawasan timur (pusat bisnis); kawasan barat (pengembangan talenta, perguruan tinggi); kawasan utara (pertanian, ekowisata). Dalam empat zona itu tidak dijelaskan masyarakat terdampak IKN akan direlokasi ke mana.
Selain itu, skema penggantian ganti rugi juga berpotensi tidak menyelesaikan masalah. Sebab, skema tersebut biasanya hanya berlaku pada masyarakat yang memiliki dokumen resmi kepemilikan tanah. Padahal, sebagaimana terjadi di wilayah pedalaman, banyak juga masyarakat adat yang tanahnya belum mendapat pengakuan sebagai tanah adat. Banyak juga masyarakat adat yang surat kepemilikan tanahnya legalitasnya tidak diakui BPN (Kompas.id, 7/6/2022). Artinya, banyak masyarakat diprediksi bakal tersangkut isu kepemilikan tanah serta sulit mendapatkan solusi atas dampak pembangunan IKN.
Dari uraian singkat di atas bisa disimpulkan sementara bahwa pemukiman IKN seolah-olah baru diperuntukkan bagi kelas menengah yang mampu membayar perumahan komersial dan masyarakat lokal yang sebelumnya telah memiliki legalitas kepemilikan tanah.
Tawaran solusi
Maka, dalam hal pembangunan IKN, identitas masyarakat adat tidak cukup dipahami secara etnis-antropologis, tetapi juga didefinisikan berdasarkan kelas sosial ekonomi, yaitu masyarakat adat yang status kepemilikan tanahnya clean and clear, dan masyarakat adat yang status kepemilikan tanahnya bermasalah yang berpotensi tersingkir dari IKN.
Kalau pemerintah berkomitmen pada prinsip ”tidak ada masyarakat adat yang ditinggalkan” dalam pembangunan IKN, pemerintah juga harus memiliki solusi atas nasib masyarakat yang status kepemilikan tanahnya bermasalah. Lagipula, tidak ada masyarakat yang benar-benar kosong alat bukti terkait kepemilikan tanah.
Studi yang dilakukan Tania Murray Li menunjukkan bahwa masyarakat adat biasanya memiliki beragam bentuk bukti, seperti hak waris berdasarkan keturunan, yang asal usulnya bisa disilang-periksa. Terkadang mereka juga memiliki bukti setor pajak ke otoritas desa (Li, 2022). Atau, sebagaimana ditulis Kompas, mereka juga memiliki bukti klaim kepemilikan tanah berupa bukti segel dari desa (Kompas.id, 7/9/2022). Dari kacamata administrasi standar, mungkin semua itu bermasalah. Namun, dari kacamata keadilan, semua itu bisa saja menjadi alas bukti yang bisa saja diakui negara.
Oleh karena itu, relokasi masyarakat terdampak IKN dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut. Pertama, pemerintah perlu melakukan pendataan secara mendetail mana warga yang memiliki bukti kepemilikan yang clear and clean, mana warga yang bukti kepemilikannya dinilai belum cukup kuat secara standar administrasi. Pemerintah juga mendata mana warga yang memiliki tanah secara secara pribadi, mana warga yang memiliki tanah secara komunal.
Kedua, tanah bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga nonfisik. Tanah juga bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga sosial budaya (Utami and Sarjita 2021). Dengan demikian, selain memastikan masyarakat terdampak IKN mendapat ganti rugi uang serta jaminan pekerjaan, pemerintah juga wajib menyediakan pemukiman baru yang kesannya tidak memisahkan jalinan kekerabatan mereka.
Ketiga, pemerintah juga harus menyiapkan skema relokasi bagi warga yang tidak ingin hidup di lingkungan perkotaan sekitar IKN. Pertimbangannya kemungkinan besar adalah masyarakat tidak siap untuk hidup secara modern dan lebih memilih untuk berladang atau bercocok tanam. Untuk masyarkat seperti ini, pemerintah perlu menyiapkan program transmigrasi yang terukur dan terencana, yang lokasinya dianggap memiliki karakteristik serupa dengan tanah yang ditinggalkan. Kisah Hamidah seharusnya tidak terjadi kalau pemerintah juga menyiapkan skema ini.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Plang kawasan inti ibu kota negara terpasang di sekitar permukiman warga di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (14/3/2022).
Semua langkah yang disebutkan di atas tentu saja belum memadai untuk menyelesaikan semua persoalan. Namun, prinsipnya adalah bahwa pembangunan IKN tidak boleh menjadi sarana social exclusionary atau sarana penyaringan masyarakat. Semua berhak hidup dan tinggal di IKN, termasuk masyarakat asli yang terdampak pembangunan. Demikian juga masyarakat yang terpaksa pindah dari tempat tinggalnya di IKN harus mendapat ganti rugi lahir batin yang memadai.
Di hadapan media, Kepala Otorita IKN Bambang Susantono menyebutkan bahwa IKN adalah kota untuk semua, a city for all (Kompas.com 10/3/2022). Namun, sayangnya, sampai hari ini tanda-tanda ke arah sana belum tampak. Pembangunan IKN malah cenderung berkutat mengurusi kapitalis (mencari investor) dan mengurusi birokrat (membangun gedung dan perumahan untuk pejabat negara dan ASN). Sementara masyarakat terdampak IKN masih dalam situasi serba terombang-ambing nasib masa depannya.
Saat ini perhatian seluruh rakyat Indonesia sedang tertuju kepada pembangunan IKN. Dan, dari situ rakyat juga akan menilai, negara berpihak kepada siapa.