Kaum intelektual harus berperan dalam perumusan kebijakan srategis di Papua, seperti pembentukan KKR hingga bersolidaritas dengan massa untuk mendesak pemerintah dalam penyelesaian konflik Papua.
Oleh
ALFATH BAGUS PANUNTUN EL NUR INDONESIA
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Konflik Papua yang telah berlangsung sejak 1969 adalah salah satu yang terlama dalam sejarah manusia modern. Sebagai sumber utama ketidakstabilan politik, konflik yang disertai kekerasan merupakan penghambat besar bagi kemajuan suatu bangsa. Kasus Papua memiliki implikasi yang signifikan bagi peminggiran kemanusiaan, mulai dari banyaknya pengungsi domestik, kelaparan, tutupnya sekolah dan fasilitas kesehatan, hingga lumpuhnya aktivitas pemerintahan.
Ada sejumlah inisiatif pembangunan yang dilakukan pemerintah, termasuk otonomi khusus, pemekaran, dan infrastruktur. Namun, konflik di Papua terus terjadi dan cenderung semakin berkembang. Terbaru, kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyandera pilot dan 15 warga di Nduga (Kompas, 6/2/2023). Mereka masuk ke pusaran konflik meski sebenarnya tak terlibat. Dengan begitu, konflik Papua memiliki beragam motif dan derajat kompleksitas yang tinggi. Akibatnya, banyak korban jiwa dan perdamaian yang sulit terwujud.
Hal ini seolah menunjukkan bahwa pembangunan dan perdamaian merupakan dua realitas yang tak saling menyapa. Dengan kata lain, pembangunan yang kini gencar dilakukan belum mampu menjadi solusi. Jeda kemanusiaan yang baru-baru ini disepakati di Geneva, Swiss—selain karena tak melibatkan pihak-pihak yang berkonflik—dinilai tak mampu menyentuh masalah konkret Papua.
Berbagai kalangan, termasuk intelektual memberi pandangan terkait penyelesaian masalah Papua. Misalnya, LIPI (2009) menyebut ada empat akar masalah di Papua yang harus diselesaikan pemerintah, mulai dari marjinalisasi, kegagalan pembangunan, sejarah integrasi, hingga kekerasan negara dan pelanggaran HAM.
Terbaru, Hamid Awaludin dalam Jeda Kemanusiaan di Papua (Kompas, 5/1/2023) menawarkan formula self-restraint untuk menjembatani kepentingan pemerintah dan kelompok separatis. Masalahnya, Presiden belum merespons usulan untuk melakukan perundingan dengan kelompok separatis.
Menyikapi hal tersebut, apa saja motif konflik di Papua? Bagaimana kaum intelektual terlibat mengatasi konflik berkepanjangan di Papua?
SATGAS HUMAS NEMANGKAWI
Warga yang dievakuasi dari Distrik Kiwirok tiba di Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, (25/9/2021). Mereka dievakuasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pemulihan trauma setelah teror kelompok kriminal bersenjata Lamek Taplo pada 13 September 2021.
Motif konflik Papua
Konflik Papua sering dikaitkan dengan faktor historis integrasi Irian Barat ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan studi yang menyebut konflik Papua dipengaruhi beberapa hal. Misalnya, masa lalu Papua Barat sebagai bagian dari koloni belanda dan hubungannya dengan Indonesia serta Pepera 1969 (Viartasiwi, 2018) hingga kegagalan dekolonisasi (Chauvel, 2004). Ini menunjukkan bahwa konflik Papua bermula dan langgeng akibat perseteruan negara melawan separatis yang tak kunjung usai.
Namun, konflik Papua tak melulu antara pemerintah dan kelompok separatis. Faktanya, konflik juga terjadi antarsesama orang asli Papua (OAP) dan sesama warga negara (OAP melawan non-OAP) (Indonesia, 2022).
Kajian Gugus Tugas Papua UGM (2022) menunjukkan bahwa konflik Papua didorong oleh empat motif dominan.
Pertama, motif sejarah yang menyangkut aspirasi kemerdekaan. Sebagian besar konflik kekerasan di Papua berkaitan erat dengan kekerasan, represifitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sejarah integrasi ke Indonesia (Meteray dan Wabiser, 2020). Masalah semakin rumit sebab kisah pilu tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara negara tak kunjung mengobati luka yang menyejarah.
Sebagian besar konflik kekerasan di Papua berkaitan erat dengan kekerasan, represifitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sejarah integrasi ke Indonesia.
Kemudian, motif politik lokal yang behubungan erat dengan kontestasi politik di daerah, seperti pilkada dan perekrutan birokrasi. Pascareformasi, pemekaran menjadi strategi yang dianggap jitu untuk mengindonesiakan Papua, tetapi menimbulkan banyak ekses.
Dalam kasus pilkada, para calon tak siap menerima kekalahan. Hasilnya, kekerasan terjadi dalam setiap tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran hingga penetapan (Nugroho, 2022). Hal tersebut juga berlaku pada proses perekrutan birokasi yang jauh dari prinsip meritokrasi (Indonesia, 2022). Hasilnya mudah ditebak, banyak daerah hasil pemekaran yang pemerintahannya tidak aktif.
Selanjutnya, motif ekonomi yang dipengaruhi oleh kontestasi sumber daya. Hal tersebut dapat dengan mudah dilacak melalui konflik antara masyarakat dan aparat keamanan yang terjadi di seputar aktivitas pengamanan untuk proyek investasi. Selain itu, terjadi pula perebutan sumber daya ekonomi antarmasyarakat, seperti tanah atau lahan hingga tambang ilegal (Yanuarti, 2016).
Terakhir, motif sosial-budaya yang terkait dengan masifnya arus migrasi ke Papua. Tak dapat dimungkiri, banyaknya pendatang ke Papua telah memarjinalkan orang asli Papua (OAP) dan memunculkan sentimen. Kondisi demografis pun menjadi timpang di mana jumlah pendatang kini diprediksi sudah melebihi jumlah OAP (Pamungkas, dkk, 2022). Implikasinya besar bagi OAP, terutama dalam arena pertarungan politik, perdagangan, hingga kepemilikan lahan.
FABIO MARIA LOPES COSTA
Salah satu dari lima rumah dinas aparatur sipil negara yang dibakar oknum tak dikenal di Distrik Elelim, ibu kota Kabupaten Yalimo, Papua, Selasa (24/8/2021). Yalimo dilanda konflik Pilkada pada Juli-Agustus 2021.
Tanggung jawab intelektual
Sudah seharusnya intelektual memiliki peran kontributif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan karakter dasar intelektual yang diharapkan mampu berpikir bebas dan terlibat dalam pemecahan masalah-masalah kemanusiaan (Lay, 2019). Selain itu, intelektual juga harus berani menyuarakan kebenaran (Said, 1998).
Konflik Papua merupakan persoalan kemanusiaan yang hingga kini belum terpecahkan. Ini dapat terjadi karena banyak di antara intelektual terjebak ”banalitas intelektual”. Maksudnya, terjadi pendangkalan pemikiran di kalangan intelektual yang mengakibatkan kemerosotan kualitas akademik dan komitmen pada ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan (Nugroho, 2012). Hal tersebut juga yang dirasa membuat daya tawar intelektual terhadap kekuasaan lemah.
Konflik Papua merupakan persoalan kemanusiaan yang hingga kini belum terpecahkan. Ini dapat terjadi karena banyak di antara intelektual terjebak ’banalitas intelektual’.
Perguruan tinggi sebenarnya berpeluang untuk menghentikan—atau setidaknya mencegah meluasnya—konflik sekaligus mempromosikan perdamaian di Papua. Dengan kemampuannya, kaum intelektual dapat melakukan intervensi melalui penyebaran gagasan, terlibat dalam perumusan kebijakan strategis, hingga bersolidaritas dengan massa untuk mendesak pemerintah.
Tiga tawaran
Pada era reformasi dan sesudahnya, pandangan umum tentang Papua tak banyak berubah. Papua tetap dianggap sebagai wilayah konflik dan terbelakang. Meski telah dimekarkan menjadi enam provinsi pun tak berarti bahwa konflik telah usai dan masyarakat punya akses terhadap sumber daya ekonomi. Kenyataannya, masalah distribusi kesejahteraan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu jauh lebih penting.
Tulisan ini merupakan refleksi sekaligus otokritik atas keterbatasan kaum intelektual, utamanya dalam mengatasi konflik Papua. Intelektual memang boleh salah, tetapi tak boleh bohong. Dengan begitu, laku-tindaknya harus mengimani kejujuran dan kebenaran bersikap.
Rakyat Papua telah begitu lama menderita akibat konflik berkepanjangan. Oleh sebab itu, perlu terobosan kebijakan yang didorong intelektual agar menyentuh persoalan konkret Papua.
Pertama, mengupayakan pemekaran sebagai alat transformasi konflik. Hal tersebut perlu diterjemahkan dalam berbagai aspek, mulai dari politik demografis (pengaturan relasi antara OAP dan non-OAP); proteksi tanah adat dan hak ulayat; pemberdayaan ekonomi lokal; serta kombinasi ”afirmasi-meritokrasi” dalam perekrutan politik dan birokrasi (Lele, 2022).
Kedua, mendesak pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta pengadilan HAM. Keberadaan KKR dan pengadilan HAM adalah manifestasi keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan luka masa lalu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan maaf Presiden, di mana peristiwa Wasior (2001-2002) dan peristiwa Wamena (2003) di Papua diakui tergolong pelanggaran HAM berat.
Ketiga, mendorong pemerintah agar melakukan perundingan dengan kelompok separatis, termasuk membuka opsi referendum. Meski tak populer, hal tersebut dapat dilakukan ketika alternatif sebelumnya menemui jalan buntu. Pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya tak perlu antipati, bahkan merasa kalah. Sebab, tak perlu ada yang dikhawatikan apabila pemerintah telah bekerja dan hadir di dalam imajinasi dan kenyataan hidup rakyat Papua.
Akhirnya, semua insiatif di atas harus didedikasikan untuk kemajuan rakyat Papua. Perjuangan untuk mencapai dan memenangkan perdamaian merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan melibatkan partisipasi banyak individu dan kerja kolektif.
Keteguhan itu yang dibutuhkan sebagai pertanggungjawaban intelektual di tengah gempuran keraguan penyelesaian konflik Papua. Hanya dengan cara ini, kita berpeluang membuka babak baru bagi terwujudnya Papua yang lebih damai untuk esok dan seterusnya.