Agama demi Kemanusiaan
Penganugerahan doktor honoris causa untuk ketiga tokoh ini bermakna penting untuk dunia global. Gus Yahya, Sudibyo Markus, dan Kardinal Ayuso menghadirkan sebuah model kepemimpinan keagamaan yang mengusung kultur dialog.
Senin, 13 Februari 2023, akan dicatat sebagai hari penting dalam sejarah dialog antaragama global dan peran Indonesia di dalamnya.
Pada hari itu tiga tokoh agama dan kemanusiaan, yakni KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Sudibyo Markus, dan Kardinal Miguel Ayuso, menerima gelar doktor kehormatan dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Untuk para tokoh ini, gelar doktor pada dirinya tentu bukan hal paling penting. Yang jauh lebih signifikan adalah komitmen mereka untuk bertemu dan membangun langkah untuk kemanusiaan di tengah dunia yang terkoyak dan menjerit. Perjumpaan ketiga tokoh ini juga langka dan penting karena tak hanya bersifat pribadi, tetapi juga mewakili kekuatan global dari agama dan peran Indonesia untuk kemanusiaan universal.
Kardinal Ayuso mewakili jaringan Gereja Katolik global yang di bawah Paus Fransiskus sedang giat-giatnya mengedepankan perjumpaan (encounter) dan persaudaraan (fraternity) kemanusiaan universal, juga dengan memberi perhatian pada kawasan dunia yang terpinggirkan.
Baca juga : Implementasikan Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan dengan Kerja Sama Umat Beragama
Baca juga : Persaudaraan Umat Manusia
Energi perjumpaan dan komitmen yang inklusif juga mengalir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) yang mengusung Islam sebagai rahmatan lil-alamin, agama yang menjadi berkah untuk seluruh alam semesta. Dalam keterlibatan inklusif dan kemanusiaannya, termasuk bersama KH Abdurrahman Wahid, Gus Yahya telah meretas batas-batas yang dikonstruksi secara rutin oleh banyak pihak dan lembaga, terutama konstruksi yang melanggengkan keliyanan kelompok-kelompok yang berbeda.
Sudibyo Markus, Ketua PP Muhammadiyah (2005-2010), adalah seorang pionir dalam keterlibatan humanitarian Muhammadiyah, yang berperan dalam memajukan kemanusiaan dan mengutuhkan relasi yang koyak antarbangsa, antara lain lewat misi perdamaian di Mindanao dan Gaza.
Agama yang keluar dari kepentingan diri
Ketiga tokoh ini mewakili sebuah dinamika keagamaan yang menolak untuk hanya berkutat pada kelompok sendiri, melainkan bergerak keluar untuk kehidupan publik dan kepentingan bersama.
Gerak ini melampaui penalaran teologis dan doktriner internal, dan terbuka mendalami perspektif humanisme religius, dan bersatu padu demi keterlibatan humanitarian yang nyata untuk krisis-krisis dunia. Pemikiran keagamaan tetaplah penting, tetapi diarahkan pada kehidupan publik yang plural dan sedang menjerit (agonistik), bahkan mestinya berasal dari tanggapan terhadap jeritan dan duka ini.
Teologi publik inter-religius yang humanitarian ini sudah dimulai oleh Dokumen Abu Dhabi (2019) yang ditandatangani bersama oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar (al-Ahmed Thayeb) untuk menanggapi derita kemanusiaan yang nyata: pengungsi, korban perang, orang miskin, mereka yang terdiskriminasi, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban.
Iman adalah sebuah kata kerja dan tindakan (amal), dan tak bisa dijalankan tanpa komitmen kemanusiaan ini. Manusia yang beriman kepada Tuhan memiliki kewajiban mencintai sesama, semua umat manusia, dan seluruh ciptaan. Dalam dokumen ini kedua tokoh ini mengangkat kewargaan global (global citizenship) sebagai konteks dan implikasi dari teologi Islam dan Kristiani.
Bagi banyak orang, komitmen agama seperti ini barangkali bukan barang baru, atau sudah semestinya. Namun, komitmen ini menjadi sangat mendesak dalam konteks dunia global sekarang.
Dalam sebuah esai yang tajam, ”Death or Glory in Russia”, Slavoj Zizek menengarai bahwa kegilaan ideologis (ideological madness) yang terjadi di Rusia sekarang ternyata didukung oleh gerakan fundamentalisme agama yang secara terbuka mengagung-agungkan kematian demi mencapai status god-like (menjadi mirip dengan Tuhan).
Fundamentalisme ini tentu saja telah menelikung teologi deifikasi (teosis) dalam tradisi Kristiani yang sebetulnya mulia, yaitu bahwa manusia dipanggil untuk bertumbuh agar semakin menyerupai Tuhan sendiri. Alih-alih menjunjung kemanusiaan, kata Zizek, agen-agen propaganda Rusia menyatakan nilai dan makna hidup manusia itu terlalu dilebih-lebihkan (Project Syndicate; The Jakarta Post 4/2/2023).
Dialog sosial terjadi lewat kesempatan-kesempatan di mana warga berbincang dan bercakap-cakap, mengenali dan melampaui perbedaan-perbedaan, dan kemudian disatukan dalam perjuangan demi kebaikan umum.
Membangun dialog sosial
Gus Yahya, Sudibyo Markus, dan Kardinal Ayuso menghadirkan sebuah model kepemimpinan keagamaan yang berbeda, seperti yang terpatri dalam Dokumen Abu Dhabi, yaitu mengusung kultur dialog sebagai jalan (the adoption of a culture of dialogue as the path); saling bekerja sama sebagai cara bertindak (mutual cooperation as the code of conduct), dan kesalingpahaman sebagai metode dan ukuran (reciprocal understanding as the method and standard).
Salah satu arah yang dituju dengan gerak ini adalah terbangunnya dialog sosial dan persahabatan dalam masyarakat yang lebih luas, seperti yang ditekankan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti.
Dialog sosial terjadi lewat kesempatan-kesempatan di mana warga berbincang dan bercakap-cakap, mengenali dan melampaui perbedaan-perbedaan, dan kemudian disatukan dalam perjuangan demi kebaikan umum. Dialog sosial ini akan menjadi modal untuk membangun konsensus-konsensus dalam masyarakat yang plural.
Dalam hal ini, pertemuan tiga tokoh itu mungkin singkat, tetapi peristiwa ini bisa sangat signifikan ke depan, karena pertemuan itu menimbulkan sukacita, dan akan menjadi kekuatan lembut dari dialog ini ke depan.
Ada begitu banyak orang dan pihak yang terlibat dalam sukacita dalam acara di UIN Sunan Kalijaga itu. Sukacita ini lahir ketika kita menghormati orang lain secara sungguh-sungguh. Pertemuan dan sukacita ini akan membantu terbentuknya ”perjanjian sosial” (social covenant), di mana tidak ada seorang pun direndahkan, dihina, dan ditolak.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan pentingnya kebaikan (kindness) yang sering kali luntur dalam interaksi antarwarga, terutama di ranah publik politik. Selain itu, signifikansi peristiwa ini perlu ditempatkan dalam perspektif jangka panjang, yaitu kekuatan lembut dan tak terlihat dari dialog, seperti yang ditekankan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti.
Dunia kita bergerak serba cepat, tetapi dialog itu membutuhkan kesabaran dan ritme yang pelan.
Peradaban dunia kita, termasuk di Asia Tenggara dan Nusantara, dibentuk oleh perjumpaan-perjumpaan pelbagai kultur dan agama yang sangat panjang; di mana perjumpaan yang berbuah sering berdampingan dengan pelbagai ketegangan juga. Di mana para pelaku dialog ini juga membutuhkan ruang untuk terus berubah mengatasi pelbagai kesempitan dari zaman dan konteksnya masing-masing. Di mana lembaga-lembaga yang membawa perubahan positif pun sering didera oleh kelemahan, tetapi terus kreatif dan berkomitmen untuk meneruskan proses dialog ini.
Dialog sosial yang kompleks, panjang, dan sabar ini sebetulnya menjadi ciri khas interaksi antaragama di Indonesia. Penganugerahan doktor honoris causa untuk ketiga tokoh ini bermakna karena mengangkat peran khas dari Indonesia, sebuah masyarakat yang besar dan kompleks, tetapi terus berkomitmen merawat keberagaman dalam bingkai kesatuan dan kemanusiaan. Ini penting untuk dunia global kita sekarang.
Semoga peristiwa ini menyadarkan kita akan kekayaan kehidupan keagamaan di Indonesia, dan menghindarkan kita dari godaan politik identitas yang masih sering mendera kita.
A Bagus Laksana Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta