Mendongkrak Inovasi lewat ”Makerspace”
Hadirnya ”makerspace” di setiap jenjang pendidikan merupakan langkah awal menciptakan lingkungan atau habitat bagi lahirnya inovasi. Kegiatan selanjutnya di level Kemendikbudristek adalah seleksi hasil inovasi tersebut.

Tulisan Terry Mart (Kompas, 2/2/2023) mengungkapkan pentingnya kreativitas untuk melahirkan inovasi. Terry Mart prihatin dengan tak adanya program peningkatan kreativitas dalam pendidikan kita.
Terry Mart, seorang ilmuwan fisika teori, juga khawatir dengan masa depan universitas riset yang akhir-akhir ini dipandang tergerus arus pragmatis dan vokasional lewat program Kampus Merdeka. Saya dengan latar belakang rekayasawan dan pengajar melihat dari perspektif yang berbeda.
Kita seharusnya sudah sepakat bahwa ilmu dasar, ilmu terapan, dan aplikasinya di masyarakat sama-sama penting bagi masa depan bangsa. Kemakmuran bangsa tidak bisa hanya diukur dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya.
Baca juga: Mendongkrak Inovasi Indonesia
Namun, harus disadari bahwa kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan harus tersedia secara terus-menerus. Kebutuhan dasar ini pemenuhannya dengan aktivitas perdagangan dengan menjual sumber daya dan/atau mengolah sumber daya menjadi produk dengan nilai tambah.
Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, sebagian dari sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan nonfisik di masa depan, salah satunya dengan riset dasar. Kebutuhan jangka pendek tetaplah pada pemenuhan kebutuhan mendesak dengan riset terapan yang dipandang bisa menghasilkan produk bernilai ekonomi dengan segera.
Ringkasnya, untuk bisa melakukan riset dasar, dibutuhkan pembiayaan yang bersumber pada hasil-hasil riset terapan jangka pendek yang menguntungkan secara komersial. Sumbernya bukan hanya dari riset-riset terapan, melainkan juga hasil pengembangan kreativitas yang bisa jadi tanpa riset. Pengembangan kreativitas inilah yang menurut saya perlu dikembangkan secara masif sehingga menjadi inovasi yang masif pula.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2Fb176da62-f135-4649-8326-4761f445314e_jpg.jpg)
Tim Wasaka dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimatan Selatan, memperbaiki mobil prototipe mereka yang dinamai Bekantan Hamuk dalam kejuaraan mobil hemat energi Shell Eco-Marathon Asia 2017 di Changi Exhibition Center, Sangapura, pertengahan Maret 2017.
Kemampuan mencipta
Taksonomi Bloom yang telah dimodifikasi (Anderson dan Krathwohl, 2001) menempatkan kemampuan mencipta pada posisi teratas pada ranah kognitif/intelektualitas. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dan aktivitas mencipta merupakan kompetensi paling penting dalam diri manusia. Dengan kompetensi ini, memungkinkan manusia mencipta hal baru di antaranya produk fisik dan produk jasa yang digunakan sendiri dan diperniagakan.
Kemampuan mencipta adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki manusia. Kebanyakan dunia usaha diinisiasi dari hasil ciptaan yang kemudian dikomersialkan. Hasil ciptaan yang dikomersialkan ini yang saat ini disebut inovasi.
Jika kebaruan (novelty) menjadi sarat dari inovasi, perlu dilihat kebaruan dalam perspektif yang luas. Kebaruan tidak hanya dalam produk, tetapi juga dalam metode melahirkan produk, metode mendeseminasi produk bahkan sampai efisiensi dalam melahirkan produk. Berbagai bidang kehidupan masih terbuka luas untuk dilakukan inovasi, baik melahirkan gagasan dan produk baru maupun memperbaiki gagasan dan produk yang sudah ada.
Inovasi dilahirkan dari perpaduan antara ranah intelektual pada level mencipta, ranah ketrampilan motorik pada level artikulasi, dan didukung ranah perasaan pada level terbentuknya karakter.
Inovasi menjadi perhatian serius setiap negara karena banyak negara bisa maju karena inovasi. Dari sini perlu diciptakan lingkungan yang sesuai untuk lahirnya inovasi.
Dalam dunia pendidikan, harus disadari bahwa inovasi tidak bisa dihasilkan dari peserta didik yang hanya memiliki kemampuan intelektual. Inovasi dilahirkan dari perpaduan antara ranah intelektual pada level mencipta, ranah ketrampilan motorik pada level artikulasi, dan didukung ranah perasaan pada level terbentuknya karakter. Artinya, pendidikan yang dilakukan seyogianya mampu mencetak peserta didik yang memiliki kecakapan sampai level tertinggi untuk semua ranah, baik intelektualitas, perasaan, maupun keterampilan motorik.
Pendidikan usia dini baik kelompok bermain maupun taman kanak-kanak lebih banyak melatih keterampilan motorik dan perasaan, di mana banyak aktivitas fisik yang menyenangkan dan membentuk karakter. Kegiatan ini termasuk keterampilan tangan sebagai pembejaran mencipta sejak dini. Hasil ciptaan ini berupa lukisan, kriya, alat sederhana, dan bentuk lain.
Namun, kegiatan ini berkurang drastis ketika memasuki pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, kecuali untuk sekolah vokasi dan perguruan tinggi vokasi. Hal ini mengikuti pendapat bahwa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi di luar vokasi dianggap sebagai pendidikan akademik yang mengutamakan keterampilan intelektual.
Baca juga: Merdeka Belajar untuk Ekosistem Investasi
Saya, sebagai kepala Center for Innovation of Medical Equipment and Devices (CIMEDs) UGM, pernah membimbing siswa magang dari British School Jakarta untuk level setara SMA. Sekolah tersebut menerapkan kurikulum yang kompatibel dengan sistem pendidikan Inggris dan internasional.
Yang menarik, siswa tersebut memiliki kemampuan dasar mencipta karena sekolah tersebut memiliki fasilitas untuk mencipta. Siswa dibekali kemampuan menggunakan perangkat lunak desain, alat pembuatan purwarupa seperti 3D print, mesin potong laser yang dikontrol komputer, dan peralatan untuk membuat sistem kontrol seperti project board rangkaian elektronik. Saya bisa katakan bahwa pembejaran mencipta merupakan salah satu kegiatan yang tetap diselenggarakan sesuai dengan jenjang pendidikan dan perkembangan teknologi.
Pengalaman lain adalah membimbing riset mahasiswa pendidikan strata dua bidang Biomedical Engineering dari University of Groningen dan University of Twente, Belanda, di CIMEDs UGM. Kemampuan mereka dalam riset didukung oleh keterampilan motorik dalam mencipta alat bantu riset dan produk baru berdasarkan riset. Hal ini menunjukkan bekal keterampilan motorik yang cukup dalam pendidikannya.

Pentingnya “makerspace”
Perguruan tinggi yang melahirkan banyak inovasi selalu menyediakan makerspace yang dikelola mahasiswa dan fakultas. Mahasiswa, dosen, dan staf mewujudkan gagasan-gagasan baru menjadi nyata. Gagasan ini berupa hasil penelitian, hasil pembelajaran, hobi, sampai suvenir. Sumber daya dan perlengkapan yang ada memungkinkan pengguna melakukan pemodelan dan simulasi, pembuatan purwarupa dan pengukuran. Kegiatan-kegiatan curah gagas dan berbagi ide juga dilakukan guna memupuk kematangan berinovasi bagi pengguna.
Makerspace merupakan ruang-ruang dengan fasilitas untuk mencipta. Ini didukung oleh tenaga trampil yang berfungsi membantu, mendidik dan memberi umpan balik kepada pengguna.
Perguruan tinggi yang melahirkan banyak inovasi selalu menyediakan makerspace yang dikelola mahasiswa dan fakultas.
Salah satu contoh makerspace di Massachusetts Institute of Technology, MIT Edgerton Center, disediakan untuk memperluas pembelajaran sambil mengerjakan (learning by doing). Nama Edgerton diabadikan dalam nama makerspace ini penghormatan atas kontribusinya sebagai inventor, entrepreneur, dan profesor di MIT. Bahkan, makerspace di MIT terdapat di beberapa departemen.
Di University of Cambridge, Dyson Center merupakan makerspace yang disediakan untuk mengembangkan kreatifitas dan antusiasme mahasiswa dalam mencipta atau mewujudkan gagasan. Nama Dyson dari James Dyson adalah seorang inventor dan inovator yang sukses. Mahasiswa bisa berpikir bersama, bertukar gagasan, merancang, melakukan eksperimen dan mewujudkan. Mereka diberi akses pada fasilitas membuat purwarupa, memakai peralatan manufaktur tradisional maupun modern seperti mesin-mesin CNC, mesin 3D print dan pemotong laser.
Perkembangan akhir-akhir ini, perpustakaan yang mulai berkurang pengunjungnya akibat dari majunya teknologi digital memunculkan gagasan menambah makerspace di perpustakaan (Robert Curry, Library Review, 2017). Meski dalam pelaksanaannya masih banyak keterbatasan dari sisi ketersediaan tempat, peralatan, pembiayaan, dan sumber daya manusia yang umumnya merupakan pustakawan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F01%2F05%2Fcd2bc9ed-756c-4899-8e7e-686a66f1911a_jpg.jpg)
Rak buku yang menjulang tinggi menjadi dekorasi di Perpustakaan Nasional di Jakarta Pusat, Rabu (2/1/2019).
Menghadirkan makerspace di setiap jenjang pendidikan menjadi wahana menyalurkan dan mengembangkan kreativitas dengan mencipta. Kebijakan satu sekolah satu makerspace dilanjutkan dengan satu sekolah satu inovasi unggulan per tahun bisa jadi strategi awal.
Kegiatan selanjutnya di level Kemendikbudristek adalah melakukan seleksi hasil inovasi lewat kompetisi hasil inovasi antar makerspace, menugaskan kolaborasi beberapa makerspace untuk proyek-proyek tertentu, pengurusan hak kekayaan intelektual di bawah koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual sampai dengan menyelenggarakan inkubasi bisnis bagi inovasi yang prospektif.
Makerspace perlu dilengkapi dengan peralatan untuk mencipta, mentor dan staf pendukung untuk mencipta, dan kegiatan-kegiatan lokakarya (workshop) dan pelatihan mencipta. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di dalam makerspace, seperti melahirkan gagasan, menyusun konsep awal, menguji konsep, membuat purwarupa, sampai penyiapan pasar.
Baca juga: Riset dan Inovasi di Simpang Jalan
Makerspace ini tidak hanya memfasilitasi karya dalam bentuk benda, tetapi juga karya pemikiran berbentuk gagasan bisnis, naskah, seni dan sebagainya. Berbeda dengan laboratorium yang luaran utamanya berupa karya ilmiah, makerspace merupakan laboratorium terapan yang luaran utamanya berupa hasil inovasi.
Hadirnya makerspace di setiap jenjang pendidikan merupakan langkah awal menciptakan lingkungan atau habitat bagi lahirnya inovasi. Kegiatan mencipta pada pendidikan dini perlu diteruskan pada pendidikan dasar, menengah, dan tinggi difasilitasi makerspace di setiap jenjang pendidikan.
Uji coba dalam jumlah terbatas pada setiap jenjang pendidikan perlu dilakukan sebagai langkah awal. Bagi perguruan tinggi merupakan suatu keharusan memiliki makerspace karena mereka harus menyiapkan lulusan yang siap berkarya termasuk karya novasi.
Suyitno, Academic Leader 2022 Bidang Sains dan Teknologi, Dirjen Diktiristek; Wakil Rektor Akademik Universitas Tidar (Untidar)

Suyitno