Pengalaman Berpancasila Ria di Museum Wayang Beber
Ya, di negeri ini, masih ada orang yang mengutamakan persamaan dan mengabaikan perbedaan. Kunjungilah ”Museum Wayang Beber Sekartaji” Bantul agar lebih yakin akan hal ini. Terima kasih dalang Indra.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Bagi saya yang sudah mulai berumur ini, saya cenderung membaca tanda-tanda perubahan zaman secara pesimistis, misalnya dari sudut busana. Atau dari sudut politik, ngapain teman-teman Bali memuji perdana menteri India, seolah-olah dia tidak pernah mengambil tindakan diskriminatif.
Ya! Saya membaca fenomena-fenomena ini sebagai pernyataan identitas yang menandakan kemerosotan kebinekaan di kalangan tertentu di Indonesia.
Untunglah, bukan semua tanda zaman bersifat negatif. Kadang-kadang justru terlihat tanda-tanda penguatan tradisi besar Nusantara ini yaitu tradisi yang lebih mengutamakan persamaan daripada perbedaan; tradisi yang mampu meramu perbedaan sedemikian rupa sehingga yang tampil hanyalah unsur-unsur pokok persamaannya: ketuhanan dan kemanusiaannya.
Beberapa hari yang lalu, ketika di Yogyakarta, saya sempat bertemu dengan salah seorang tukang ramu khas Indonesia itu. Namanya Indra Suroinggenom, tinggal di Kanutan di Bantul, selatan kota Yogyakarta. Pekerjaannya? Dia mengelola museum!! Ya, teman-teman, dia mengelola dan bahkan memiliki sebuah museum. Tetapi bukan museum biasa.
Kalau namanya museum, kesannya megah, bukan? Bisa berupa gedung besar yang didirikan sebagai hasil kesadaran negara tentang salah satu segi kehidupan historisnya. Museum seperti itu biasanya sepi pengunjung dan dokumen historisnya dilapisi debu. Museum bisa juga merupakan museum swasta dan mengandung koleksi lukisan seorang pemilik rupiah ber-T-T-an. Saking mewahnya, para jelata pun tidak berani masuk ke dalamnya.
Museum Indra berciri lain. Ia bukan museum benda mati, melainkan museum budaya hidup. Ketika kami mengunjunginya, museum itu tidak hanya terletak di pengujung jalan kecil, tetapi saat dikunjungi terkesan ”tutup”. Tutup justru karena ”hidup”.
Si dalang Indra, ”pemiliknya”, telah berkeputusan bersemedi di ”senthong” museumnya selama tiga hari. Artinya, kami bisa bertemu dengannya hanya setelah dia terbangun dari tapa bratanya. Tepat seperti di cerita pewayangan.
Memang, museumnya berdiri di seputar ”pewayangan”. Bernama ”Museum Wayang Beber Sekartaji”. Disebut wayang beber, kata Indra, dalam artian yang sebenarnya. Bukan beber sebagaimana hadir di Pacitan, sebagai peninggalan tok, melainkan ”beber” sebagai wayang hidup.
Sambil diulurkan, Indra menjelaskannya dengan membeberkan ke kanan dan ke kiri salah satu dari puluhan wayang beber yang dipajang di museumnya dan langsung kami mendengarnya mengisahkan awal cerita selaku dalangnya.
Ya! Museum wayang beber Bantul ini mempunyai koleksi wayang beber yang dihidupkan setiap saat oleh dalang Indra dan komunitas peminat muda di sekitarnya.
Apakah Museum Wayang Beber dalang Indra ditunjang oleh bantuan pemerintah? Kalau ditanyakan, Indra agak bingung menjawabnya. Dia dibantu dalam bentuk ”pegawai gajian” yang numpang bekerja sebagai titipan beberapa waktu di museumnya. Namun, selain itu, museumnya dibiayai sepenuhnya oleh hasil jerih payah dalang Indra sendiri, dibantu beberapa penunjang setianya.
Kenapa? Kalau saya tidak salah mengerti, dalang Indra pentas wayang tanpa memandang sekat-sekat yang berlaku di masyarakat sekitarnya. Di Bantul, katanya, penganut agama yang berbeda memang hidup damai berdampingan, tetapi secara terpisah. Mereka menghindari campuran anutan di dalam bidang budaya.
Bagi dalang Indra, hal ini justru tidak masalah. Tahukah bagaimana dia membenarkan sikap itu: ”Wayang adalah warisan dari mbah-mbah (leluhur) saya. Sedari zaman Borobudur, para mbah itu mengisahkan nilai hidupnya dengan sarana sesuai zamannya. Ada kalanya mereka melakukan itu dengan pahatan relief batu, ada kalanya di dalam bentuk wayang beber ataupun wayang biasa.”
Jadi, baginya, wayang adalah benang merah sejarah Indonesia dan Jawa. Berbagai rupa, tetapi pesan selalu serupa: meramu perbedaan menjadi persamaan.
Apakah mengherankan bisa tema favorit koleksinya mencerminkan pendekatan itu? Di antara sekian puluh wayang beber, sekian puluh lontar, apa cerita favoritnya: Sutasoma, di mana diterakan pertama kalinya moto Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.
Bahkan Indra, dibantu siswa desain komunikasi visual ISI Yogyakarta, telah menciptakan suatu video animasi bertema ”Pancasila”. Dialamatkan untuk anak-anak umur 5-8 tahun, menurut saya animasi tersebut, karena begitu halus dan cantiknya selain bermakna, semestinya wajib ditonton secara berkala oleh semua anak Nusantara.
Ya, di negeri ini, masih ada orang yang mengutamakan persamaan dan mengabaikan perbedaan. Kunjungilah ”Museum Wayang Beber Sekartaji” Bantul agar lebih yakin akan hal ini. Terima kasih dalang Indra.