Pelafalan akronim dari bahasa asing (Inggris) oleh penutur bahasa Indonesia cenderung bermasalah dan memunculkan perdebatan. Penyebab perdebatan ini dimulai dari ketidakpatuhan penutur pada penyingkatan.
Oleh
Kris R Mada
·1 menit baca
Apa saja bisa diributkan oleh warganet Indonesia. Salah satunya cara menyebutkan kelengkapan dalam pembayaran digital. Pemilik merek sudah menegaskan cara menyebutnya. Sebagian orang merasa yakin cara pelafalan mereka lebih benar.
Betul, ini perkara cara pelafalan QRIS. Bank Indonesia sebagai pemilik merek itu menyebut, cara bacanya: kris. Sebagian orang berpendapat, caranya: kyu ris. Sebab, menurut BI, QRIS adalah akronim dari Quick Response Code Indonesian Standard. Jelas, jenama dalam bahasa Inggris.
Perdebatan ini dimulai dari ketidakpatuhan pada penyingkatan. Jika memang dimaksudkan menjadi singkatan jenama dalam bahasa Inggris, alih-alih QRIS, seharusnya memakai QRCIS. Lihatlah High Mobility Multipurpose Wheeled Vehicle yang menjadi HMMVV dan lebih dikenal sebagai mobil Humvee di Amerika Serikat.
Masalah di QRIS, kata itu dipakai untuk menyingkat jenama dari bahasa Inggris, sementara PUEBI jelas untuk bahasa Indonesia.
Lihat pula qualifying recognised overseas pension scheme (QROPS) di Inggris. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa ada UN ESCAP untuk United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific atau UNESCO untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Tidak lazim
Namun, di Indonesia, sudah biasa ada singkatan yang kurang lazim untuk banyak orang. Badan Pemeriksa Keuangan memakai hapsem untuk menyingkat hasil pemeriksaan sementara. Di Polri, ada paminal untuk pengamanan internal, walpri untuk pengawal pribadi, atau rupatama untuk ruang rapat utama. Di sekolah, dulu, malah ada mejikuhibiniu untuk warna-warna pelangi.
Mendiang Harimurti Kridalaksana yang pernah menjadi Direktur Pusat Leksikologi dan Leksikografi Universitas Indonesia menyebut bahwa akronim merupakan salah satu dampak keterbatasan daya ingat manusia. Dengan menyingkat, manusia bisa berusaha mengingat sesuatu yang panjang. Akronim juga bukti bahasa terus berkembang.
Masalahnya, menurut Ajip Rosidi dan Daniel Dhakidae, banjir akronim malah membuat masalah. Dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Daniel menyebut akronim diproduksi dalam skala mencengangkan. Ia menilai para pembuat akronim itu merasa tindakan tersebut sebagai hal genius.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) telah memberikan panduan soal cara membuat singkatan. Masalah di QRIS, kata itu dipakai untuk menyingkat jenama dari bahasa Inggris, sementara PUEBI jelas untuk bahasa Indonesia.
Persoalan lanjutan pada cara membaca. BI sebagai pemilik jenama bisa jadi mencoba menerapkan morfofonemik. Dalam ilmu bahasa, morfofonemik mempelajari perubahan bunyi diakibatkan adanya pengelompokan morfem.
Morfofonemik adalah suatu proses morfologis berupa proses pergeseran fonem akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Adapun morfem, menurut KBBI, adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil. Sementara fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Misalnya /h/ adalah fonem karena membedakan makna kata harus dan arus.
Karena itu, meski berasal dari frasa Inggris, BI menggunakan cara pelafalan yang lazim di Indonesia. Sementara sebagian warganet berpendapat cara baca QRIS harus mengikuti pelafalan alfabet dalam bahasa Inggris pula. Alih-alih kris, sebagian warganet berkeras cara bacanya adalah kyu ris.
Tentu saja warganet lain tidak tinggal diam. Jika memang harus konsisten seperti itu, maka QWERTY seharusnya dibaca kyu werti dan QUEEN dibaca kyu win….