Mengacu UUD NRI, semua daerah adalah otonom, tak mungkin gubernur diisi melalui pengangkatan. Jika dirasa pilkada langsung membebani, pemilihan dapat melalui DPRD ditambah mekanisme yang sesuai sistem wakil pemerintah.
Oleh
IRFAN RIDWAN MAKSUM
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menginginkan penghapusan jabatan gubernur sebagai kepala daerah provinsi memerlukan penjelasan akademis yang memadai. Pernyataan tersebut oleh PKB diperjelas maksudnya, bahwa jabatan gubernur diharapkan diisi melalui pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan kepala daerah. Ini pun perlu didasari kajian akademis.
Ihwal jabatan gubernur sebagai kepala daerah provinsi menyangkut status daerah otonom provinsi yang diatur dalam konstitusi. Siapa pun warga negara Indonesia atau lembaga mana pun perlu membaca kembali UUD Negara Republik Indonesia dengan baik.
Status gubernur
Gubernur dari kata governor, artinya kepala pemerintahan. Di Indonesia, hal ini terkait dengan kolonialisme Belanda. Pada zaman Hindia-Belanda, wilayah RI dikepalai oleh seorang gubernur jenderal. Di bawah wilayah RI yang dulu disebut Hindia Belanda tersebut tersusun gewest dan residensi di Jawa serta kelompok kabupaten (group-gemenschappen) di luar Jawa. Gubernur mengepalai gewest-gewest yang ada saat itu.
Pada masa tersebut dianut sistem wakil pemerintah (sistem prefektur). Gubernur adalah wakil pemerintah semata. Gewest merupakan wilayah administrasi belaka yang menjadi basis operasi kerja lembaga-lembaga pemerintahan nasional saat itu di wilayahnya. Di wilayah gewest terdapat residensi dan kabupaten/kota (gemenschappen) di Jawa, sedangkan di luar Jawa terdapat group-gemenschappen setara gewest tidak terdapat residensi dan terdapat sejumlah kabupaten/kota pula.
Keadaan tersebut dipahami oleh the founding fathers, penyusun UUD 1945 (sebelum amendemen). Konstitusi pertama susunan pendiri negara memungkinkan adanya wilayah administratif belaka sehingga pada masa Soeharto pun pernah digunakan sebagai dasar pembentukan Kotamadya Batam yang hanya administratif belaka di samping adanya kota administratif di bawah kabupaten di berbagai tempat di Indonesia.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo, didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengucapkan selamat kepada Syamsuar dan Edy Natar Nasution yang telah dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Riau periode 2019-2024 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (20/2/2019). Pelantikan Syamsuar-Edy Natar berdasarkan Keppres Nomor 20/P Tahun 2019 tentang pengesahan dan pengangkatan Gubernur dan Wagub Riau masa jabatan tahun 2019-2024.
Pada masa-masa sebelumnya ketika berlaku UUD 1945 tersebut, lebih banyak diwarnai oleh UU Pemerintahan Daerah yang mencerna tidak perlunya wilayah administratif belaka. Dianut daerah otonom yang bertingkat, tetapi jabatan gubernur tetap sebagai wakil pemerintah. Pada masa-masa tersebut, di samping sebagai wakil pemerintah, gubernur juga adalah kepala daerah. Ini dikenal sebagai sistem prefektur terintegrasi.
Berbasis sebagai kepala daerah, diatur tata cara pemilihannya dalam semua UU Pemerintahan Daerah di bawah UUD 1945. Sampai pada masa Soeharto pun diatur tata cara pemilihannya yang melalui DPRD. Meski melalui DPRD, masa Soeharto diketahui pemerintah pusat sangat besar intervensinya.
Kedudukan kepala daerah harus diisi melalui mekanisme berbasis otonomi daerah. Dua pilihan, apakah melalui DPRD atau pilkada langsung.
Pada masa UU Nomor 1 Tahun 1957 bahkan diinginkan melalui pilkada langsung seperti sekarang, tetapi tidak pernah terselenggara karena kemampuan keuangan saat itu belum memungkinkan. Jadilah jabatan tersebut diisi melalui pemilihan oleh DPRD.
Saat itu tidak dianut sistem wakil pemerintah karena dipahami salah satunya oleh Bung Hatta, pilkada langsung membuat rumit sistem tersebut. Dengan demikian, para pihak penyelenggara negara republik ini sejak awal memahami betul kedudukan gubernur sesuai konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku.
Karena gubernur adalah kepala daerah otonom, tidak dilakukan pengangkatan oleh kepala pemerintahan RI. Melekat dalam daerah otonom adanya otonomi. Kedudukan kepala daerah harus diisi melalui mekanisme berbasis otonomi daerah. Dua pilihan, apakah melalui DPRD atau pilkada langsung.
Jika kemudian dianut sistem wakil pemerintah, para penyelenggara negara juga memahami perlunya peran pemerintah dalam proses pengisian jabatan tersebut. Oleh karena itu, tidak hanya mengandalkan mekanisme berbasis otonomi semata karena adanya kedudukan sebagai wakil pemerintah.
Konsistensi
Mengacu UUD hasil amendemen, lebih tegas lagi tidak ada daerah-daerah di Indonesia yang berstatus wilayah administratif belaka. Dapat dicerna dalam konstitusi Pasal 18, semua daerah di Indonesia adalah daerah otonom. Dalam hal ini UU Ibu Kota Negara (UU IKN) jelas bertentangan dengan UUD 1945 hasil amendemen tersebut.
Oleh karena itu, tidak mungkin gubernur diisi melalui pengangkatan. Jika dirasa pilkada langsung membebani dan tidak sejalan dengan kedudukan wakil pemerintah, bukan dilakukan secara ekstrem dengan melalui pengangkatan, melainkan dapat dilakukan melalui DPRD, ditambah mekanisme yang sesuai dengan adanya sistem wakil pemerintah. Di sini terjaga konsistensi, baik dalam hal jalur sebagai wakil pemerintah maupun sebagai kepala daerah, karena dianutnya prefektur terintegrasi.
Jalan lain yang panjang adalah amendemen konstitusi, kembali ke UUD 1945 awal, yang disusun the founding fathers, yang memungkinkan adanya wilayah administratif belaka. Jalan ini riskan karena dapat merembet ke aspek-aspek lain dalam konstitusi. Akan tetapi, tetap saja, ini jalan yang mungkin sembari mengakomodasi UU IKN yang keliru, hanya saja harus ekstra hati-hati supaya tidak merembet lebih luas.
Eksistensi provinsi dengan demikian dapat menjadi bervariasi dan semakin menampung desentralisasi asimetris. Jika amendemen Pasal 18 terjadi, dapat terbentuk provinsi otonom, provinsi otsus, dan provinsi tanpa otonomi. Di bawah provinsi memungkinkan Kota IKN yang tanpa otonomi pula.
Sekali lagi ini perlu kehati-hatian, betul-betul fokus amendemen UUD dalam hal Pasal 18 semata. Proses ke arah amendemen pun amat berat karena masyarakat alergi terhadap perubahan yang mengguncang. Oleh karena itu, harus disiapkan dengan ekstra hati-hati.
(Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik dan Chairman Klaster DeLOGO FIA UI)