Nasib Petani dalam Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Penggunaan dana perkebunan sawit untuk mendukung pengembangan bahan bakar nabati menciptakan ketidakadilan bagi petani pekebun sawit. Dalam hal ini, perusahaan sawitlah yang didukung, tetapi tidak untuk petani.
Oleh
GUNAWAN
·3 menit baca
Pemerintah Indonesia, dalam menjawab persoalan energi, sekaligus guna menjawab hambatan ekspor sawit, terus mengembangkan bahan bakar nabati jenis biodiesel atau biofuel. Ini dilakukan dengan memfasilitasi dukungan regulasi dan pembiayaan bagi perusahaan perkebunan sawit yang mengembangkan bahan bakar nabati.
Sebagai aktor utama dalam rantai pasok industri sawit yang berkembang menjadi industri energi baru dan terbarukan, petani pekebun sawit tidak turut mendapatkan dukungan regulasi dan pembiayaan bahan bakar nabati. Padahal, petani pekebun sawit menderita akibat turunnya harga tunas buah segar (TBS) sawit produksi petani, dan bahkan turut menderita akibat krisis minyak goreng produk olahan sawit beberapa waktu lalu.
Guna mendukung pembiayaan bahan bakar nabati, pemerintah membentuk peraturan pelaksana dari Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Di pasal itu disebutkan bahwa pembiayaan usaha perkebunan salah satunya berupa pembiayaan usaha perkebunan yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan yang bersumber dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan, dan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan.
Meskipun di pasal tersebut tidak menyebut penggunaan dana pelaku usaha perkebunan dalam rangka bahan bakar nabati, di Peraturan Pemerintah No 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Perpres No 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit diatur penggunaan dana pelaku usaha perkebunan sawit dalam rangka bahan bakar nabati. Selanjutnya melalui Perpres No 66/2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, lebih dirinci penggunaan dana pelaku usaha perkebunan sawit, yaitu untuk menutup selisih kurang antara harga indeks pasar bahan bakar minyak jenis minyak solar dan harga indeks pasar bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 5 (2) UUD 1945, presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Berarti jelas bahwa fungsi peraturan pemerintah adalah menjalankan suatu UU, bukan menambahkan materi yang telah diatur UU.
Baru kemudian melalui UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No 2/2022 tentang Cipta Kerja, penggunaan dana pelaku usaha perkebunan diatur melalui UU dengan mengubah ketentuan Pasal 93 UU Perkebunan. Problemnya, kedua produk hukum tersebut memiliki permasalahan konstitusionalitas yang menghalangi jaminan kepastian hukum.
Dengan dukungan pemerintah di bidang regulasi, maka kemudian perusahaan perkebunan yang mengembangkan usaha bahan bakar nabati mendapatkan dukungan pembiayaan yang paling besar dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Berdasarkan data yang dihimpun Serikat Petani Kelapa Sawit, alokasi terbesar dana perkebunan sawit pada 2015-2019 untuk bahan bakar nabati yaitu sebesar 89, 86 persen (Rp 30, 2 triliun). Adapun alokasi untuk petani pekebun sawit melalui progam Peremajaan Sawit Rakyat sebesar 8, 03 persen (Rp 1,7 triliun).
Dengan dukungan pemerintah di bidang regulasi, maka kemudian perusahaan perkebunan yang mengembangkan usaha bahan bakar nabati mendapatkan dukungan pembiayaan yang paling besar dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Penggunaan dana perkebunan sawit tersebut menciptakan ketidakadilan bagi petani pekebun sawit. Sebab, pertama, petani pekebun sawit adalah pelaku usaha perkebunan yang juga dihimpun dananya atau terkena pungutan dengan cara dimasukkan di harga TBS sawit produksi petani. Kedua, seharusnya petani pekebun sawit yang mendapat prioritas penggunaan dana perkebunan sawit karena berdasarkan UU No 12/2003 tentang Keuangan Negara, pungutan adalah penerimaan negara yang masuk dalam mekanisme APBN dan APBD, yang mana berdasarkan Pasal 93 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 94 Ayat (2) UU Perkebunan, pembiayaan usaha perkebunan yang dilakukan pemerintah dan pemda yang bersumber dari APBN dan APBD, penggunaannya diprioritaskan untuk pekebun. Ketiga, penguasaan perusahaan perkebunan dari hulu-hilir dan pembiayaan usaha bahan bakar nabati dalam skala besar memperlebar ketimpangan dan menumbuhkan praktik usaha tidak sehat.
Keadilan bagi petani
Guna menciptakan keadilan sosial di perkebunan sawit, pemerintah seharusnya mencegah perluasan lahan perkebunan perusahaan sawit dalam rangka pengembangan usaha bahan bakar nabati. Pembatasan luas lahan perkebunan tersebut penting bagi redistribusi tanah bagi petani pekebun sawit melalui kebijakan reforma agraria, dan juga penting dalam rangka menjaga kelestarian hutan, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan penganekaragaman produk perkebunan.
Dengan pembatasan luas lahan perusahaan perkebunan, dapat dikembangkan kemitraan usaha antara petani pekebun sawit dan perusahaan perkebunan sawit yang bergerak dalam usaha bahan bakar nabati. Memang, selama ini kemitraan usaha perkebunan telah terjadi, tetapi hanya sampai ke pabrik kelapa sawit, belum sampai ke usaha bahan bakar nabati.
Redistribusi tanah bagi petani pekebun sawit dan kemitraan usaha bahan bakar nabati mempersyaratkan peningkatan sumber daya manusia petani pekebun sawit. Untuk itu, pembiayaan perkebunan yang bersumber dari APBN, APBD, dan penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan sawit harus diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia petani pekebun sawit.
Tujuannya agar pera petani sanggup mengembangkan praktik agrikultur yang baik dan sanggup melakukan penguatan kelembagaan petani pekebun sawit dan kelembagaan ekonomi petani pekebun sawit. Harapannya, dampaknya tidak hanya mendukung produktivitas perkebunan sawit yang lestari, tetapi juga mampu berpartisipasi dalam penetapan harga TBS sawit produksi petani, memilih pola kemitraan usaha, dan berpartisiasi dalam perencanaan pembangunan yang terkait perkebunan sawit berkelanjutan.
Dalam konteks tersebut, maka pilihan prioritas penggunaan dana perkebunan sawit harus melibatkan partisipasi petani pekebun sawit secara lebih bermakna.
Gunawan, Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) dan Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice).