Untuk mencapai tujuan program Merdeka Belajar, saatnya guru diberdayakan dalam merancang dan mengelola aktivitas pembelajaran yang benar-benar memerdekakan dan memberdayakan secara efektif, kreatif, dan inovatif.
Oleh
THIO HOK LAY
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Proses belajar-mengajar di era Merdeka Belajar pasca-pandemi Covid-19 ini mirip dengan anggur baru dalam kantong lama. Apabila tidak diantisipasi, cita rasa kualitas anggur baru justru akan mengoyak kantong lama, dan menjadikannya tumpah (terbuang) sia-sia.
Frase anggur baru dimaksudkan sebagai ungkapan atas ekspresi kemerdekaan dalam belajar yang diharapkan mampu menghadirkan suasana gembira, semangat, dan kehangatan di tengah dingin dan bekunya jalinan relasi dan komunikasi murid-guru akibat terpaan learning loss selama masa pandemi.
Faktanya, pandemi telah mengubah konsep kelas sebagai ruang belajar. Kelas yang semula merupakan ruang interaksi publik telah beralih menjadi ruang privat, melalui kelas daring (online). Selain menjadi serba berjarak, proses belajar-mengajar cenderung tidak dibarengi dengan perubahan esensial terkait gaya dan kebaruan metode dalam pembelajaran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa esensi Merdeka Belajar tampaknya belum secara penuh, utuh, dan merata dimengerti dengan baik dan benar oleh khalayak luas. Pun termasuk dalam jajaran tenaga pendidik dan kependidikan di institusi pendidikan. Terbukti masih jamak dijumpai model pembelajaran dengan pola kebiasaan lama yang memasung kemerdekaan belajar murid, yakni pembelajaran yang berpusat kepada guru (teacher center).
Mirip dalam kisah 3 Idiots; film karya Vidhu Vinod Chopra bahwa kecerdasan, kreativitas, dan potensi para (maha)siswa terpaksa harus dipasung, dimatikan, dan dikubur karena tak ada ruang dialektika (tanya-jawab) sebagai sarana bertukar pikiran akibat arogansi akademik sang dosen (guru) yang otoriter.
Meski telah terdapat dasar hukum yang mengatur penyelenggaraan pendidikan, konsep Merdeka Belajar (masih) jamak diterjemahkan sesuai interpretasi personal. Merdeka Belajar itu merupakan idealisme, spirit, slogan, ataukah merupakan sikap perilaku konkret terkait proses belajar-mengajar yang diharapkan mampu menumbuhkembangkan potensi dan keterampilan secara personal? Yang jelas, rupa-rupa jawaban atas pertanyaan reflektif yang mengemuka tersebut akan menghadirkan serangkaian konsekuensi atas implementasi yang beragam pula.
Terkonfirmasi melalui pendapat Anggi Afriansyah, peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN, Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dalam opininya yang berjudul Catatan Pendidikan di Awal Tahun (Media Indonesia, 11/1/2023), bahwa memerdekakan guru dan para siswa dalam kegiatan pendidikan bukanlah perkara mudah. Operasionalisasinya harus memberi ruang agar setiap pihak berubah secara perspektif dalam mengaktualisasikan pendidikan yang memberi ruang kebebasan berpikir.
Kantong lama
Alih-alih memberikan ruang kebebasan berpikir, berkreasi, dan berinovasi, proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas masih terbelenggu oleh kebiasaan lama berupa aktivitas ceramah berbasis teks yang acapkali terlepas dari konteks kehidupan nyata.
Merdeka Belajar itu merupakan idealisme, spirit, slogan, ataukah merupakan sikap perilaku konkret terkait p roses belajar-mengajar yang diharapkan mampu menumbuhkembangkan potensi dan keterampilan secara personal?
Proses belajar-mengajar tak ubahnya sekadar aktivitas transfer of knowledge secara searah, yang cenderung menempatkan murid mirip seperti botol kosong yang perlu diisi. Lupa bahwa di era teknologi informasi saat ini, aneka informasi dan pengetahuan berserakan di internet yang dengan cepat, mudah, dan murah dapat diakses oleh murid.
Ringkasnya, proses belajar-mengajar tidak efektif dan tidak memberikan nilai tambah. Kondisi proses belajar-mengajar semacam inilah yang menurut Willingham (2009), dalam buku Why don’t students like school?’ merupakan salah satu penyebab bagi murid enggan datang dan belajar di sekolah.
Belum lagi, kerak-kerak dosa warisan yang masih menempel (melekat) dalam institusi pendidikan, yakni dosa kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan (bullying). Ketiga dosa warisan tersebut masih menjadi duri-duri yang berpotensi merobek dan mengoyak tenunan kantong pendidikan di Tanah Air.
Sebagai guru yang berkarya di Sekolah Citra Kasih, Jakarta, penulis belajar banyak dari keteladanan (alm) sosok Dr (HC) Ir Ciputra (Tjie Tjien Hoan) sebagai pejuang kehidupan. Setiap pagi, tanpa alas kaki, Ciputra kecil berjalan kaki melalui jalan desa yang berlumpur menuju sekolah dasar dengan jarak 7 kilometer, sehingga total 14 kilometer perjalanan pergi pulang (Ciputra; The Entrepreneur – The Passion of My Life, 2018).
Berefleksi dari kisah Ciputra, senyatanya esensi merdeka belajar sesungguhnya adalah perihal bagaimana mengukur semangat, keuletan, dan daya juang dalam upaya melepaskan diri dari aneka belenggu kehidupan yang berpotensi memasung kemerdekaan dalam belajar.
Pengalaman kehidupan membuktikan bahwa orang-orang yang berhasil dalam hidupnya adalah mereka yang dengan potensi personal yang dimilikinya mau dan mampu untuk belajar secara mandiri, dan mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya secara terus-menerus dan konsisten sampai membentuk dan menjadi sikap, perilaku, dan karakter dalam hidup keseharian.
Dunia pendidikan adalah dunia yang dinamis. Tantangan pendidikan di masa mendatang tidaklah semakin mudah. Sebagai pengajar dan pendidik (edukator), guru perlu secara kreatif memikirkan strategi guna membuka belenggu-belenggu dosa warisan yang berpotensi memasung kemerdekaan anak-anak murid dalam belajar.
Para insan pendidikan di Tanah Air perlu merefleksikan, bertanya, dan belajar ulang perihal hakikat dan makna esensial sesungguhnya dari Merdeka Belajar sebagai anggur sekaligus kirbat (kantong anggur) yang baru. Saatnya guru diberdayakan dalam merancang dan mengelola aktivitas pembelajaran yang benar-benar memerdekakan dan memberdayakan secara efektif, kreatif, dan inovatif.
Bagaimana merancang proses belajar-mengajar yang berpusat kepada siswa dan yang bermakna? Bagaimana melakukan proses identifikasi dan diagnostik terkait pemetaan potensi personal murid secara tepat? Bagaimana membangun pola komunikasi, sekaligus terampil dalam memberikan umpan balik dan penguatan secara asertif atas proses tumbuh kembang murid? Bukankah tujuan akhir dalam upaya mengajar dan mendidik murid adalah untuk membuatnya maju tanpa gurunya?
Thio Hok Lay, Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Yayasan Citra Berkat, Jakarta; Guru di Sekolah Citra Kasih, Jakarta
Thio Hok Lay,Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Yayasan Citra Berkat, Jakarta; Guru di Sekolah Citra Kasih, Jakarta