Aspek pendidikan seksual bukan semata-mata memberikan pengetahuan tentang sistem reproduksi, melainkan perlu membangun sikap dan nilai-nilai dan keterampilan untuk menghadapi godaan sehari-hari.
Oleh
ESTHER IDAYANTI
·3 menit baca
Berita dan media baru-baru ini diramaikan dengan peristiwa 176 anak di Ponorogo, Jawa Timur, mengajukan dispensasi nikah akibat hamil di luar nikah, walaupun hal ini dibantah bahwa tidak semua meminta dispensasi menikah karena hamil terlebih dahulu. Belum lagi berita itu reda, muncul berita lain, di Kediri, Jawa Timur, sebanyak 569 pasangan mengajukan dispensasi nikah, mayoritas karena hamil di luar nikah.
Kalau sudah begini, orangtua dan pemerintah tidak bisa saling menyalahkan, karena kita semua bertanggung jawab untuk bergandeng tangan mendidik generasi muda dalam hal seks. Adanya gadget atau telepon genggam membuka kesempatan bagi anak-anak dan remaja kita untuk mengakses konten dewasa. Alih-alih orangtua dan guru yang memberikan pendidikan seksual, media telah mendikte anak-anak dan remaja kita dengan konten dewasa.
Saat ini, pendidikan seksual di Indonesia tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, seperti yang diajarkan oleh sekolah-sekolah di Amerika, melainkan sebagai bagian dari topik bahasan dalam pelajaran Biolgi, yaitu dalam Kesehatan Reproduksi atau Kespro. Menurut pernyataan Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek Hamid Muhammad, materi pendidikan seksual sudah masuk dalam Kurikulum 2013.
Untuk SMP dan SMA, pendidikan seksual telah diberikan berupa pengetahuan kesehatan reproduksi. Sementara untuk jenjang SD tidak ada pelajaran khusus, tetapi pendidikan seksual ada pada tema-tema tertentu, misalnya masalah pengenalan anggota tubuh meliputi kepala, mata, dan lainnya. Menurut Hamid, pendidikan seksual tidak perlu diterapkan di luar kurikulum. Apabila sekolah telah mengajarkan materi pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan aturan, maka para pelajar bisa memahami soal seksualitas.
Namun, melihat jumlah pelajar yang terlibat seks pranikah, kita perlu memikirkan ulang, apakah Kespro sudah memadai sebagai dasar pendidikan seksual bagi anak-anak dan remaja kita. Secara khusus, penulis mengadakan penelitian terhadap pendidikan seksual di SMA negeri di Indonesia, yang melibatkan responden dari 30 provinsi dan 66 kota di Indonesia, untuk meneliti implementasi pendidikan seksual di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan ditujukan agar siswa dapat mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan. Jadi, pendidikan tidak hanya berkaitan dengan aspek intelektual saja.
Tiga domain pembelajaran
Benjamin S Bloom memperkenalkan tiga domain pembelajaran, yaitu kognitif (berhubungan dengan pemikiran), afektif (berhubungan dengan sikap, perasaan, nilai-nilai), dan psikomotoris (berhubungan dengan keterampilan, perilaku). Pendidikan akan efektif apabila melibatkan ketiga hal ini.
Pertanyaannya, apakah Kespro yang diajarkan melalui pelajaran Biologi di sekolah telah mencakup ketiga hal tersebut? Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa walaupun pelajaran Kespro memberi pengetahuan tentang organ reproduksi, proses kehamilan, penyakit kelamin, dan isu kesehatan lainnya, pelajaran ini belum melibatkan aspek afektif untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai siswa terhadap seksualitas dan belum ada aspek psikomotoris yang mendukung pembentukan perilaku praktis untuk mencegah perilaku seks yang tidak sehat.
Walaupun pelajaran Kespro memberi pengetahuan tentang organ reproduksi, proses kehamilan, penyakit kelamin, dan isu kesehatan lainnya, pelajaran ini belum melibatkan aspek afektif.
Dalam aspek afektif, diharapkan pendidikan seksual dapat mendorong siswa memiliki penghargaan yang tinggi terhadap kesucian hidup sehingga menolak hubungan seks pranikah. Mereka perlu diajak menghitung keuntungan dan kerugian seks pranikah dan menikah muda, dan meyakinkan mereka bahwa menunda hubungan seks hingga menikah membuat hidup mereka menjadi lebih baik.
Siswa perlu memahami dampak psikologis dan mental yang sangat berat akibat hubungan seks pranikah. Mereka juga perlu memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan penghormatan terhadap orang lain.
Pelajaran Kespro juga perlu mencakup aspek psikomotoris untuk membentuk perilaku tertentu. Namun, selama ini dalam kelas, tujuan psikomotoris diwujudkan dalam pembuatan poster atau karya tulis terkait kesehatan reproduksi. Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah melatih perilaku siswa untuk menghadapi godaan, contohnya melatih siswa tentang apa yang harus dikatakan apabila diajak teman menonton film porno atau diajak tidur oleh pacar. Bagaimana menolak dengan tegas dan bertahan menghadapi peer pressure.
Mereka perlu memiliki keterampilan untuk mengonsumsi media dengan bijak, untuk menghindari godaan, salah satunya menguasai diri untuk tidak membuka konten pornografi. Siswa juga perlu diajar membuat rencana untuk mengendalikan hasrat seksual apabila hal tersebut terjadi, contohnya dengan mengalihkan fokus pikiran, berolahraga, atau melakukan hal lain.
Dari hasil focus group discussion dengan guru SMA, memang beberapa aspek afektif didapatkan dari guru Bimbingan Penyuluhan, berupa motivasi untuk membangun pergaulan yang sehat. Namun, pengajaran ini tidak efektif karena tidak dilaksanakan secara bersamaan dalam satu komponen pembelajaran di mana di dalamnya terdapat aspek kognitif, afektif, dan psikomotoris. Untuk itu, perlu diadakan pendidikan seksual yang dapat dilaksanakan sebagai modul khusus dalam orientasi siswa baru, yang dapat diulangi pada setiap tahun ajaran.
Selain itu, perlu dipikirkan ulang, aspek pendidikan seksual bukan semata-mata memberikan pengetahuan tentang sistem reproduksi (kognitif), melainkan perlu membangun sikap dan nilai-nilai (afektif) dan keterampilan untuk menghadapi godaan sehari-hari (psikomotoris). Semua ini diawali dengan perubahan tujuan pembelajaran dari ”mengajarkan kesehatan reproduksi” menjadi ”mendorong remaja untuk menjaga kesuciannya”, dari Kespro menjadi Kespro Plus.
Esther Idayanti, Dosen dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) STT Internasional Harvest, Banten; Pembicara Fokus pada Keluarga; Peneliti Pendidikan Seksual di SMAN di Indonesia