Mengurai Simpul Mati Digitalisasi UMKM
Kondisi ekosistem UMKM saat ini sedang tahap menyesuaikan dengan lingkungan eksternal yang baru. Apabila resesi ekonomi menghantam negara ini dengan keras, UMKM kita akan kembali ke dalam ”survival mode”.

Ilustrasi
Pandemi secara acak memilih juaranya. Walaupun usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM banyak yang bangkrut, tidak sedikit juga yang selamat, bahkan tumbuh. Sebagian yang bertahan berhasil pivot bisnisnya. Oleh karena itu, selayaknya UMKM yang masih berbisnis sampai sekarang disebut sebagai champion. Sang juara sesungguhnya.
Kenyataannya, tidak ada satu sekolah bisnis pun yang mengajarkan cara untuk survival. Biasanya yang diajarkan adalah bagaimana ekspansi. Jadi, UMKM ini mencoba bertahan hidup tanpa panduan, meraba dalam gelap, saling berpegangan tangan dan menguji coba semua cara pada saat itu agar berhasil.
Selama pandemi, 20 juta lebih UMKM on-board digital. Jumlah ini tiga kali lipat dari jumlah sebelum pandemi. Memanfaatkan teknologi digital, terutama untuk pemasaran, memang menjadi salah satu jalan untuk bertahan. Banyak UMKM pada niche produk tertentu yang sebelum pandemi sudah masuk digital justru mengalami kenaikan omzet 50-200 persen. Kategori produk herbal misalnya, atau home décor, termasuk di antaranya.
Baca juga: Pandemi dan Digitalisasi
Kini, cerita pandemi sudah usai. PPKM sudah dicabut, tetapi tantangan baru muncul. Tahun 2023 adalah tahun resesi. Walaupun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih optimistis di 5,3 persen, terganggunya rantai pasok karena perang Rusia-Ukraina tetap akan berpengaruh. Apalagi logistik di negara ini masih menjadi ongkos mahal, baik dalam negeri maupun pengiriman ke luar negeri.
Logistik
Narasi bahwa UMKM penyelamat bangsa dari krisis ekonomi sudah dibuktikan pada tahun 1998 dan 2008. Seburuk apa pun resesi, pasar tradisional masih ramai dikunjungi. Asalkan suplai dan distribusi kebutuhan primer tidak terganggu, dipastikan Indonesia akan baik-baik saja.
Duet pandemi dan digitalisasi juga memunculkan UMKM model baru. Pemanfaatan teknologi digital membuat UMKM mempunyai banyak opsi untuk produksi sampai dengan pemasaran. UMKM dari luar Pulau Jawa yang selama ini harus menanggung biaya kirim yang mahal mempunyai jalan keluar untuk produksi di Jawa secara makloon. Ini model bisnis yang sangat efektif, hemat, dan efisien.

Produksi dan disimpan di pergudangan di Jawa tidak hanya mengecilkan biaya logistik, tetapi juga berarti mempunyai kesempatan untuk mengirimkan produknya ke pembeli dengan murah dan cepat. Survei tahun 2019 oleh MarkPlus menyebutkan bahwa ongkos kirim menjadi pertimbangan utama perempuan pada saat berbelanja online. Semakin kecil angkanya berarti semakin besar kemungkinan dibeli.
Mahalnya ongkos logistik ini adalah konsekuensi logis dari luasnya negara kita. Kejadian pandemi yang membuat lalu lintas barang melalui perusahaan ekspedisi melonjak berkali-kali lipat, tetap tidak menurunkan harga mahal pengiriman barang. Buktinya, ongkos kirim dari Padang ke Jakarta lebih murah daripada Padang ke Palembang yang berada dalam satu Pulau Sumatera.
Menghadapi ini, UMKM harus cerdik membaca data penjualan. Secara umum, ongkos kirim murah itu bisa diselesaikan dengan dua cara, yaitu produk diproduksi dekat dengan pasar, atau produk disimpan dekat dengan pasar. Oleh karena itu, sekarang banyak bermunculan startup pergudangan yang dapat menyimpan produk UMKM mendekati pasar yang diinginkan. Ini solusi yang diperlukan.
Pelindungan terhadap UMKM di marketplace juga masih sangat lemah. Marketplace digital yang ada sekarang banyak membuat aturan yang tidak berpihak kepada online seller (UMKM).
Tetap saja, setelah kondisi sistem logistik yang cukup memeras otak. Persaingan dan pasar yang sudah melek digital merupakan tantangan tersendiri. Secara khusus, lansekap persaingan menjadi semakin ramai, apalagi di platform lokapasar (marketplace). Situasinya bertambah berat karena ada lokapasar digital yang menginisiasi proses penjualan import-crossborder dari negara lain. Imbasnya, banyak produk UMKM lokal tidak dapat bersaing secara harga.
Beruntung ini segera diantisipasi oleh pemerintah. Pada Mei 2021, Kementerian Koperasi dan UKM secara resmi melarang 13 produk masuk ke Indonesia melalui alur crossborder. Ketigabelas produk yang dilarang tersebut adalah hijab, atasan mulim wanita, bawahan muslim wanita, dress muslim, atasan muslim pria, bawahan muslim pria, outwear muslim, mukena, pakaian muslim anak, aksesori muslim, peralatan sholat, batik, dan kebaya.
Sementara itu, pelindungan terhadap UMKM di lokapasarjuga masih sangat lemah. Lokapasardigital yang ada sekarang banyak membuat aturan yang tidak berpihak kepada online seller (UMKM). Mulai dari tingginya biaya penanganan, monopoli ekspedisi produk, menjamurnya produk palsu, sampai dengan algoritma pencarian yang menguntungkan produk perusahaan besar.
Baca juga: Pedagang Kecil Perlu Mengenal Ekosistem Digital
Okelah, ada berita baik, saat ini Kementerian Perdagangan sedang proses merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ini akan berisi berbagai macam aturan perizinan usaha, pembinaan, dan pengawasannya.
Hanya sayangnya, proses revisi permendag ini minim keterlibatan UMKM (online sellers) dalam prosesnya. Malah justru melibatkan secara intens asosiasi perusahaan digital besar, padahal jelas-jelas yang mempunyai kepentingan terhadap UMKM. Jangan sampai nanti hasilnya justru memihak kepada perusahaan-perusahaan besar itu, sementara UMKM-nya tetap tertindas.

Perizinan
Sekali lagi, efek pandemi, UMKM banyak yang pivot baik model bisnis, metode pemasaran, atau bahkan produknya. Digitalisasi memungkinkan UMKM memasarkan produknya lintas wilayah ke pasar yang lebih luas. Akan tetapi, perubahan ini memunculkan efek samping luar biasa.
Misalnya, ada usaha mikro yang memproduksi bakso. Selama ini penjualan offline melalui gerobak. Di masa PPKM, pemiliknya memutuskan untuk menjual baksonya secara online. Produk diubah menjadi bakso beku (frozen). Perubahan ini berkonsekuensi mahal. Produk frozen harus mendapatkan izin edar dari BPOM. Belum lagi ditambah pengurusan sertifikasi halal ataupun HKI untuk mereknya.
Perizinan dan sertifikasi produk memang dapat meningkatkan nilai produk, tetapi mengurus itu semua menguras tenaga dan waktu. Bayangkan, perkiraan saat ini ada 64 juta UMKM di Indonesia, sementara laju penerbitan izin dan sertifikat tergolong lambat. Antrean panjang membuat waktu pengurusan menjadi lama. Sementara produk harus tetap siap untuk dijual (tanpa perizinan lengkap) karena berkaitan dengan cashflow usaha yang tidak boleh tersendat.
Perkiraan saat ini ada 64 juta UMKM di Indonesia, sementara laju penerbitan izin dan sertifikat tergolong lambat.
Mengingatkan kembali, semua itu terjadi karena ada lonjakan sangat mendadak yang dipicu pandemi. Demi kepentingan survival; mendadak perlu izin edar, mendadak harus digital, mendadak harus bersertifikat halal, dan lain sebagainya.
Pemerintah juga sigap. Berbagai program fasilitasi UMKM tersebar di semua kementerian/lembaga dan BUMN. Salah satu program yang disambut baik adalah dibukanya keran bagi UMKM untuk mendapatkan porsi dalam pengadaan belanja pemerintah dan BUMN. Minimal 40 persen belanja pemerintah harus diperuntukkan untuk produk UMKM.
Presiden juga mengeluarkan Inpres No 2/2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk UMKM, dan Koperasi. Ini menjadi penting karena selama pandemi ataupun resesi nanti, pemerintah dan BUMN menjadi pihak yang masih mempunyai daya beli tinggi. Kekuatan membeli ini harus diarahkan untuk membeli produk lokal.
Baca juga: Digitalisasi Jadi Pendorong Ekonomi
Jadi, kondisi ekosistem UMKM saat ini memang sedang tahap menyesuaikan dengan lingkungan eksternal yang baru. Apabila resesi ekonomi menghantam negara ini dengan keras, UMKM kita akan kembali ke dalam survival mode. Ini bisa menjadi kondisi layu sebelum berkembang.
Padahal produk UMKM kita hebat-hebat. Banyak diminati oleh pasar luar negeri. Apalagi produk artisan kita. Sayangnya, aturan ekspor kita belum juga berpihak kepada UMKM. Membutuhkan biaya, kuantiti besar, dan banyak pihak untuk bisa melakukan ekspor.
Bagi saya, aturan ekspor sudah berpihak kepada UMKM apabila, misalnya, UMKM yang memproduksi dompet kulit di Garut bisa mengirimkan satu produknya yang dibeli oleh pelanggan di London dengan cepat, mudah, dan murah. Ketika itu terjadi, yakin UMKM kita akan dengan mudah mendunia. Kapan, ya?
Wientor Rah Mada, Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia (LLP-KUKM KemenkopUKM)
Instagram: wrahmada